Zakat dalam Al-Qur’an selalu disejajarkan dengan salat. Ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan zakat dalam Islam. Menurut Prof. Didin Hafidhuddin, terdapat sekitar 62 kali disebut dalam Al-Qur’an ayat-ayat zakat yang disandingkan dengan salat. Misalnya ayat 20 surat Al-Muzammil (73), “Dan dirikanlah salat, tunaikan zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh balasannya dari sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya.”
Kemudian disebutkan pula dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 11, “Jika mereka bertaubat, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka (mereka) itu adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.”
Dalam surat An-Nisaa ayat 77 Allah memerintahkan salat dan mengeluarkan zakat, “Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.”.
Dari ayat-ayat yang dikutip di atas tergambar dengan jelas betapa pentingnya kedudukan zakat. Rangkingnya bisa dikatakan nomor dua setelah salat, jadi otomatis bagi yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dalam sebuah hadis bahkan Nabi mengatakan bahwa Islam itu berdiri salah satunya dengan tiang zakat.. “Islam itu ditegakkan di atas lima dasar, yaitu menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan yang haq melainkan Allah, dan bahwasanya Nabi Muhammad itu utusan Allah, mengerjakan salat lima waktu, membayar zakat, mengerjakan haji dan puasa dalam bulan Ramadan.”.
Secara simbolik sesungguhnya ayat-ayat salat dan zakat ini juga bisa diartikan bahwa salat adalah bentuk komunikasi manusia dengan Tuhan (hubungan vertikal), sedangkan zakat perilaku yang mengutamakan terjalinnya komunikasi manusia dengan manusia (horizontal). Di sini jelas bahwa Islam merupakan agama yang tidak hanya mengutamakan pentingnya hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga sesama manusia.
Zakat adalah aktivitas yang diwajibkan (fardu ain) kepada manusia muslim yang memiliki kemampuan ekonomi menurut syarat-syarat tertentu diberikan untuk membantu fakir dan miskin (asnaf, delapan golongan). Jumlahnya berkisar 2 1/2 persen hingga 5 persen, mencakup zakat pertanian, peternakan, emas dan perak.
Filosofi zakat adalah bahwa Islam menginginkan manusia itu memiliki jiwa dan harta yang bersih. Secara alamiah manusia amat mencintai harta atau kebendaan. Dorongan cinta ini bisa manusia dengan segala cara untuk mengumpulkan harta dan bakhil atau pelit menggunakan harta menolong orang lain. Agar harta itu tidak merusak orang lain dan merusak diri sendiri maka Islam mengatur bagi para hartawan untuk mengeluarkan zakat.
Zakat dengan demikian harus dilihat sifat manusia yang amat dibenci oleh Al-Qur’an yaitu bakhil dan pelit. Kalau watak seperti ini menjadi tipikal para hartawan dan orang-orang berpunya maka instabilitas akan terjadi dalam masyarakat. Padahal, Islam menginginkan dalam masyarakat bisa tercipta suatu ikatan di antara berbagai golongan dan lapisan ekonomi secara harmonis dan saling menyayangi (silaturahim). Dan zakat salah satu fungsinya mengikatkan hubungan silaturahim antara rang kaya dan orang yang tidak berpunya.
Di mana pun, tentu bisa dilihat bahwa yang namanya kesenjangan dan ketimpangan sosial itu pasti ada. Maka, jika ikatan silaturahim antara si kaya dan si miskin itu tidak ada maka yang terjadi adalah sebuah perilaku yang memiliki jarak antara orang kaya dan orang miskin. Dan jarak itu merupakan bahaya yang besar ongkosnya jika tidak bisa diatasi. Karena itu benar apa yang dikatakan Buya Hamka, jika orang kaya tidak mau mengeluarkan zakat maka yang terjadi selama ini adalah mereka hanya mengeksploitir orang-orang miskin.
Menurut Hamka, kalau sekiranya orang miskin tidak pernah memperoleh bagian dari pada si kaya itu sekali jua, timbullah perasaan si miskin bahwa orang kaya itu tidak lain dari pada pengisap darah orang yang miskin, karena hanya mau menerima dan tidak mau memberi. Padahal, kekayaan yang diterima orang kaya itu, sebagian besar dikumpulkannya dari pada cucur keringat si miskin.
Hamka menambahkan, kalau telah terbit renggang, timbul kebencian, terbentang jurang yang memisahkan di antara si kaya dan si miskin, timbul percederaan buruh dengan majikan, timbul perebutan kepentingan. Inilah yang senantiasa menjadi sebab permusuhan dan kebencian, merusakkan diri, harta dan anak, sampai merusakkan keamanan dan ketenteraman umum.
Dengan zakat ajaran Islam berusaha melekatkan jurang kesenjangan sosial ekonomi dalam masyarakat. Si kaya ditanamkan dalam dirinya untuk memiliki perasaan kemanusiaan terhadap si miskin dengan membantu saudaranya yang berkekurangan. Sedangkan si miskin yang menerima zakat memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi harta orang kaya yang memberinya zakat. Dengan demikian adanya gap atau kecemburuan sosial bisa ditutupi.
Selain itu hal positif dari orang yang berzakat ia dihargai dalam masyarakat karena kedermawanannya, bandingkan kalau orang kaya kikir atau pelit kedudukannya dalam masyarakat tidak bakal dihargai dan tidak dihormati. Baginya dunia terasa sempit dan terbatas, sedangkan bagi orang yang dermawan dunia ini menjadi luas, hubungan dengan masyarakat akrab dan erat. Tercipta masyarakat yang membahagiakan! Allahu a’lam.