Hamka

Buya Hamka dan Minangkabau (2): Kombinasi Ujung Lidah dan Pena

Written by Panji Masyarakat

Di Minangkabau ada tiga keterampilan yang biasanya hingga pada tiga pribadi, sebagai parit pagar dalam nagari. Yaitu: seorang Cerdik, seorang Pendekar, seorang Juara Tengah Balai. Ternyata ketiga-tiga keterampilan itu berhimpun pada diri pribadi Hamka; Hamka Cerdik, Hamka Pendekar, Hamka Juara Tengah Balai (tengah gelanggang). Jadilah Hamka merupakan ayam kinantan, ayam nan tangkas di gelanggang, tetap berkokok pada waktunya.

Dengan cerdik dan pendekarnya, pendekar lidah dan pendekar pena, segala sulugi yang menjurus kepada alamat agama Islam, tetaplah Hamka tampil secara otomatis kontan dan spontan, melakukan tugasnya: gayung bersambut kata berjawab, bahkan kadang-kadang berjawab dengan kombinasi dua ujung yang rapi; ujung pena dan ujung lidah. Dan dengan keterampilan Juara Tengah Balai (tengah gelanggang) maka berkokok dan berkotatlah Hamka di semua gelanggang yang diikutinya, baik gelanggang seminar, diskusi, muktamar buhust, rapat khusus dan rapat umum dan berbagai gelanggang lainnya.

Setelah Hamka menetap di luar daerah bertahun-tahun, bahkan sampai akhir hayatnya, beliau menyempatkan juga ke sekali-kali pulang kampung ke Minangkabau. Dan setiap beliau pulang kampung, tetap disambut masyarakat Minangkabau secara berebut-rebutan, untuk meminta petunjuk beliau, melalui kuliah subuh, kuliah magrib, kuliah zuhur, pertemuan khusus, pertemuan umum, mahasiswa, pelajar-pelajar, apalagi Muhammadiyah.

Nampak Lelah beliau untuk meladeni pesanan itu, namun beliau tunaikan juga, karena semua masyarakat amat cinta kepada beliau, (walaupun yang benci tentu saja ada) semua orang merasa dekat kepada beliau. Selesai memberikan ceramah, semua berkerumun menjabat tangan beliau bersalaman, baru mereka puas. Padahal saya sendiri berulang kali naik podium yang sama, namun tak bergerak dihati orang hendak bersalaman dengan saya, karena hatinya lekat kepada Hamka. (hati den kanai kabaa juo). Maka merasa banggalah anak Minang di kampung dan di rantau, mempunyai seorang Hamka Besar, yang dipandang dari sisi daerah dapat membayar hutang bersama.

Tiba-tiba pada hari Jumat 22 Puasa, menjelang tengah hari, sedang jasmani litak letai, berderinglah telepon dari P.P.Muhammadiyah Jakarta, disambut P.M.W. Sumatera Barat, mengabarkan bahwa Abuya Hamka telah berpulang ke rahmatullah di Rumah Sakit Pertamina Kebayoran Baru pukul 10.41 menit. Dan dengan cepat P.M.W. Sumbar menyambung berita itu ke beberapa daerah dan Mesjid, sehingga dalam tempo pendek tersiarlah berita duka di seluruh Minangkabau, bahwa Abuya Hamka telah pergi untuk selama-lamanya dan tidak akan pulang-pulang lagi.

Maka “terpanalah” masyarakat Minangkabau menerima berita duka itu: mata berbeliak, mulut terkatup, air mata tergenang, bak sibisu berasian, teringat ada, terkatakan tidak, laksana kerbau terkejut mendengar suara Gong. Sampai kini sudah lebih dari satu bulan ditinggalkan Hamka, namun ke mana saya pergi, dengan siapa saya bicara mengenai almarhum, baik pribadi maupun di muka umum, masih di sambut dengan air mata berkunang-kunang, karena: jerat semata bunda kandung, putus tak dapat kita sambung. Malam harinya terobat hati sedikit, menyaksikan upacara pemakaman beliau dalam lautan manusia di pusara, nampak jelas Gubernur Azwar Anas berada di tengah-tengah umat Islam yang banyak itu. Alhamdulillah beliau otomatis mewakili masyarakat Minang seluruhnya.

Besok hari Sabtu waktu saya sampai di Raden Fatah (rumah almarhum) untuk takziah dan ziarah, dapat kabar dari anak-anak, bahwa Gubernur Azwar Anas meminta agar jenazah almarhum Buya Hamka dimakamkan di Padang. Saya rasakan dengan hati saya, bahwa ucapan Gubernur itu mewakili isi hati nurani masyarakat Minang seluruhnya, sebagai bunyi pepatah: sisik nak pulang ke gagangnya, pinang nak pulang ke tampuknya. Asal Minang, pulang ke Minang. Walaupun saya yakin bahwa Gubernur Jakarta Tjokropranolo tidak akan melepaskan. Sedang menuut laporan Rusydi, waktu terakhir ayah akan berpulang, dapat dihadiri oleh Bapak H.M. Natsir yang melepas arwah beliau dengan doa setulus hatinya. Moga-moga makbul pada sisi Allah.

Walaupun saya datang terlambat, sehingga tak sempat bertemu dengan beliau, hayyan wamayyitan, dengan anak-anak kesepuluhnya dan dengan kakak saya H. Khadijah (istri almarhum) dapat saya bertemu. Meskipun anak-anak sudah besar, pertemuan kami sekali ini benar-benar sangat mengharukan, walaupun sebelumnya telah berpuluh kali ke Raden Fatah.

Dengan air mata yang sama tergenang timbal fisik, kami saling berpelukan, anak-anak memanggil buya, sembari saya berucap; sabar nak. Memang hubungan kami berdua sudah cukup lama 53 tahun, sangat akrab, kami jalin hati dengan hati, budi dengan budi, tak pernah goyah tak pernah longgar, tak pernah retak tak pernah rarak, bahkan kian tua usia kami, kian erat hubungan jiwa. Kalau kami duduk santai berdua, sering kami mengulang-ulang pantun kesayangan kami:
Sungai landai tanahnya Napa
Lebung Sulit jalan kepulang.
Bercerai-cerai tidak mengapa
Yang rumit-rumit mati salah seorang.

Maka rumitlah saya rasanya ditinggalkan Hamka.

Bersambung

Penulis: Zainal Abidin Syu’aib (Buya ZAS), sahabat Buya Hamka. Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 21 September 1981, dengan tajuk “Minangkabau Ditinggalkan Hamka”

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda