Mudik dan bermaaf-maafan. Itulah mungkin tradisi yang mungkin hanya bisa ditemui di kalangan muslimin di Tanah Air di hari-hari menjelang dan setelah lebaran.
Mudik telah menjadi ritual akbar tahunan. Tradisi ini sempat membeku selama tiga kali lebaran gara-gara pandemi Covid-19. Kini tradisi itu sudah kembali bergerak. Dan orang pun rela membuat antrean panjang di pelabuhan-pelabuhan penyeberangan. Atau dan menempuh kemacetan di jalan raya, meskipun sudah mengeluarkan uang untuk bayar tol. Atau bahkan membeli tiket pesawat dengan harga yang tidak masuk akal.
Di zaman ketika orang mudah bepergian, pulang kampung bisa dilakukan kapan mau. Silaturahmi pun bisa lebih erat berkat dengan menggunakan aneka macam aplikasi pada telepon genggam. Tapi itu tidak bisa menggantikan mudik yang boleh jadi kurang bermakna jika tidak dihubungkan dengan lebaran atau hari raya Idul Fitri.
Mudik lebaran dan Idul Fitri kedua-duanya mengandung pengertian “kembali”. Yang satu kembali ke tempat muasal, yang satu lagi kembali kepada kesucian. Yakni kembalinya manusia kepada asal mula kejadiannya sebagai makhluk fitrah yang suci dan baik. Mudik lebaran, dengan demikian, merupakan sebuah prosesi untuk kembali kepada kesucian dan kebaikan diri. Prosesi ini sejatinya sudah dimulai sejak awal Ramadan, karena pada dasarnya puasa merupakan upaya untuk memperoleh kesucian dan kebaikan diri itu. Kesucian ini diperoleh setelah kita mendapat pengampunan dari Allah SWT. Hanya saja, ampunan itu cuma diberikan kepada orang-orang yang menjalani puasa dengan penuh keimanan dan introspeksi diri.
Mudik, dengan begitu, bukanlah pulang kampung biasa. Tapi sebuah perjalanan penyucian diri untuk menjadi manusia baru setelah kembali ke fitrah. Adalah fitrah yang menuntun manusia berbuat kebajikan dan tunduk kepada Sang Maha Pencipta. Jika ada seseorang yang tidak berbuat kebaikan dan berpaling dari Sang Pemberi hidup, maka sesungguhnya dia telah menyimpang dari fitrah-nya sendiri.
Seperti halnya berbuat kebaikan, iman juga merupakan fitrah manusia. Iman sendiri, sebagai bentuk kesadaran paling dalam mengenai asal dan tujuan hidup, bersifat dinamis, karena bisa bertambah dan berkurang. Ia juga menjadi absurd atau sebatas klaim jika tidak dimanifestasikan ke dalam perbuatan nyata yaitu amal kebajikan. Oleh karena itu, penyebutan “orang-orang beriman” di dalam Alquran selalu diikuti penyebutan “orang-orang yang beramal saleh.” Dan untuk beramal saleh, menebar kebajikan dan memberi berkah bagi kehidupan manusia, seseorang atau kelompok orang dituntut untuk mengerahkan segala daya kreatifnya. Inilah sejatinya tugas suci manusia sebagai khalifah, duta, Tuhan di bumi. Dan untuk memangku tugas yang bukan main mulia ini, manusia harus kembali kepada fitrah-nya yang suci dan baik itu – dan inilah yang sejatinya perlu dirayakan.
Lalu bermaaf-maafan. Dan mestinya ini bukan sekadar basa-basi. Tapi harus datang dari lubuk hati – yang dalam. Modal utamanya adalah kemampuan kita memberi maaf. Memang, meminta maaf tidak selalu mudah, tapi memberi maaf jauh lebih susah.
Orang yang tidak meminta maaf atas kesalahannya tidak membuat rugi orang lain. Paling banter dia sendiri yang rugi. Sedangkan orang yang tidak memberi maaf bisa mendatangkan mudarat bagi orang lain dan dirinya sendiri. Boleh jadi ia melakukan pembalasan kepada orang lain, dengan berbagai akibat yang ditimbulkannya. Dan bagi dirinya sendiri boleh jadi akan mendatangkan kerusakan. Sebab dengan tidak memberi maaf, ia otomatis menyimpan dendam. Bahkan bisa menimbulkan frustasi jika ia tak mampu membalas. Tentu saja itu berdampak sangat buruk bagi kesehatannya. Jiwa maupun raga.
Untuk itu kita simak terjemahan ayat Qur’an berikut ini:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluruh langit dan bumi, disediakan bagi mereka yang takwa: Mereka yang berinfak di dalam kelapangan maupun kesempitan, yang mampu menahan marah, dan yang memaafkan kesalahan orang. Allah mencintai orang-orang budiman; Mereka yang ‘pabila melakukan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri mengingat Allah, lalu memohon ampun untuk dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang mengampuni segala dosa kecuali Allah? Sedangkan mereka berlarut-larut dalam perbuatan mereka sementara mereka tahu. Mereka itulah yang balasannya pengampunan dari tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Di sana mereka kekal. Itulah sebaik-baik pahala orang beramal.” (Q. 3:133-136).
Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1444 H. Taqabballahu minna wa minkum. Minal ‘aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.