Cakrawala

Jebakan Konsumerisme dalam Meraih Kemenangan Sejati

Written by Panji Masyarakat

Mengikuti pendahulunya Horkheimer dan Marcuse, seorang pemikir Neo-Marxis, Theodor Adorno pernah memberikan telaah dan analisis tajam mengenai berbagai pola konsumsi masyarakat modern yang sulit dikendalikan. Industri kebudayaan yang memanipulasi masyarakat melalui iklan terbukti ampuh menarik konsumen. Selera konsumen telah ditentukan sedemikian rupa oleh kaum kapitalis dan diikuti budaya massa yang membuat orang menjadi patuh begitu saja pada tuntutan konsumerisme.

Pola-pola yang cenderung konsumtif memang sangat dekat dengan bulan suci Ramadan. Dangkalnya pemahaman puasa pada sebagian umat Islam di satu sisi, serta arus budaya konsumtif yang sengaja digulirkan oleh kapitalisme di sisi lain, terutama pada momen bulan suci Ramadan mengakibatkan perilaku konsumtif tidak dapat dikendalikan. Akibatnya, kita dapat menyaksikan sendiri betapa puasa tak mempunyai pengaruh positif dalam kehidupan individu dan sosial seseorang.

Pada dimensi yang lain, budaya massa yang sedemikian ganas mendorong hasrat tak terbendung, bahkan untuk memenuhinya terkadang harus dilakukan dengan jalan yang tidak halal. Pada titik tertentu kita juga menyaksikan . Budaya populer sebetulnya menciptakan kepuasan semu karena yang dinikmati bukanlah kebutuhan yang sesungguhnya. Kapitalisme mengondisikan sedemikian rupa dengan cara mengaburkan batas logika kebutuhan dan kepuasan, bahkan hasrat status sosial. Momen tersebut juga kita temui pada saat atau ketika bulan Ramadan tiba, kita merasa sangat senang bukan karena Ramadannya, tetapi justru karena kita dapat ‘memulakan’ atau memanjakan tubuh dan pada saatnya berbuka puasa, jamuan berlimbah, makanan-makanan yang serba mewah, lezat dan tentu saja tidak murah. Apalagi pada saat momen lebaran yang dipenuhi dengan arena atau ajang untuk menunjukkan status tertentu pada saat pertemuan-pertemuan keluarga.

Pada titik yang lebih membahayakan, industri budaya massa berambisi menyeragamkan selera konsumen sekaligus berideologi konformis atau seragam. Berbagai mode baju yang dipajang di mal dan pertokoan menjelang lebaran jelas mengikuti tren yang berkecenderungan sama. Konsumen seakan tidak mempunyai pilihan kecuali harus tunduk pada mode pakaian yang trennya memiliki kesamaan. Itulah bentuk dan cara kapitalis menundukkan pikiran para konsumen. Industri kapitalis (kebudayaan) ini melahirkan budaya massa sebagai konsumen yang harus mengikuti standar, rumusan, berulang, sifatnya hanya di permukaan, mengagungkan kenikmatan remeh, sentimental dan sesaat.

Dalam kondisi gempuran kapitalisme yang menggunakan berbagai macam cara dan strategi untuk dapat menarik konsumen, jika individu tidak siap dengan kondisi demikian maka akan berdampak pada diri manusia modern yang mudah teralienasi. Industri modern dan kebudayaan massa mengabaikan intelektualitas, kesadaran sejati dan bahkan pengorbanan. Dalam beberapa waktu terakhir kita menyaksikan beberapa anak muda yang kaya mendadak dengan usaha atau bisnis yang tidak jelas, bahkan beberapa di antaranya terbukti melakukan penipuan. Itulah salah satu dampak negatif dari berbagai budaya massa modern dan industri kapitalisme lanjut.

Kondisi demikian, sejatinya berbanding terbalik dengan spririt dan esensi puasa di bulan suci Ramadan. Makna puasa, baik dari sisi ontologi, epistemologi hingga dimensi aksiologi bulan Ramadan sangatlah jelas. Puasa merupakan bentuk peleburan ketubuhan dan ke-ego-an manusia, berangkat dari sisi ini lalu Nabi memberi arahan atau petunjuk praktis bagaimana menjalankan puasa secara syar’i (tata cara fiqh) dan hakiki (substansi puasa itu sendiri). Keseimbangan keduanya harus selalu terjaga agar dapat mengantar manusia menjadi hamba yang suci, kesucian terjadi karena hamba telah meleburkan ion-ion negatif dalam dirinya. Peleburan dosa-dosa vertikal ini akan mampu mengantarnya menjadi sosok yang berpikiran jernih dan berjiwa suci. Hamba yang telah mampu membersihkan diri dari debu kotoran yang menempel di hatinya dengan sendirinya akan bisa bergerak menjadi manusia yang aktif secara terus menerus dalam menyebarkan rahmat dan kasih sayang.

Rahmat Tuhan tentu saja akan diberikan kepada mereka yang betul-betul tulus ikhlas mengabdikan dirinya kepada sang Pencipta, di saat yang sama ia juga mampu mengontrol diri dari nafsu destruktif dan serakah. Nafsu yang selama ini hanya memedulikan kebendaan dan duniawi semata (reifikasi). Mewaspadai nafsu yang destruktif sangatlah penting karena jebakan kemenangan semu sangatlah variatif. Kemenangan semu dapat terjadi jika kita semua hanya memborong atau berbelanja sebanyak mungkin tanpa tahu batas kebutuhan dan kepuasan atau memedulikan tetangga fakir miskin atau orang-orang yang membutuhkan. Perayaan kemenangan semu dapat terjadi jika kita hanya mengejar dan mengikuti nafsu yang melampui batas, serta tidak mampu menghentikan pola-pola konsumtif.

Maka sesungguhnya, sekali lagi puasa merupakan proses peleburan ego dan ketubuhan yang harus dilaksanakan dengan baik selama sebulan penuh. Jika hal tersebut mampu dilakukan maka pengampunan dan limpahan rahmatlah menjadi imbalannya. Sebagai bentuk kemenangan sejati, hamba-hamba yang tulus ini telah mampu membebaskan dirinya dari berbagai belenggu keduniawian. Belenggu ketubuhan, yang berupa kelezatan makanan, minuman dan berhubungan seksual. Belenggu nafsu atas jiwa manusia, seperti nafsu-nafsu tercela yang menyesatkan manusia dan sewaktu-waktu dapat menjerumuskannya ke lembah yang paling bawah. Belenggu-belenggu inilah yang kini telah disingkirkannya. Kebebasannya dari semua belenggu tersebut akan mengantarnya menjadi hamba yang meraih kemenangan. Inilah makna kemenangan sejati. Wallahu ‘alamu bish-shawab.

Penulis: Mohamad Anas, Kepala Unit Pelaksana Teknis Pengembangan Kepribadian Mahasiswa (UPT PKM) Universitas Brawijaya, Malang; dosen pada Departemen Sosiologi FISIP-UB.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda