Cakrawala

48 Tahun Perjalanan MUI

Avatar photo
Written by Fuad Nasar

Sejak Indonesia merdeka tahun 1945 hingga awal dekade 1970-an, belum ada organisasi keumatan dan nonpolitik yang mewakili seluruh umat Islam Indonesia. Walaupun rintisan organisasi yang menghimpun dan mewadahi berbagai ormas atau tokoh Islam pernah dibentuk, seperti Majelis Syura Muslimin Indonesia yakni federasi dari organisasi-organisasi Islam di zaman pendudukan Jepang dan Pusat Dakwah Islam Indonesia pada tahun 1969.

Menurut catatan Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Menteri Agama RI periode 1971 – 1978, pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak terjadi secara tiba-tiba dan tidak mudah. Kehadiran MUI sangat diperlukan di Indonesia, tulisnya dalam buku Hamka Di Mata Hati Umat.

Majelis Ulama Indonesia adalah bagian penting dalam perjalanan sejarah umat Islam Indonesia pasca-kemerdekaan. Dalam konstelasi hubungan resiprokal (timbal-balik) umat Islam dengan pemerintah maupun hubungan antar-umat beragama dibutuhkan satu wadah yang menghimpun para ulama dan berperan sebagai jembatan pembawa aspirasi umat Islam. Umat Islam Indonesia memerlukan organisasi yang memiliki otoritas untuk mengeluarkan fatwa syariah tentang berbagai persoalan keagamaan dan kemasyarakatan.

Selama hampir setengah abad MUI mengawal agenda persatuan umat. Keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari dinamika politik Indonesia modern dan peran umat Islam dalam pembangunan bangsa. Perkisaran kondisi sosial-politik nasional secara langsung atau tidak langsung beresonansi terhadap peran MUI.

MUI lahir dalam Musyawarah Nasional I Majelis Ulama seluruh Indonesia pada tahun 1975 di Jakarta. Munas MUI pertama dibuka oleh Presiden Ke-2 Republik Indonesia Soeharto. Sebelum terbentuknya MUI di tingkat pusat, telah lebih dahulu berdiri MUI Tingkat Provinsi.

Piagam berdirinya MUI tanggal 17 Rajab 1395 Hijriyah/26 Juli 1975 ditanda-tangani oleh 26 orang Ketua Majelis Ulama Daerah Tingkat I seluruh Indonesia, organisasi Islam tingkat pusat, yaitu: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, Al-Wasliyah, Mathla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, Dewan Masjid, dan Al-Ittihadiyah, Binrohis AD, AL, AU, dan POLRI, serta 13 tokoh ulama perorangan, yaitu Prof. Dr. Hamka, K.H. Qudratullah, K.H. Thohir Rohili, K.H. Syafari, K.H. Abdullah Syafi’i, K.H. Rusli Halil, K.H. Abdul Aziz, Muchtar Luthfi El Anshary, A.K. Basuni, Tgk. H. Abdullah Udjong Rimba, Prof. Mr. Kasman Singodimedjo, K.H. Moh Dachlan, dan K.H. Hasan Basri.

Sewaktu penutupan Musyawarah Nasional I Majelis Ulama Seluruh Indonesia pada tanggal 27 Juli 1975 Buya Prof. Dr. Hamka menyampaikan pidato pertama sebagai Ketua Umum MUI. Buya Hamka dengan bahasa kiasan melukiskan posisi Ulama bagai kue bika yang sedang dimasak dalam periuk belanga. Dari bawah dinyalakan api. Api yang dari bawah itu ialah berbagai ragam keluhan rakyat. Dari atas diimpit dengan api. Api yang dari atas itu ialah harapan-harapan dari Pemerintah. Berat ke atas, niscaya putus dari bawah. Putus dari bawah, niscaya berhenti jadi Ulama yang didukung rakyat. Berat kepada rakyat, hilang hubungan dengan Pemerintah, maksud pun tidak berhasil. Apa jalan keluar dari kesulitan itu? Jalan keluar itu pasti ada. Siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya akan diberi Allah baginya jalan ke luar. “Ulama sejati waratsatul anbiya, tidaklah dapat dibeli!” tegas Buya Hamka.

Sewaktu MUI dibentuk, umat Islam Indonesia secara umum tidak terpecah-belah, tetapi belum bersatu. Kehadiran MUI disertai harapan untuk mempererat kerja sama Ulama dengan Umara (pemerintah). Kehadiran MUI dengan roh persatuan yang dibawanya menjadi simbol paling tepat untuk menggambarkan persatuan dan kerukunan umat tanpa menonjolkan kelompok dan golongan.

Pembentukan MUI bukan semata-mata didasari keinginan pemerintah, tetapi juga keinginan sebagian besar ulama dan pemimpin umat Islam di masa itu. Keberadaan MUI mengingatkan pentingnya peranan agama dan partisipasi ulama dalam pembangunan bangsa dan negara. MUI diasumsikan sebagai wadah yang representatif dan kredibel untuk mewakili segenap umat Islam sebagai jembatan aspirasi umat. Fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh MUI, meski tidak mengikat seperti halnya undang-undang, namun dibutuhkan sebagai panduan bagi seluruh umat Islam.

Petikan pidato Menteri Agama H. A. Mukti Ali pada penutupan Musyawarah Nasional I Majelis Ulama se-Indonesia masih relevan hingga kini direnungkan.
“Hari ini adalah hari berdirinya Majelis Ulama Indonesia dan hari ini di tempat ini pulalah telah dikubur untuk selama-lamanya suasana kurang persatuan dan kesatuan di kalangan umat Islam sendiri dan pada hari ini dan di tempat ini pula telah dikubur untuk selama-lamanya iklim curiga-mencurigai dan saling tidak percaya-mempercayai antara para ulama dan aparat pemerintah. Dan pada hari ini dan di tempat ini pula telah didirikan tugu persatuan dan kesatuan dan ukhuwah islamiyah umat Islam di Indonesia.”

Sejak awal berdirinya MUI Pusat dengan kepemimpinan Ketua Umum Buya Hamka telah digariskan bahwa yang akan dikibarkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah ukhuwah islamiah. Oleh sebab itu, MUI tidak mengerjakan apa yang telah dilakukan oleh organisasi-organisasi Islam yang lain. MUI dibentuk bukan untuk menyaingi dan menggantikan peran ormas-ormas Islam yang sudah ada sebelumnya.

MUI justru merupakan wadah musyawarah ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim yang harus selalu mengambil sikap moderat sebagai perekat persatuan dan keutuhan umat. MUI menjadi jangkar moral di tengah situasi rapuh dan merosotnya etika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dalam Pedoman Dasar MUI yang ditetapkan pertama kali pada tahun 1975 digariskan fungsi dan tugas MUI sebagai berikut:

Pertama, memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan kemasyarakatan kepada pemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar makruf nahi mungkar.

Kedua, memperkuat ukhuwah islamiah dan memelihara serta meningkatkan suasana kerukunan antar-umat beragama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Ketiga, mewakili umat Islam dalam konsultasi antar-umat beragama.

Keempat, penghubung antara Ulama dan Umara (Pemerintah) serta menjadi penerjemah timbal-balik antara Pemerintah dan umat guna menyukseskan pembangunan bangsa.

Bersyukur Indonesia memiliki Majelis Ulama, sebagaimana majelis-majelis agama yang lain, seperti DGI, KWI, Walubi dan PHDI. MUI hadir untuk menjadi referensi umat Islam Indonesia dalam menghadapi masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan. MUI secara kelembagaan tidak melakukan politik praktis dan politik partisan karena MUI bukan organisasi politik. MUI adalah khadimul ummah (pelayan umat) dan organisasi umat yang independen.

About the author

Avatar photo

Fuad Nasar

Pemerhati Agama dan Sejarah, Alumni Sekolah Pascasarjana UGM, Sekretaris Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama RI

Tinggalkan Komentar Anda