Pada dekade 1950-an Indonesia menghadapi masalah sosial tingginya angka perceraian rumah tangga hingga 500.000 per tahun atau rata-rata 55 persen dari jumlah pernikahan dalam tahun yang sama. Kondisi tersebut menunjukkan betapa rendahnya pemahaman sebagian warga masyarakat tentang nilai-nilai perkawinan dan kehidupan rumah-tangga. Anak-anak korban perceraian orangtuanya atau mengalami trauma konflik rumah tangga menjadi problematika sosial yang membawa dampak terhadap kehidupan bangsa.
Sebagian besar masyarakat Indonesia di masa lalu – mungkin sebagian masih dijumpai sampai sekarang – menjalani kehidupan rumah tangga untung-untungan. Kalau nasibnya baik selamatlah dan jika tidak baik hancurlah.
Pakar psikologi agama Prof. Dr. Zakiah Daradjat mengatakan, di masa lampau nasihat perkawinan hanya diberikan di waktu upacara akad nikah. Setiap pengantin hanya diantar dengan doa orangtuanya dan seluruh orang yang hadir. Padahal untuk suatu pekerjaan sederhana sekalipun memerlukan persiapan dan pembekalan. Bagaimana dengan persiapan dan pembekalan untuk menjadi suami kepala rumah tangga dan isteri yang akan menjadi ibu pengatur kehidupan rumah tangga serta pendidik anak-anak nantinya, tidak ada kursus atau pun sekolahnya.
Indonesia pada dekade 1950-an sampai awal 1970-an pernah memiliki ulama yang kepakaran dan reputasinya di bidang penasihatan perkawinan atau Marriage Counseling mendapat pengakuan internasional. Tokoh dimaksud ialah Haji Sutan Marajo Nasaruddin Latif, biasa disingkat H.S.M. Nasaruddin Latif. Dia adalah sang pelopor yang memasyarakatkan penasihatan perkawinan di Indonesia dalam rangka mewujudkan keluarga yang bahagia dan sejahtera.
Nasaruddin Latif dengan gigih mengajak kalangan agamawan, pemerintah dan masyarakat agar menyadari kepentingan nasihat perkawinan untuk keberlangsungan kehidupan umat dan bangsa. Setiap calon mempelai mesti dibekali ilmu tentang perkawinan dan manajemen rumah tangga. Sejak itu mulai dipikirkan kebutuhan terhadap tenaga penasihat perkawinan dan konselor keluarga yang dididik dan dilatih secara profesional.
Pada tahun 1954 Nasaruddin Latif menginisiasi pembentukan unit organisasi penasihatan perkawinan di ibukota Jakarta. Dia mencetuskan pilot project penasihatan perkawinan di lingkungan Kantor Urusan Agama Kotapraja Jakarta Raya. Penasihatan perkawinan bukan sekadar ikhtiar untuk mengurangi perceraian, tetapi sebuah langkah terencana dalam rangka meningkatkan kualitas keluarga sesuai tuntutan agama.
Tokoh ulama Indonesia asal Minangkabau yang dilahirkan di Sumpur Padang Panjang Sumatera Barat pada tanggal 18 September 1916 itu merupakan pendiri organisasi penasihatan perkawinan yang pertama di Tanah Air. Penasihatan perkawinan di luar negeri disebut Marriage Couseling dan mulai dikembangkan di Indonesia sejak Nasaruddin Latif membuat inovasi kebijakan semasa menjabat Kepala Kantor Urusan Agama Kotapraja Jakarta Raya (sekarang Kantor Wilayah Provinsi).
Dalam sebuah pidatonya Nasaruddin Latif menegaskan, “Bagi kita di Indonesia, selama masih memandang keluarga sebagai unit sosial yang fundamental bagi kehidupan nasional, maka ketidak-stabilan perkawinan yang ditandai banyaknya perceraian tidak boleh dibiarkan begitu saja. Adanya Undang-Undang Perkawinan sekalipun, belum cukup menjamin seratus persen keteguhan perkawinan dan keharmonisan keluarga, sebab dapat dilihat buktinya di negara-negara lain yang sudah ada Undang-Undang Perkawinan misalnya Amerika Serikat angka perceraian masih tinggi. Kita harus berusaha dengan segala jalan dan daya upaya yang dapat kita lakukan untuk memperbaiki keadaan demikian.”
Menurut kesaksian sahabatnya Dr. H. Ali Akbar (Ketua Dewan Pendiri Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia – YARSI) mungkin Nasaruddin Latif adalah orang Indonesia pertama yang menulis buku tentang jodoh dan pernikahan. Selain menulis buku dan mengisi kolom majalah, Nasaruddin Latif aktif berdakwah dan melayani masyarakat dalam penasihatan perkawinan.
Pada 20 Juli 1954 atas prakarsa Nasaruddin Latif dibentuk Seksi Penasihat Perkawinan (SPP) pada Kantor Urusan Agama Kotapraja Jakarta Raya. Setiap pasangan suami-isteri yang bermasalah dan hendak bercerai diwajibkan terlebih dahulu berkonsultasi pada Seksi Penasihat Perkawinan. Penasihatan perkawinan diberikan kepada calon pengantin sebelum akad nikah (pre-marital counseling) dan selama kehidupan berumah tangga ketika pasangan suami istri menghadapi masalah.
Program yang dilaksanakan Kantor Urusan Agama Kotapraja Jakarta Raya di bawah pimpinan Nasaruddin Latif menjadi tapak sejarah lembaga penasihatan perkawinan di Indonesia. Sekitar tahun 1950-an Nasaruddin Latif juga mendirikan Institut Perkawinan dan Hubungan Keluarga.
Kemudian atas inisiatif Nasaruddin Latif tahun 1956 diadakan musyawarah yang dihadiri utusan dari 21 organisasi wanita. Ketika itu diputuskan mengajak sejumlah organisasi wanita yang punya kepedulian dengan isu penasihatan perkawinan untuk membentuk wadah yang lebih luas yaitu Panitia Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (P5). Pelayanan penasihatan perkawinan yang dilakukan oleh Seksi Penasihat Perkawinan untuk selanjutnya ditangani oleh P5 yang dibentuk pada 7 Maret 1956 dan berkedudukan di Jakarta.
Menurut data saat itu terdapat 21 organisasi wanita yang bergabung sebagai anggota P5, yaitu: Perwari, Aisyiah, Persis Istri, Muslimat Masyumi, Muslimat NU, Wanita Katholik, PWKI, Perwamu, Pertiwi, Bhayangkari, Sehati, Persatuan Istri Tanah Abang, Istri Sedar, GPII Puteri, Persit, PIKT, Wihdatul Muslimat, Wapsi, Gerwis, Pikat, dan Wanita Islam Maluku. Walikota Kotapraja Jakarta Raya Soediro ditetapkan sebagai Ketua Kehormatan dan Pelindung P5 (Panitia Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian).
Dalam Anggaran Dasar dan Tata Tertib digariskan tujuan P5 adalah mempertinggi nilai perkawinan dan mencegah perceraian sewenang-wenang dan mewujudkan kerukunan dan kebahagiaan dalam kehidupan berumah-tangga. Ruang lingkup tugas P5 ialah memberi nasihat dan tuntunan mengenai soal-soal perkawinan dan perceraian, memberi bantuan moril dalam mengatasi kesulitan dalam kehidupan perkawinan yang dialami oleh para suami istri serta menerbitkan buku-buku/brosur-brosur yang sifatnya memberi tuntunan bagi keteguhan dan keselamatan hidup berumah tangga. Keanggotaan P5 terdiri dari organisasi-organisasi wanita dan pria serta perseorangan yang mempunyai minat untuk menyumbangkan tenaganya.
Abraham Stone, ahli penasihat perkawinan dari Amerika Serikat berkunjung ke kantor P5 dan disambut oleh Nasaruddin Latif. Abraham Stone terkesan dengan usaha-usaha P5 dalam menstabilkan perkawinan. Pakar Marriage Counseling yang memiliki reputasi internasional tersebut menawarkan kunjungan peninjauan ke Amerika Serikat kepada Nasaruddin Latif untuk mengenal secara langsung pelayanan Marriage Counseling di negara setempat.
Nasaruddin Latif yang saat itu mulai dikenal di forum internasional merupakan satu-satunya wakil Indonesia yang diundang mengikuti pertemuan Marriage Counselor Association di New York (1957). Dia kemudian memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan singkat Marriage and Family Problems di American Counseling Service New York dan Eropa Barat atas beasiswa dari Rockefeller Foundation.
Mengutip Laporan Orientasi Di Amerika Serikat dan Eropah (1958) oleh Nasaruddin Latif, di Amerika Serikat terdapat lebih kurang 250 organisasi Marriage Counseling Center dan di Inggris ada 3 organisasi yang bekerja aktif dalam lapangan Marriage Guidance. Menurut Nasaruddin Latif, negara dapat berbuat banyak dalam memperteguh perkawinan, bukan hanya dengan mempersukar klausul-klausul perceraian, tetapi dengan memperbaiki pandangan anggota masyarakat tentang perkawinan. Organisasi Marriage Counseling yang terkemuka, di antaranya The International Association of Marriage and Family Counselors (IAMMFC) sebagai bagian dari American Counseling Association (ACA) dan National Marriage Guidance Council, UK (Inggris).
Sepulang dari Amerika Serikat tahun 1958, Nasaruddin Latif menulis buku Teori dan Praktik Nasehat Perkawinan. Buku tersebut menjadi pegangan bagi para penghulu, naib dan pekerja sosial yang bergerak di bidang penasihatan perkawinan.
Inovasi Kantor Urusan Agama Korapraja Jakarta Raya yang digagas Nasaruddin Latif direplikasi oleh Kantor Urusan Agama Jawa Barat di bawah pimpinan Arhatha (Abdurrauf Hamidy) dengan mendirikan unit pelayanan serupa. Kegiatan Seksi Penasihat Perkawinan yang dilanjutkan dengan P5 berhasil menurunkan angka perceraian. Program penasihatan perkawinan di Jakarta Raya disebut oleh Nasaruddin Latif sebagai ”eksperimen Jakarta”. Keberhasilan program tersebut dalam mengendalikan dan mengurangi angka perceraian menginspirasi daerah lain untuk melakukan langkah serupa.
Dalam pertemuan organisasi penasihatan perkawinan seluruh Jawa di Jakarta bulan Januari 1960, Nasaruddin Latif mengusulkan agar organisasi lokal dengan bermacam nama disatukan menjadi BP4 yang bersifat nasional. Kemudian dalam Konferensi Dinas Kementerian Agama Ke VII tanggal 25 – 30 Januari 1961 di Cipayung Jawa Barat diumumkan berdirinya BP4 yang bersifat nasional terhitung mulai tanggal 3 Januari 1960. BP4 (Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan) sampai kini masih eksis di tingkat nasional hingga tingkat kabupaten/kota sebagai mitra Kementerian Agama dan instansi terkait.
Sekitar tahun 1963 Nasaruddin Latif diangkat oleh Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri menjadi Kepala Lembaga Penasihat Perkawinan dan Kesejahteraan Keluarga Kementerian Agama RI. Jabatan ini dipegangnya sampai tahun 1968 dalam periode Menteri Agama K.H.M. Dahlan. Sedangkan untuk menyebarluaskan misi BP4, Nasaruddin Latif dan kawan-kawan menginisiasi penerbitan berkala Majalah Nasehat Perkawinan BP4 Pusat (1972). Dalam buku BP4 Pertumbuhan dan Perkembangan (Departemen Agama, 1977), Nasaruddin Latif dikenang sebagai “Bapak BP4”.
Karena latar belakangnya adalah ulama, Nasaruddin Latif mengintegrasikan pendekatan keagamaan dengan pendekatan teori ilmu pengetahuan dalam pengembangan nasihat perkawinan di Indonesia yang mayoritas penduduknya umat Islam. Buku yang ditulisnya seperti Ilmu Perkawinan, Nasihat Perkawinan Proses dan Metodenya dan lain-lain merupakan karya legend di bidangnya.
Sejak tahun 1965 sampai wafat dia aktif sebagai anggota International Marriage Counsellor, sebuah organisasi profesi yang berpusat di Amerika Serikat. Pada tahun 1968 Nasaruddin Latif meraih dua penghargaan internasional yaitu Penghargaan Family Planning dari North Carolina State University Amerika Serikat dan Penghargaan Family Planning dari University of Medical Sciences Thailand.
Sebagai pakar dan aktivis di bidang penasihatan perkawinan sejak tahun 1963 Nasaruddin Latif menjadi kontributor tetap (permanent contributor) Christliches Institut fur Ehe und Familienkunde. Perkumpulan ilmiah untuk studi pengetahuan perkawinan dan keluarga di Basel Switzerland (Swiss). Perkumpulan tersebut beranggotakan ahli dari berbagai bangsa dan agama.
Selama hampir sepuluh tahun Nasaruddin Latif mengasuh rubrik khusus “Tanya Jawab Masalah-Masalah Perkawinan dan Keluarga” Majalah Islam Kiblat dan Majalah Selecta. Majalah Kiblat diterbitkan oleh Yayasan Perjalanan Haji (PHI) dengan Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab H. A. Musaffa Basjyr dan Wakil Pemimpin Redaksi H.S.M. Nasaruddin Latif dan K.H. Saleh Suaidy.
Di tengah kesibukan berbagai tugasnya Nasaruddin Latif meluangkan waktu melayani masyarakat dari berbagai lapisan sosial yang berkonsultasi secara langsung tanpa dipungut biaya di kediamannya di Jalan K.H. Hasyim Asy’ari Jakarta Pusat. Sahabatnya Mr. Mohamad Roem, pejuang kemerdekaan dan mantan Menteri Luar Negeri mengatakan, di Indonesia Nasaruddin Latif pionir dalam Marriage Counselor.
Dr. H. Anwar Harjono, SH, dalam buku Jejak Pengabdian Ulama Pelopor Penasihatan Perkawinan, Mengenang Seratus Tahun H.S.M. Nasaruddin Latif mengutarakan, “Bangsa Indonesia mengakui dan menetapkan Bapak Koperasi Indonesia, Dr. Moh Hatta. Kalau ada Bapak Koperasi, mungkin juga ada yang bertanya: ‘Adakah Bapak BP4? Jawabnya jelas ada. Barangkali sudah banyak yang mengakui. Tetapi setahu penulis, belum ditetapkan secara resmi. Dalam konferensi BP4 III di Jakarta pada Mei 1973 pernah diusulkan sebuah nama yang tepat ditetapkan secara resmi sebagai Bapak BP4. Siapa dia? Dengan mudah orang dapat menebak, H.S.M. Nasaruddin Latif.”
Bersambung