Ads
Ramadan

Kolom Arsul Sani : Pendayagunaan Zakat untuk Kesejahteraan Rakyat

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan dari padanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (Q.S. 2: 267)

Salah satu kesibukan kaum Muslim di bulan Ramadan adalah berzakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal atau harta. Yang pertama terkait kewajiban untuk “menyucikan” diri, dan yang kedua demi “membersihkan” harta itu sendiri. Sebenarnya, zakat yang merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima ini mesti ditunaikan oleh setiap Muslim yang mampu melaksanakannya.

Zakat ialah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang Muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (mustahiq) sesuai dengan syariat Islam. Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat sebagaimana tertera dalam surat At-Taubah ayat 60, yakni: fakir, miskin, amil zakat, mualaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil. Di antara dalil Al-Qur’an terkait kewajiban berzakat terdapat dalam surat-surat Al-Baqarah ayat 177, Al-Ma’idah ayat 55, At-Taubah ayat 5, 34-35, Al-Mu’minun ayat 1-4, An-Naml ayat 2-3, Luqman ayat 3-4, Fushshilat ayat 6-7.

Zakat berbeda dengan infak dan sedekah. Infak adalah harta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat untuk kemaslahatan umum. Sedangkan sedekah adalah harta atau nonharta yang dikeluarkan oleh seseorang atau badan usaha di luar zakat. Juga digunakan untuk kemaslahatan umum.

Zakat memiliki dimensi yang lengkap. Yakni, dalam rangka penyucian diri dan apa-apa yang dimiliki seorang Muslim, dan guna meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Karena itulah zakat perlu diatur dan ditata sedemikian rupa. Kebutuhan pengaturan itu terkait dua hal pokok; [1] kesesuaiannya dengan syariat Islam dan [2] untuk meningkatkan daya dan hasil gunanya. Dan, bagi sebuah negeri yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia seperti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini, sudah menjadi kemestian untuk memiliki sebuah undang-undang tentang zakat, yang bisa mengoptimalkan nilai dan potensi yang terkandung dalam pelaksanaan zakat tersebut.

Pengelolaan Secara Institusional

Kalau menilik sejarah penata-kelolaan zakat di negeri kita, maka akan terungkap tentang begitu pentingnya potensi zakat jika bisa diatur dengan baik oleh suatu lembaga yang terpercaya (amanah). Bahkan ada fase-fase seperti ketika masih zaman penjajahan, Belanda dan Jepang, ketika zakat dikelola oleh para kiai, penghulu, naib, sebagai amil-nya, ia menjadi kekuatan yang dianggap berbahaya bagi penjajah. Logikanya sederhana saja. Yakni ketika berzakat menjadi sebuah kesadaran pada kaum muslimin, yang di Indonesia besar jumlahnya, maka akumulasi jumlah dana zakat tersebut akan berguna untuk membiayai perjuangan dan kepentingan masyarakat lainnya.

Beberapa contoh dapat disebutkan di sini. Pertama, sejak masa Sultan Alaudin Riayat Syah (1539-1567), rakyat Aceh sudah melakukan tradisi pengumpulan zakat, meski ketika itu masih secara sederhana dan hanya dihimpun pada waktu Ramadan saja. Yakni zakat fitrah yang langsung diserahkan ke Meunasah (tempat ibadah seperti masjid). Yang menarik ialah upaya mendirikan Balai Baitul Maal meski tidak dijelaskan fungsi-tugas khususnya dalam mengelola zakat, tetapi sebagai lembaga yang mengurus keuangan dan perbendaharaan negara, yang dikepalai seorang wazir bergelar Orang Kaya Seri Maharaja. Pada masa kolonial rakyat Aceh juga menggunakan sebagian dana zakat untuk membiayai perang dengan Belanda.

Kedua, pemerintah Belanda melalui kebijakannya Bijblad  Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah dari kepala desa sampai bupati, termasuk priayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat. Ketiga, ketika telah menjadi tradisi pengelolaan zakat secara individual, KH Ahmad Dahlan, pendiri dan pemimpin Muhammadiyah, mengorganisasi pengumpulan zakat di kalangan anggotanya. Keempat, pengelolaan zakat dilakukan oleh umat Islam ketika Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), pada 1943, membentuk baitul maal untuk mengelola zakat secara koordinatif. Dalam waktu singkat, baitul maal berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa saat itu. Kemajuan ini menjadikan Jepang khawatir akan munculnya gerakan anti-Jepang. Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang memaksa MIAI membubarkan diri. Sayangnya, sejak saat itu tidak ditemukan lagi lembaga pengelola zakat yang eksis.

Setelah kita merdeka, perhatian terhadap pengelolaan zakat secara institusional muncul setelah Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No. 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Maal di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota madya. Keputusan tersebut dikuatkan oleh pernyataan Presiden Soeharto dalam acara peringatan Isra dan Mikraj Nabi Muhammad Saw. di Istana Negara, 26 Oktober 1968, tentang kesediaan Presiden untuk mengurus pengumpulan zakat secara besar-besaran.

Sayang, sekali lagi, prakarsa itu tidak ditindak-lanjuti dan malah dianulir. Penganuliran Permenag No. 5 Tahun 1968 terkait zakat dan baitul maal tersebut makin jelas dengan lahirnya Instruksi Menteri Agama No.1 Tahun 1969, yang menyatakan pelaksanaan Permenag No. 4 dan No. 5 Tahun 1968 ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Meski demikian, menanggapi pidato Presiden 26 Oktober 1968 itu, 11 ulama di Ibu Kota, di antaranya Buya Hamka, mengeluarkan rekomendasi perlunya membentuk lembaga zakat di tingkat wilayah. Hal ini yang kemudian direspons dengan pembentukan BAZIS DKI Jakarta melalui keputusan Gubernur Ali Sadikin No. Cb-14/8/18/68 tentang pembentukan Badan Amil Zakat berdasarkan syariat Islam, 5 Desember 1968. Kemudian, pada 1969 pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1969 tentang Pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang diketuai Menko Kesra waktu itu, Dr. K.H. Idham Chalid. Perkembangan selanjutnya, di lingkungan pegawai kementerian/lembaga/BUMN dibentuk pengelola zakat di bawah koordinasi badan kerohanian Islam setempat.

Keberadaan pengelola zakat semi-pemerintah secara nasional dikukuhkan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS yang diterbitkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah melalui Musyawarah Nasional MUI IV tahun 1990. Langkah tersebut juga diikuti dengan dikeluarkan juga Instruksi Menteri Agama No. 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis BAZIS sebagai aturan pelaksanaannya.

Momentum Kebangkitan Zakat

Di era Reformasi, pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dalam undang-undang tersebut diakui adanya dua jenis organisasi pengelola zakat yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. Selanjutnya, sebagai implementasi undang-undang ini, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2001. Dalam Surat Keputusan ini disebutkan tugas dan fungsi BAZNAS yaitu untuk melakukan penghimpunan dan pendayagunaan zakat. Pendayagunaan zakat mulai dilaksanakan pada lima program yaitu kemanusiaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan dakwah.

Pada 27 Oktober 2011, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyetujui undang-undang pengelolaan zakat pengganti UU No.38/1999 yang kemudian diundangkan sebagai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 pada 25 November 2011. Undang-undang ini menetapkan bahwa pengelolaan zakat bertujuan (1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan (2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan dimaksud, UU mengatur bahwa kelembagaan pengelola zakat harus terintegrasi dengan BAZNAS sebagai koordinator seluruh pengelola zakat, baik BAZNAS Provinsi, BAZNAS Kabupaten/Kota maupun LAZ. Mandat BAZNAS sebagai koordinator zakat nasional tersebut kemudian dijadikan sebuah momentum “kebangkitan” zakat di Indonesia, yang diharapkan mampu mengatasi masalah kesenjangan sosial dan mewujudkan cita-cita menyejahterakan rakyat.

Potensi sumber daya muslimin yang begitu besar di Indonesia, dengan kesadaran keberagamaan dalam menunaikan zakat, akan menghasilkan sebuah energi ba Ada delapan pihak yang berhak menerima zakat sebagaimana tertera dalam Surah Taubah ayat 60, yakni: fakir, miskin, amil zakat, mualaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah dan ibnu sabil. Di antara dalil Qurani terkait kewajiban berzakat terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 177, Al-Ma’idah ayat 55, At-Taubah ayat 5, 34-35, Al-Mu’minun ayat 1-4, An-Naml ayat 2-3, Luqman ayat 3-4, Fushshilat ayat 6-7.ngsa yang bermanfaat bagi kesejahteraan seluruh rakyat jika tepat-guna dikelola. Apalagi, zakat dapat disebut sebagai dana abadi yang akan terus hidup sepanjang masa yang memerlukan lindungan hukum. Tentu, tidak menutup adanya kemungkinan kekurangsempurnaan dalam proses dan pelaksanaan pengelolaan di lapangan. Karena itu fungsi evaluasi, pengawasan dan penyempurnaan di masa depan mestilah terus terpelihara.

Bagi saya, ada dua hal penting berkenaan dengan perundangan tentang pengelolaan zakat ini. Pertama, adanya “payung” hukum tersebut, dengan sejarahnya yang cukup panjang, merupakan bukti adanya niat dan peran serta pemerintah secara konkret dalam mengapresiasi pelaksanaan syariat Islam dalam bingkai NKRI. Kedua, tata laksana yang melibatkan peran pemerintah dan rakyat secara bersama, tentunya akan semakin menguatkan dan mendorong pendayagunaan potensi dan manfaat zakat bagi kesejahteraan umat dan rakyat umumnya. Wallahul muwafiq.

Penulis: Arsul Sani, Wakil Ketua MPR-RI dan Wakil Ketua Umum PPP

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda