Sejak hari pertama lebaran, film Buya Hamka mulai ditayangkan di bioskop-bioskop di Tanah Air. Film itu menyajikan lanskap Minangkabau yang cukup kuat, selain dialog dalam bahasa Minang antara Buya dan istrinya. Sebagaimana dengan Islam, Buya dan alam Minangkabau memang tidak bisa dipisahkan. Berikut tulisan seorang sahabat Buya Hamka, Buya ZAS, yang ditulis sebagai “artikel terlambat” untuk mengenang kepergian Buya Hampa pada 24 Jui 1981.
Meskipun Almarhum Profesor Doktor Haji Abdul Karim Amrullah (Hamka) orang besar tingkat Nasional/Internasional, kampung asalnya adalah Minangkabau. Beliau putra Minangkabau. Beliau dilahirkan oleh ibunya di pinggir Danau Maninjau, dalam ranah alam Minangkabau, seedaran Gunung Merapi, Singgalang, Tandikat dan Gunung Sago, selingkaran Batang Bangkaweh.
Sejak hitam semerah kuku, sejak kecil budak kanak, sejak sejengkal dari tanah, menjelang usia muda matah, nasi yang beliau makan, air yang beliau teguk, udara yang beliau hirup, sumur yang disauk, ranting yang patah, adat yang diisi, lembaga yang dituang, adalah daerah Minangkabau.
Minangkabaulah kampung halamannya, tempat daerahnya tertumpah, tem:::pat bermain sama gedang, waktu malam sama ke surau, waktu siang sama bergurau, kadang-kadang minum ke lepau. Hamka terkenal dan dikenal sejak kecilnya dalam lingkungan, melalui dua saluran, pertama karena dia anak Inyiak, keturunan seorang Ulama besar kenamaan, kedua karena nakalnya, nakal dengan arti relatif, bisa positif, bisa negatif. Maka rasam bagi Minangkabau, anggo tanggo, rasa periksa, ribut akan mendingin, renggas akan melating, unak akan menarung, duri akan menyangkut, semuanya dipelajari Hamka dengan rajin bertanya kepada orang tua-tua. Dijelangnya tua-tua Minang yang berisi di sekitar Luhak Nan Tigo, Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak 50 Kota. Lareh Nan Duo; Lareh kota Piliyang dan Lareh Budi Chaniago.
Dari situ seluk-beluk adat Minangkabau, sejak pepatah dan petitih, pantun nyanyi dan gurindam, sampai sejarah nenek moyang, asal-muasal dahulunya, sejak asal semula jadi, berikut skema dan ranji adat: yang sebenar adat, adat nan diadatkan adat istiadat, adat istimal dan sebagainya, dipelajari beliau sampai matang, yang kemudian dihayatinya. Dan setelah agama Islam dipelajarinya lewat ayahnya, lewat madrasah, apalagi lewat studi yang mendalam, berjanjilah dalam diri pribadi beliau ruhul Islam dan sari pati adat Minang yang cocok dengan agama Islam.
Itulah yang menempa pribadi Hamka sejak mudanya dengan tempaan yang mantap dan matang. Tempaan mana yang kemudian lebih dipertegas, sesudah Hamka memasuki, memahami dan meyakini paham agama yang dianut oleh gerakan Islam Muhammadiyah, dengan bimbingan guru/iparnya tercinta, Abuya H.A.R.St. Mansur. Dan untuk mengisi adat menuang lembaga, berlakulah pepatah adat: kecil bernama, gedang bergelar. Waktu kecil bernama Abdulmalik bin Abdulkarim Amrullah, sesudah gedang bergelar Dt. Indomo. Kembali ke Tanah Haram Makkatul Mukarramah, bertambah dengan panggilan Haji.
Sebagai orator muda sejak tahun 1930-an. Muncullah H. Abdulmalik K.A. Dt.Indomo sebagai singa podium yang disenangi dan digemari oleh masyarakat Minang dimana-mana, tapi dicurigai oleh pemerintah ;olonial dan antek-anteknya. Acara pokok yang disenangi beliau setiap pidato dengan judul “Islam dan Adat Minangkabau”. Dikupaslah acara itu secara populer, mendalam dan melebar, agamis, historis, sosiologis, dan politis juga. Tidak jarang beliau kesandung undang-undang karet Kolonial yang terkenal “bis dan ter”, malah karangan beliau dengan judul pidato “Islam dan Adat Minangkabau” setelah dicetak, dipeti-es oleh pemerintah kolonial, tidak beredar sampai kini.
Maka nampaklah kenaikan dan populeritas H.Datuk pada mulanya sebagai putra Minang, laksana layang-layang angin, kian hari kian tinggi terbangnya, yang kemudian dengan sayap Muhammadiyah terbanglah Hamka keluar daerah Minangkabau, ke seluruh sudut pelosok Nusantara berkeliling dan mukim di Sulawesi Selatan bertahun-tahun, di Sumatera Utara mukim bertahun-tahun, sehingga akhirnya: ke Aceh berbalik hari ke Jawa berulang makan. Untuk kemudian Hamka keliling di seluruh dunia, terakhir dua bulan sebelum meninggal, ke Iraq yang sedang berperang. Maka Hamka adalah tokoh Islam Daerah, tokoh Islam Nasional dan tokoh Islam Internasional.
Bersambung
Penulis: Zainal Abidin Syu’aib (Buya ZAS), sahabat Buya Hamka. Sumber: Majalah Panji Masyarakat, 21 September 1981, dengan tajuk “Minangkabau Ditinggalkan Hamka”