Pertemuan kami terakhir, pada pengujung bulan Mei (1981), waktu itu saya mengajak pulang beliau pulang kampung; pulanglah awak, sebab sejak Buya meletakan jabatan Ketua M.U.I., Buya belum pernah pulang lagi, orang kampung tanya-bertanya juga. Dengan gembira beliau menjawab, bahwa insya Allah habis puasa setelah hari raya beliau akan pulang, malah akan mengajak Kakak (misteri beliau) untuk pulang bersama. Akan tetapi Tuhan Allah menakdirkan lain, sebelum datang waktu/pulang, beliau telah berpulang.
Namun walaupun dengan genangan air mata, dengan leher yang tetap bengkak, dapat juga saya menyampaikan nasihat kepada anak-anak sepatah dua. Di antaranya: jaga nama baik Ayah, Ayah meninggal insya Allah husnul khatimah, Ayah dengan bahagia menuju Kebun Surga. Ayah kalian lebih besar meninggalkan sesudah meninggalnya, dari pada semasa hidupnya. Kompaklah kalian sepuluh bersaudara, dengan bimbingan Ibu. Ibu tidak boleh kembali ke Cirebon, ibu harus tetap di sini saja menjaga anak cucu sepeninggal ayah. Pulang ke Cirebon sebentar-sebentar tentu saja boleh, namun domisili Ibu di Raden Fatah. Dengan genangan air mata anak-anak mengangguk menerima nasihat. Ibu menjawab sambal menangis: jadi Buya. Nampak lega anak-anak mendengar jawaban Ibu. Dan ada lagi nasihat lain-lain mengenai intern anak-anak, sehingga setelah menggauli anak-anak, takziah dan ziarah ke pusara Tanah Kusir, sekaligus ziarah ke makam Bapak Doktor H.M. Hatta (Bung Hatta, red), saya pun pulanglah kembali ke Minangkabau. Pulang dengan penuh nostalgia ke zaman silam yang telah kami tinggalkan.
Keberangkatan almarhum menurut ukuran biasa sudah pada waktunya, yaitu dalam usia 73 tahun, namun tersebut berpisah/bercerai, tetap memilukan hati. Di antara syair Hamka:
Jangan dikenang untuk berpisah, sebab berpisah sakit rasanya.
Lihatlah matahari mulai terbit, kunimg warnaya karena gembira akan bertemu. Tapi waktu sore akan terbenam merah cahayanya, karena sakit akan berpisah.
Hamka berpesan: Waktu engkau mula datang ke dunia ini, engkau menagis, sedang lingkungan ketawa. Usahakanlah supaya adil, waktu engkau akan meninggal nanti engkau ketawa (senyum) sebab lingkungan engkau akan menangis. Nasehat ini terlaksana pada diri beliau sendiri, bahwa jenazah beliau senyum disaksikan bersama, diwaktu air mata sedang berguguran.
Kemarin saya putar kaset kuliah beliau, untuk melepaskan rindu. Di antara isi kuliahnya: buatlah jasa selama hidup, untuk sebutan sesudah mati. Sehingga walaupun daging dan tulang belulang kita sudah hancur dimakan tanah dalam kubur, namun nama kita dibaca orang di mana-mana. Nasihat ini terbukti pada beliau sendiri sehingga semenjak mendengar beliau tak ada lagi, di mana-mana orang mencari kaset kuliahnya, mencari Tafsir Hamka dan buku-buku Hamka. Pernah kita mendengar orang hidup mengajikan orang mati, sekarang malah sebaliknya, yaitu orang mati mengajikan dengan kaset. Semuanya itu termasuk ciri-ciri kebesaran pribadi almarhum, besar ilmunya, besar amalnya, besar jasanya, besar semangatnya, besar jihadnya, besar pengalaman hidupnya. Dari itu mari kita suri, mari kita teladan, segi-segi positif orang besar ini, tidak dipadakan dengan meratapinya saja. Lantaran itu memang patutlah beliau mendapat julukan Pahlawan Nasional, di samping Pahlawan Islam.
Akhirnya senantiasa kita memohonkan doa ke hadirat Allahu Rahmanurrahim, agar kiranya Abuya Hamka diizinkan Allah memasuki surga jannatunnai’im. Tulisan terlamabat ini saya nukilkan, untuk mewakili masyarakat Minangkabau di kampung dan di rantau, karena di samping Gubernur Azwas Anas pucuk pimpinan Provinsi Sumatera Barat, sayalah bertindak mewakili masyarakat untuk takziah dan ziarah, pada waktunya. Kecuali orang yang tidak setuju.
Kalaulah hilang ayam penak, jenjang tak akan berluluk lagi.
Penulis: Zainal Abidin Syu’aib (Buya ZAS), sahabat Buya Hamka. Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 21 September 1981, dengan tajuk “Minangkabau Ditinggalkan Hamka”