Jejak Islam

Jong Islamieten Bond (6): JIB dan Kebangsaan

Written by Panji Masyarakat

Ada yang menanyakan bagaimana sikap JIB terhadap rasa kebangsaan yang pada masa itu sedang bangkit di kalangan pemuda terpelajar. Apakah JIB cukup memberi bimbingan agar pemuda Islam telap menjadi orang-orang nasionalis yang nanti akan memimpin rakyat dan bangsa menuju kemerdekaan tanah air?


Islam adalah agama yang sifatnya tidak nasional, melainkan internasional. Dapatkah dalam JIB diberikan pendidikan nasional yang sempurna? Dikhawatirkan pendidikan nasionalisme dalam JIB akan berkurang sehingga akan mengendurkan cita-cita bangsa ke arah kemerdekaan. Ada yang mengemukakan pertanyaan itu dengan iktikad baik, ada yang mengemukakan hal itu sekadar untuk mendiskreditkan JIB.

Anggota-anggota JIB sendiri tidak kurang sedikit pun cintanya terhadap tanah air, malah agama Islam mengajarkan orang Islam untuk berjuang memberantas kebatilan dan menegakkan keadilan dengan segala pengorbanan. Berjuang untuk kemerdekaan bangsa terang termasuk memberantas kebatilan dan menegakkan keadilan. Dalam pada itu ada sebuah hadis yang berbunyi: “Hubbul wathan minal iman (cinta tanah air dan bangsa itu sebagian dari iman)’’. Maka dengan keyakinan berdasarkan iman itu orang muslim Indonesia tidak kurang nasionalismenya daripada yang beragama non-Islam.

Pertanyaan semacam itu memang lekas hilang dari udara. Dan waktu diadakan Kongres Pemuda, yang menghasilkan Sumpah Pemuda, JIB salah-satu organisasi yang ikut serta, dengan tidak meleburkan diri sesudahnya, karena dapat diterima, bahwa anggota JIB adalah Indonesisch nasionalist. JIB dapat terus berjalan sendiri, karena asas Islam. Orang pun mengerti, JIB tidak dapat melepaskan dan tidak pada tempatnya dalam kehidupan Indonesia.

Menerbitkan Majalah dan Kursus Agama

Kira-kira dalam bulan Maret tahun 1925 JIB berhasil menerbitkan majalah yang bernama An-Nur (Het Licht), yang dapat hidup langsung. Ttidak selamanya lancar, tetapi terus-menerus. Pada halaman muka tercantum Al-Qur’an, surat At-Taubat ayat 32: ’’Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tapi Allah tidak mengizinkan kemauan mereka, melainkan lebih mencemerlangkan cahayanya, walaupun yang kafir tidak menyukainya.”

Di samping menerbitkan majalah, yang memuat karangan-karangan tentang
agama Islam, cabang-cabang JIB mengadakan kursus agama. Baik majalah maupun kursus memerlukan pemakaian bahasa Belanda. Hal yang demikian itu masih menjalani ciri khusus atau sesuatu keharusan atau keadaan keterpaksaan dalam pergerakan pemuda terpelajar pada umumnya. JIB berbahagia mendapat seorang seperti Haji Agus Salim, yang sejak berdirinya menjadi penasihat JIB. Waktu itu Haji Agus Salim sudah terkenal sebagai salah seorang pemimpin Sarekat Islam di samping Tjokroaminoto, dan terkenal sebagai pemimpin yang mahir bahasa Belanda serta ahli agama Islam. Kursus-kursus yang diberikan oleh Haji Agus Salim itu menghilangkan segala kesalahpahaman tentang agama Islam.

Memang baik karangan-karangan dalam An-Nur maupun kursus yang diadakan mula-mula bersifat apologetis, yaitu membela-diri terhadap serangan-serangan dari luar. Orang-orang masih muda yang senantiasa mendengar serangan atau tantangan agamanya, tidak dapat menghindarkan diri dari bahaya perasaan rendah sebagai orang Islam. Seolah-olah agama itu agama yang mutunya tidak tinggi. Pemuda terpelajar juga tidak dapat menghindarkan diri dari perasaan senasib dengan rakyat yang masih terbelakang. Seolah-olah agama islam juga agama yang terbelakang, Karena pemeluknya orang-orang yang diukur dengan dunia modern dalam banyak bidang masih kekurangan.

Karena kursus-kursus itu, lambat laun rasa asor itu menjadi kurang, dan kita tidak malu-malu lagi menjadi orang islam. Malah bangga dan yakin bahwa ajaran Islam memberi pedoman yang baik dalam dunia yang modern.

Tidak lagi kita tiap-tiap kali berbuat seperti orang yang membela diri karena diserang, tapi mempelajari agama dengan langsung mencari artinya tidak peduli orang lain menyukainya atau tidak. Kepercayaan kepada diri sendiri datang kembali.

Haji Agus Salim pernah menceritakan waktu ia masih muda, bahwa hal itu tidak mengenai agama Islam saja, tapi bidang lain juga. Umpamanya di bidang kebudayaan kita dan adat istiadat. Semula kita sudah tidak tertarik lagi oleh pakaian nasional karena sudah terpesona oleh pakaian kebaratan. Kita merasa sudah termasuk golongan atas atau maju dengan memakai pakaian barat dan mengoper juga dalam kehidupan sehari-hari seluruhnya atau sebagian kebiasaan orang Barat.

Sekonyong-konyong orang Barat memuji-muji pakaian adat kita, bahwa ia bagus penuh dengan seni, dan mengaguminya. Dan sekonyong-konyong pula kita melihat hidupnya kembali pakaian nasional. Kita merasa senang dipuji orang barat kalau memakai pakaian nasional. Kalau kita sekarang mempelajari agama Islam dan hidup sebanyak mungkin menuruti ajaran-ajarannya, maka hal itu kita kerjakan karena Islam agama kita, dan kita yakin akan kebenarannya tidak karena agama kita diserang orang Barat atau karena ahli islam atau orientalis yang kenamaan dari Barat memuji agama Islam.

Sebagai akibat yang tidak langsung kita berkenalan lebih rapat dengan penasihat JIB dan dengan lain-lain pemimpin seperti namanya yang disebut di atas. Dengan sendirinya kita tertarik oleh perjuangannya. Meskipun mereka tidak langsung mengajak kita menurut jejak langkah mereka, tapi terutama pemimpin-pemimpin JIB melihat dari dekat apa yang dikerjakan, apa artinya menjalankan tugas sebagai pemimpin umat.

Kesimpulan

JIB terutama bergerak dalam bidang mencari. ilmu dan pendidikan bagi anggota-anggotanya sendiri. Ada yang karena menjadi matang dalam JIB menginginkan JIB memasuki bidang praktis sebagai organisasi, sekalipun hanya bidang sosial. Dan di sana-sini, memang sudah ada HIS — JIB, sebagai sekolah swasta. Akan tetapi tujuan yang semula tetap dipegang, yaitu mempelajari agama Islam dan berusaha mengamalkan agama Islam. Sebagai seorang pribadi memang tidak ada keragu-raguan, anggota JIB dapat menjadi anggota partai politik. Kalau sekarang, setengah abad kemudian yaitu sesudah JIB didirikan, kita bertanya apakah JIB sudah memberikan buah yang berguna bagi Islam dan bangsa Indonesia, maka pertanyaan itu dapat dijawab dengan positif.

Penulis: Mohamad Roem (1908-1983), diplomat dan salah seorang pemimpin revolusi kemerdekaan Indonesia. Pernah menjabat Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri.

Sumber: Panji Masyarakat No. 348, 21 Januari 1982

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda