Secara psikologis dan pendidikan bisa dikatakan puasa (shiyam) merupakan pendidikan untuk melatih mental dan jiwa agar menjadi manusia yang memiliki perasaan kemanusiaan. Lapar dan haus yang dirasakan, diharapkan manusia sadar dan peka bahwa di sekitarnya ada orang-orang yang menderita, ada orang miskin, ada orang untuk makan saja susah, ada orang yang untuk biaya pendidikan tidak mampu membiayai keluarga , dan lainnya.
Namun, kita juga melihat di sekitar kita ada orang-orang kaya. Memiliki rumah besar dan megah, kendaraan bermacam jenis dengan merek terkenal. Jumlah kendaraan lebih dari satu, bahkan puluhan. Aset lain yang berharga mereka miliki pula seperti emas, dolar, tanah dan tabungan.
Sekarang banyak orang kaya yang suka flexing alias pamer kekayaan di media sosial. Baik berupa kendaraan, tas dan jam tangan mahal yang harganya ratusan juta bahkan miliaran. Termasuk pelesiran ke mancanegara.
Siapa yang saja orang kaya dan suka memamerkan kekayaan tersebut. Dari berita di media disebutkan salah satunya adalah oknum pejabat pemerintah dan keluarganya. Namun, melihat sekarang ini sebagaimana terungkap dalam harta kekayaan, umumnya para pejabat kita adalah orang-orang kaya, baik mereka pejabat eksekutif, legislatif maupun yudikatif, baik mereka yang berada di pusat maupun yang berada di daerah.
Apakah kekayaan para pejabat kita dimiliki secara wajar. Memang ini menjadi bahan perdebatan. Menkopolhukam Mahfud MD beberapa waktu lalu membuat heboh karena mengungkapkan ada transaksi mencurigakan senilai Rp349 triliun.
Dalam berita media juga disebutkan, banyak pejabat kita yang rangkap jabatan sebagai komisaris di perusahaan BUMN. Ini juga menjadi sumber pemasukan yang menambah pundi-pundi kekayaan pejabat.
Dalam atmosfer dan suasana ibadah Ramadan ini ada pertanyaan yang menarik disampaikan. Kalaulah puasa itu salah satu hikmahnya adalah untuk menumbuhkan kepekaan sosial dan mendidik batin punya jiwa welas asih, perasaan empati dan kasih sayang pada orang miskin dan menderita, bukankah orang kaya yang paling utama dituntut menjalankan ibadah puasa dan menghayati ibadah puasa ini. Orang miskin karena kekurangan harta dan hidup menderita mungkin menjalankan puasa itu sekedar melaksanakan hukum, namun soal hikmah menumbuhkan kepekaan sosial tidak mungkin kita tuntut dari orang miskin dan kaum tidak berpunya karena keterbatasan ekonomi mereka.
Orang kaya dengan kekayaannya seharusnya lebih mendalami, menghayati dan mengamalkan hikmah dari ibadah puasa. Hartanya yang berlimpah harusnya sebagian diinfakkan atau digunakan untuk menolong orang miskin. Ia harus banyak berderma, memberikan bantuan paket lebaran, disamping tentu tidak melupakan ibadah wajib seperti mengeluarkan zakat maal dan zakat fitrah.
Orang kaya yang berpuasa hanya sekedar melaksanakan kewajiban hukum, tanpa mau berderma dan menyedekahkan hartanya adalah orang yang gagal berpuasa. Meminjam istilah Imam Ghazali ia hanya melaksanakan puasa orang awam, yaitu sekedar menahan lapar dan haus. Orang kaya itu harus berpuasa plus, artinya ia menjalankan ibadah puasa menahan lapar dan haus dan tidak melakukan hubungan seksual di siang hari, tapi ia juga wajib memberikan hartanya buat orang miskin dan tidak mampu. Dan, sikap ini tidak hanya dilakukan di bulan Ramadan, tapi di hari dan bulan di luar Ramadan.
Puasa Ramadan yang dilakukan orang kaya juga harus mampu mencari harta dan kekayaan dengan cara yang halal dan bersih. Puasa dengan demikian mendidik orang kaya menghindari perbuatan tercela dan tidak terpuji. Jika puasa ini dilakukan dan mampu menghasilkan dan melahirkan manusia baru yang fitri dan berusaha hidup bersih, maka puasa seharusnya bisa menjadi jalan untuk mengurangi perilaku korupsi. Dengan begitu maka puasa yang dilakukan orang kaya dengan benar, maka tidak mustahil Ramadan bisa mengurangi dan menghilangkan korupsi.
Mungkin ada orang kaya yang dermawan pada saat Ramadan, di luar itu mungkin sikap dermawannya berkurang atau tidak ada. Ini mungkin disebabkan adanya persepsi bahwa Ramadan semua amalan pahalanya berlipat ganda dan doa-doa dikabulkan. Konsepsi ini seharusnya juga dijelaskan, bahwa nilai ibadah harta, sedekah, infak dan membantu anak yatim atau orang miskin di luar Ramadan nilai pahalanya dan pandangan dari mata Allah tetap tinggi. Karena itu orang kaya dan berpunya harus tetap memahami bahwa nilai ibadah infaq atau ibadah harta adalah amal yang sangat tinggi nilainya, meski dilakukan di luar Ramadan. Bahkan, dalam Al-Qur’an dikatakan siapa yang ingin bertemu dengan Allah maka perbanyaklah amal saleh (Al-Kahfi ayat 110). Allahu a’lam.