Ads
Cakrawala

MEMINTA MAAF ATAU MEMAAFKAN?

Avatar photo
Ditulis oleh Budi Handrianto

Selepas Ramadhan dan Idul Fitri, aktivitas kaum muslimin, bahkan juga saudara kita non-muslim adalah saling berkunjung, baik langsung maupun virtual (mungkin ada juga yang hybrid) sambil mengucapkan selamat Idul Fitri, saling mendoakan diterimanya amal Ramadhan serta saling maaf memaafkan. Memang minta maaf bisa kapan saja. Tapi kalau ada momen seperti saat lebaran ini, terutama bagi yang hatinya keras tidak mau meminta maaf atau memaafkan, tentu wajib dimanfaatkan.

Di bulan Ramadhan banyak “menu” ibadah yang bisa menggugurkan dosa kita kepada Allah. Tapi -kata Nabi saw dalam hadits riwayat Ahmad dan Hakim, dosa itu ada tiga macam, yaitu dosa yang dimaafkan, dosa yang tidak dimaafkan dan dosa yang ditangguhkan. Dosa yang dimaafkan adalah semua dosa manusia kepada Allah kecuali syirik. Dosa yang tidak dimaafkan adalah syirik (kecuali dengan taubatan nasuha). Dosa yang ditangguhkan adalah dosa pada manusia. Jika ada manusia bersalah pada manusia yang lain, dan belum dihalalkan, maka Allah tidak akan mengampuninya.

Dalam hal saling memaafkan ada dua unsur yaitu meminta maaf dan memberikan maaf. Manakah yang lebih penting? Mungkin kita menduga bahwa meminta maaf itu lebih penting dan lebih sulit. Maka ketika bertemu di saat lebaran kita sering menjabat tangan saudara kita dan langsung minta maaf. Mohon maaf lahir dan batin. Biasanya dijawab dengan kalimat klasik “sama-sama”, nol-nol atau ada yang bilang kacamata (tentu yang frame-nya bulat, bukan kotak atau bintang seperti kacamata artis).

Memang meminta maaf itu hubungannya dengan akhirat. Jika seseorang berbuat dzalim tidak meminta maaf, maka pahalanya di akhirat akan diambil oleh orang yang dia dzalimi. Jikalau pahalanya sudah habis maka dosa orang yang didzalimi akan dilimpahkan ke dirinya (HR Bukhari). Jadilah dia orang yang merugi (muflisin). Maka, meminta maaf itu kalau tidak dilakukan di dunia konsekuensinya berat.

Namun sebenarnya memaafkan pun tidak kalah penting. Di dalam al-Quran dan hadits banyak anjuran untuk menjadi seorang pemaaf. Kalau orang meminta maaf itu wajar. Namanya orang bersalah -dan kita semua adalah manusia tempatnya salah, ya harus minta maaf. Akan tetapi memaafkan itu ada terkesan dia punya “hak” untuk memaafkan atau tidak. Terutama bagi yang didzalimi atau hatinya disakiti. Sakit hati yang terlalu dalam ini seakan menjadi justifikasi dirinya untuk tidak memaafkan. Dengan begitu orang jadi sulit untuk menjadi pemaaf.

Padahal Allah menyuruh kita menjadi pemaaf, “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebaikan serta jangan pedulikan orang-orang bodoh.” (QS al-A’raf: 199) atau “…(surga itu untuk orang yang bertakwa, yaitu) orang yang memaafkan kesalahan orang lain.” (QS Ali imran: 134). Dalam hadits juga Nabi saw bersabda, “Allah tidak menambah bagi seorang hamba dengan memberi maaf kecuali kemuliaan.” (HR Muslim). Tidak halal bagi seorang muslim untuk tidak bertegur sapa dengan saudaranya lebih dari tiga hari (HR Muslim). Dan masih banyak yang lain.

Dan memaafkan orang lain itu adalah ciri penghuni surga. Seorang sahabat yang disebut Nabi sebagai penghuni surga ketika ditanya Abdullah bin Amr bin Ash amalan apa yang ia lakukan, dijawab, “Setiap malam sebelum tidur aku selalu mendoakan orang-orang dan memaafkan semua kesalahan mereka dan mengikhlaskannya. Lalu aku berdoa untuk mereka dan aku tidak pernah iri terhadap mereka.”

Karen Swartz, M.D, seorang konsultan klinis dari The John Hopkins Hospital menyatakan memaafkan orang lain iti bermanfaat bagi kesehatan tubuh, di antaranya: menjaga kesehatan jantung, kualitas tidur menjadi lebih baik, kesehatan mental menjadi lebih baik, kekebalan tubuh (imunitas) meningkat, dan memaafkan orang dapat mengontrol tekanan darah. Bukankah itu semua penyakit-penyakit yang diderita manusia modern sekarang ini?

Bahkan Allah akan “memaksa” orang yang tidak mau memaafkan yang sampai dibawa ke akhirat. Hanya saja memaksanya Allah ini unik. Simaklah hadits berikut ini.

Pada suatu hari, Rasulullah saw sedang berkumpul dengan para sahabatnya. Di tengah perbincangan dengan para sahabat, tiba-tiba beliau tertawa ringan sampai terlihat gigi depannya.

Umar bin Khattab yang berada di situ, bertanya, “Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah?”

Rasulullah saw menjawab, “Aku diberitahu malaikat, bahwa pada hari kiamat nanti, ada dua orang yang duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala di hadapan Allah.”

Salah seorang mengadu kepada Allah sambil berkata, “Ya Rabb, ambilkan kebaikan dari orang ini untukku karena dulu ia pernah berbuat zalim kepadaku.” Allah berfirman, “Bagaimana mungkin Aku mengambil kebaikan saudaramu ini, karena tidak ada kebaikan di dalam dirinya sedikitpun?”

Orang itu berkata, “Ya Rabb, kalau begitu, biarlah dosa-dosaku dipikul olehnya.”

Sampai di sini, mata Rasulullah saw berkaca-kaca. Rasulullah tidak mampu menahan tetesan airmatanya. Beliau menangis. Lalu, beliau Rasulullah berkata, “Hari itu adalah hari yang begitu mencekam, di mana setiap manusia ingin agar ada orang lain yang memikul dosa-dosa nya.”

Rasulullah saw melanjutkan kisahnya.

Lalu Allah berkata kepada orang yang mengadu tadi, “Sekarang angkat kepalamu.”

Orang itu mengangkat kepalanya, lalu ia berkata, “Ya Rabb, aku melihat di depanku ada istana-istana yang terbuat dari emas, dengan puri dan singgasananya yang terbuat dari emas dan perak bertatahkan intan berlian. Istana-istana itu untuk Nabi yang mana, ya Rabb? Untuk orang shiddiq yang mana, ya Rabb? Untuk Syuhada yang mana, ya Rabb?”

Allah berfirman, “Istana itu diberikan kepada orang yang mampu membayar harganya.” Orang itu berkata, “Siapakah yang mampu membayar harganya, ya Rabb?” Allah berfirman, “Engkau pun mampu membayar harganya.” Orang itu terheran-heran, sambil berkata, “Dengan cara apa aku membayarnya, ya Rabb?”

Allah berfirman, “Caranya engkau maafkan saudaramu yang duduk di sebelahmu, yang kau adukan kezalimannya kepada-Ku.”

Orang itu berkata, “Ya Rabb, kini aku memaafkannya.”

Lalu Allah berfirman, “Kalau begitu, gandeng tangan saudaramu itu, dan ajak ia masuk surga bersamamu.”

Setelah menceritakan kisah itu, Rasulullah Saw. berkata, “Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya kalian saling berdamai dan memaafkan. Sesungguhnya Allah mendamaikan persoalan yang terjadi di antara kaum muslimin.” (HR Hakim dengan sanad shahih)

Di hari raya Idul Fitri ini ada amalan dengan nilai yang tinggi yaitu meminta maaf, memberi maaf dan saling memaafkan. Saya pun selama ini banyak salah kepada rekan-rekan sahabat di grup ini, mohon dibukakan pintu maaf yang selebar-lebarnya. Dan tentu, kesalahan rekan-rekan sudah saya maafkan.

Taqabbalallahu minna wa minkum, kullu aamm wa antum bi khair.

Penulis: Budi Handrianto, Dosen Sekolah Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor.

Tentang Penulis

Avatar photo

Budi Handrianto

Alumnus IPB, S2 dan S3 diperoleh dari Universitas Ibnu Khaldun untuk program yang sama, Pendidikan Islam.

Tinggalkan Komentar Anda