Ads
Aktualita

Pilpres 2024: Dua Calon Favorit Presiden dan Nasib Anies Baswedan

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Apakah pemilihan presiden 2024 termasuk yang menarik? Pertanyaan ini bisa dijawab dalam dua jawaban yang saling bertentangan. Bisa menarik dan bisa tidak menarik.

Jawaban pertama disebut menarik karena memang setiap kontestasi politik, apalagi pilpres, penuh ketegangan dan persaingan. Setiap pasangan berusaha untuk menang dengan berbagai cara, utamanya bagaimana memikat hati pemilih. Dalam hal ini upaya menarik hati masyarakat dilakukan dengan pola pendekatan secara konseptual dan sosial.

Konseptual dimaksudkan para calon beradu gagasan dan ide-ide, baik di bidang ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan kebijakan luar negeri. Tema yang bersifat intelektual ini untuk mempengaruhi kaum terpelajar, kelas menengah atas dan kalangan kampus. Di sini para capres harus memperlihatkan ketajaman dan kehandalan konsep mereka dalam mengatasi problem besar bangsa dalam usaha menggerakkan kemajuan.

Dalam konsep dan adu gagasan ini akan terlihat keluasan wawasan para calon capres. Dan di sini akan terjadi persaingan yang sangat menentukan, sebab mereka akan dinilai kompetensi atau kemampuan mereka untuk menjadi orang nomor satu di negara ini.

Dari segi di atas jelas pilpres akan menarik dan semua mata akan tertuju pada calon presiden untuk melihat kompetensi mereka.

Pola kedua, kampanye bersifat sosial  biasanya cenderung pencitraan. Para capres biasanya turun ke masyarakat, melakukan percakapan dan menyapa rakyat, terutama di tempat umum seperti pasar atau berkunjung ke daerah, seraya misalnya, memberi bantuan sembako dan lainnya. Seberapa besarkah pengaruh pola ini, memang sulit menjawab. Sebab, anggapan di masyarakat umum acap memberikan tanggapan yang bernada negatif. Ada kesan bahwa pola kampanye mendekati rakyat ini hanya saat kampanye, begitu para capres sudah terpilih mereka sudah sibuk dan sulit datang menemui rakyat. Sebab, yang dibutuhkan dari rakyat hanya suaranya. Namun, bisa dikatakan rakyat di lapis bawah yang tingkat pendidikan dan kesejahteraannya masih rendah, baik di desa maupun di kota sangat mudah terpengaruh dengan pola kampanye seperti ini. Apalagi, jika ada bantuan sembako atau lainnya, mereka akan menilai pemimpin model ini memperhatikan dan peduli pada mereka dan rakyat kecil.

Persaingan yang sangat seru ini tentu tidak hanya berlangsung di tataran real saling berhadapan antara rakyat dan calon presiden, tetapi kampanye yang ketat juga akan berlangsung di dunia digital atau medsos. Baik muncul dalam bentuk paparan status, video, gambar  akan meramaikan facebook, instagram, twitter dan lainnya.

Kemungkinan kedua bahwa pilpres 2024 tidak menarik karena terlihat adanya upaya untuk “menggiring” opini untuk memilih dan menjagokan tokoh tertentu, dan berusaha “menyingkirkan” figur capres yang lain.

Presiden Jokowi misalnya beberapa waktu lalu ikut serta dan memberikan sambutan ketika Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mengumumkan pencapresan Ganjar Pranowo, menjelang lebaran. PPP yang bergabung dengan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) kini telah menyatakan dukungannya untuk pencalonan gubernur Jawa tengah itu, yang konon akan berpasangan dengan Sandiaga Uno. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini telah keluar dari Partai Gerindra dan bergabung dengan PPP.

Lebih jauh, Presiden Jokowi juga mendukung pencalonan Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Semula Prabowo akan dipasangkan sebagai wakil Ganjar, tapi kemudian menolak, Kabarnya, selain Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa, Prabowo akan didukung oleh Partai Golkar dan PAN. Presiden Jokowi tampaknya lebih enjoy jika Menhan Prabowo didampingi oleh Ketum Partai Golkar Airlangga Hartarto, yang juga menjabat Menko Perekonomian. Dukungan Jokowi kepada Prabowo bisa dilihat dari pertemuan keduanya di Solo pada hari lebaran tempo hari.

Dukungan Jokowi kepada Ganjar dan Prabowo itu dinilai kurang tepat karena dia masih aktif sebagai presiden. Apalagi ada juga tersirat kesan bahwa Anies Baswedan yang sudah dideklarasikan Partai Nasdem, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) kurang “diinginkan”. Dan juga ada kesan capres tersebut ingin ” ditersangkakakan” oleh KPK memberikan kesan pilpres ini tidak fair dan kurang adil. Ditambah lagi bahwa salah satu partai pendukungnya yaitu Partai Demokrat  berusaha untuk direbut melalui mekanisme hukum PK yang sedang diajukan ke Mahkamah Agung. Jika Anies gagal maju sebagai capres, maka yang akan bertarung adalah “All the Preesdent.s Men”. Ya, Ganjar vs Prabowo, yang ujung-ujungnya akan berbagi kekuasaan, siapa pun pemenangnya. Inilah mengapa pilpres 2024 disebut-sebut bakal kurang menarik.

Kita juga melihat legacy atau warisan dari prestasi dan kerja seorang bakal capres dianggap tidak penting dan bahkan ada yang dibongkar.

Jadi dalam ajang jelang pilpres ini terjadi  proses penurunan kualitas demokrasi,  di mana asas fair flay dan keadilan demokrasi   jelang pilpres saja mulai terasa, dan dikhawatirkan pilpres sesungguhnya nanti menjadi tidak menarik serta dianggap sebuah pesta formalitas saja.

Suatu bangsa yang tidak mementingkan demokrasi yang adil dan jujur akan sulit menjadi bangsa dewasa, dan tentu juga sulit meraih kemajuan. Sebab, sebuah kehidupan politik yang anti demokrasi akan selalu mengundang kekacauan dan suasana labil, karena ketidakpuasan dengan kepemimpinan produk pemilihan demokrasi yang cacat, bakal terus memunculkan protes dan ketidaksenangan.

Karena itu saatnya kini para pelaku politik, terutama partai dan elite penguasa berpikir tidak hanya ingin meraih kekuasaan dan jabatan. Tetapi juga ikut mengembangkan nilai dan praktik demokrasi secara lebih sehat. Dengan demikian, arah perjalanan negara dan bangsa ini ke depan menjadi lebih mantap. Jika tidak, kita terancam menjadi negara gagal.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda