Ramadan

Catatan Ramadan Wina Armada Sukardi (22): Siapa ke Surga, Siapa ke Neraka?

Written by Panji Masyarakat

Jemaah salat subuh di mesjid dekat rumah hamba, pada umumnya “itu-itu juga”. Penambahan “jemaah baru” memang selalu ada, tapi jumlahnya tidak signifikan, dalam artian tidak banyak.
Hamba perhatikan, jemaah salat subuh di mesjid kami hampir datang dari semua kalangan: baik strata pendidikan, ekonomi, sosial dan budayanya. Jemaah yang beragam itu semua, di subuh hari diberikan nikmat okeh Allah untuk salat berjemaah di mesjid. Tentu tujuan akhirnya semua sama: mengharapkan masuk surga dari Allah, dan menghindari neraka.


Seperti juga hamba ini, para jemaah datang ke mesjid melawan rasa kantuk dan malas, dan menembus dingin untuk menyerahkan diri kepada Allah. Semua ingin dimasukkan ke dalam surga.
Di mesjid, kami berlomba-lomba memberikan yang terbaik kepada Allah. Salat dengan khusuk. Berdoa dengan sepenuh batin dan berharap diberikan yang terbaik. Diberikan surga. Amin.
Pertanyaannya, siapa di antara kami yang bakal diberikan keberuntungan oleh Allah boleh masuk surga, dan siapa pula yang terpaksa harus masuk neraka jahanam?


Kita, mungkin, merasa kitalah yang terbaik. Kitalah yang paking berhak masuk surga. Banyak alasan yang dapat dipakai masing-masing orang bahwa dirinya yang paling layak masuk surga, setidaknya termasuk deretan orang yang patuh masuk surga. Dari mulai bacaannya yang terlengkap dan terbaik, paling rajin salat, selalu baca Al Qur’an, dan bahkan sampai khatam, tata cara salatnya merasa paling benar, berperilaku sesuai perintah dan larangan Allah dan sebagainya, dan sebagainya. Padahal, sejatinya, kita belum tentu lebih baik dari yang lain.


Belum tentu kita masuk surga, sedangkan mereka tidak masuk surga. Sama pula belum tentunya mereka masuk surga, kita tidak. Bisa saja sama-sama masuk surga, atau sama-sama masuk neraka. Satu sama lain tidak pernah ada yang mengetahuinya. Semua rahasia Alllah.


Tentu, selain salat subuh di mesjid, masih banyak pertimbangan variabel lain yang dapat mengantarkan kita, berat ke timbangan kebaikan, ataukah berat ke timbangan keburukan. Apakah, misalnya, di luar salat subuh berjemaah di mesjid, diri kita selama ini dalam kehidupan sehari-hari berperilaku sebaik dalam salat subuh berjamaah


Apakah diri kita telah memberikan kemanfaatan kepada orang lain? Apakah benar kita sering membantu orang, dalam hal apa pun, diketahui orang atau tidak? Apakah kita bekerja sungguh-sungguh demi Allah dan tidak semata-mata menghitung keuntungan belaka? Apakah kita yakin, sadar atau tidak, kita tidak memakan uang haram? Apakah kita selalu menjalankan amanah yang diberikan kepada kita dengan baik dan jujur.


Kita pun perlu merenung, benarkah kita tidak pernah merugikan orang lain? Kita tidak pernah memfitnah orang? Benarkah kita tidak serakah? Tidak tamak? Benarkah kita rela berkorban demi kebaikan? Sudahkah kita berani bersikap adil dan jujur? Apakah kita berani melawan orang kaya yang batil, ataukah kita justru jadi kaki tangan mereka?
Betulkah kita tidak hanya memikirkan diri sendiri? Bagaimana perhatian sikap kita kepada tetangga? Apakah cuek atau care dan penuh perhatian serta bersilahturahmi dengan mereka? Dan sebagainya, dan sebagainya.


Ada berjuta pertanyaan yang jawabannya dapat menjadi pertimbangan Allah mau menempatkan kita di surga atau di neraka.
Siapa pun kita, kita tak dapat jumawa, kitalah yang bakal masuk surga. Semuanya otoritas tunggal dari Allah.


Selama Allah belum memanggil pulang kita menghadap-Nya, selama itu pula berbagai kemungkinan dapat menggiring kita ke surga atau neraka. Bisa saja dalam sisa hidup kita, sadar atau tidak, kita membuat blunder yang menyebabkan kita yang sebelumnya punya potensi ke surga, menjadi lebih berat condong ke neraka.


Sebaliknya pun dapat terjadi. Dalam sisa hidup kita, ternyata kita membuat berbagai pikiran dan tidakkan yang menyebabkan kita yang sebelumnya sudah condong ke arah neraka, akhirnya ditetapkan masuk surga. Segalanya sesuatu masih serba mungkin.


Kisah seorang pelacur, yang sudah hampir pasti masuk neraka, tiba-tiba menolong seekor anjing yang kehausan dengan memberikan minum dari sumur memakai sepatunya, dan kemudian disebut membawanya masuk ke surga, dalam kehidupan nyata dan versi yang berlainan dapat pula terjadi pada kita.


Siapa sangka Umar bin Khaththab, yang sebelumnya kafir penyembah berhala dan pembenci utama Nabi Muhammad serta sudah berkali-kali berniat membunuh Nabi Muhammad, tiba-tiba setelah mendengar ayat suci Al-Qur’an, mendapat hidayah langsung memeluk Islam. Belakangan bahkan dua menjadi khalifah atau pimpinan kedua Islam sepeninggal Nabi Muhammad Saw.


Umar bin Khaththab yang sudah di ujung neraka, terselamatkan menjadi pejuang Islam
Kita, orang Muslim, masih ada kemungkinan mendapat hidayat dalam versi lain. Barangkalinhidup kita yang sebelumnya berlumur dosa, dengan hidayat itu dapat masuk surga. Siapa yang paham?
Namun sebaliknya, kita yang kelihatan begitu alim, saleh, taat dan tunduk kepada Allah, salat wajib dan sunah tak pernah terlewatkan, sebenarnya ada tindakan kita yang tercela yang tersembunyi yang menghalangi kita ke surga?


Pada salat subuh berjemaah di mesjid, kita tidak dapat menilai derajat seseorang di hadapan Allah dari penampilan semata. Kita tidak dapat memandang tinggi rendah orang bakal masuk surga atau neraka dari busana yang dikenakan masing-masing jemaah. Kalau pakaiannya rada belel, butut, berarti dari kalangan ekonomi menegah bawah, kita pikir kemungkinan besar masuk neraka. Belum tentu.
Sebaliknya yang pakaiannya perlente, berarti dari golongan ekonomi menengah atas, bakalan masuk neraka. Juga belum tentu.


Kaya atau miskin, semuanya belum tentu masuk surga atau masuk neraka.
Begitu pula yang memiliki jabatan tinggi, atau berduit selangit, belum dapat dipastikabb masuk surga atau neraka. Sama yang hamba sahaya, pun belum tentu masuk surga atau neraka.


Kita tidak dapat pula menduga-duga seseorang masuk surga hanya dari semata-mata mereka rajin datang salat subuh berjemaah di mesjid paling awal, doanya paling merdu, posisinya sebagai imam, bilal, pengurus atau rakyat sahaya. Kita tidak pernah tahu.
Maka kita tak boleh pongah. Tak boleh memandang rendah kepada jemaah lain. Penilaian hanya ada di mata Allah.


Salat subuh berjemaah di mesjid, memang tak menjamin seseorang bakalan pasti masuk surga. Meski sudah begitu banyak effort atau “pengorbanan,” kita untuk setiap hari salat subuh berjamaah di mesjid, tak menjamin jalan lapang kita ke surga.


Kendati demikian setidaknya, salat subuh berjemaah di mesjid, memberikan kredit point kepada kita sebagai manusia pendamba surga. Bagaimana pun melaksanakan salat subuh berjemaah di mesjid termasuk menjalankan perintah Allah. Sejelek-jeleknya kita, dengan salat subuh berjemaah di mesjid, setidaknya sudah menunjukkan kepada Sang Maha Kuasa, terlepas dari kelemahan yang ada, kita sudah berupaya mewujudkan perintah Allah.


Kita harus berkeyakinan, salat subuh berjemaah di mesjid, setidaknya dapat memberikan kita tambahan ke timbangan yang baik. Soal masuk surga dan neraka, memang sepenuhnya Alllah yang menentukan. Kita tidak dapat mengintervensi otoritas Allah.


Kita hanya berkeyakinan, siapa yang menjalankan perintah Allah dengan sebaik-baiknya, oleh Allah bakal dibukakan pintu surga, termasuk yang menjalankan salat subuh berjemaah di mesjid. Walaupun kita sadar sadar-sesadarnya, semuanya hak mutlak Allah.


Nah, jika kita saja tidak dapat menentukan kita masuk surga atau neraka, bagaimana pula kita dapat menentukan orang lain masuk surga atau neraka?
( Bersambung )


Penulis: Wina Armada Sukardi, wartawan dan advokat senior, juga anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase pribadi yang tidak mewakili organisasi.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda