Ramadan

Catatan Ramadan Wina Armada Sukardi (12): Monolog di Subuh Berhujan*

Written by Panji Masyarakat

Kalau kita mau mendapat udara pagi yang segar dan bersih, berangkatlah salat subuh di mesjid. Begitu kita keluar rumah menuju mesjid, langsung terasa udara bersih dan segar masuk ke hidung kita untuk dikirim ke paru-paru. Bagian tubuh yang lain pun merasakan nikmatnya udara subuh yang segar dan menyehatkan.


Sebaliknya, selain mendapat “nikmat” udara yang baik bagi kesehatan, salat subuh di mesjid juga terkadang harus menghadapi berbagai rintangan cuaca, terutama di musim penghujan.


Ketika kita mau berangkat ke mesjid, sering sekali sudah ada hujan lebat, atau tiba-tiba turun hujan lebat. Tidak mungkin kita tidak membawa payung karena jika tidak membawa payung pastilah badan basah kuyup, sehingga justru tidak memungkinkan atau mempersulit kita untuk salat subuh di mesjid.


Ketika hujan, baik yang kecil, apalagi yang lebat, sebelumnya kerap membuat terjadi “monolog” dalam diri pribadi. Pasti turunnya hujan membuat diri kita sering ragu untuk melangkah ke mesjid. Banyak pertimbangan dapat kita jadikan alasan untuk kita tidak berangkat ke mesjid. Manusiawi sekali jika dingin-dingin sedang di luar rumah hujan yang dapat membuat kita repot dan badan juga mungkin kena flu dan sebagainya, membuat kita setengah ragu untuk berangkat.


Pada bagian lain, keimanan dan ketakwaan kita justru menghendaki kita herus berangkat. Adanya hujan di subuh hari merupakan salah satu faktor penguji yang dapat menjadi ajang pembuktian keimanan dan ketakwaan kita . Disinilah terjadi monolog dua kubu yang berseberangan pendapat dan sikap dalam diri kita.


Sebuah “monolog” yang terkadang begitu tajam:
“Ini hujan lho. Realistis aja deh. Biar pake payung juga kemungkinan kecipratan air, dan kepala dapat jadi pusing. Gak usah dululah salat subuh di mesjid. Kan sudah rutin salat subuh di sana. Ini pengecualian. Toh, Allah pun pasti bakal maklum,” kata satu sisi hati yang menganjurkan tak perlu salat subuh di mesjid.


“Nah, ini justru kesempatan memperoleh pahala dan nikmat yang lebih besar. Karena salat subuh di mesjid tanpa ada rintangan apa-apa, itu sih biasa saja. Gak ada yang istimewa. Tapi kalau kita menerobos hujan besar ke mesjid, itu baru luar biasa… . Jalan ke mesjid manakala hujan itu merupakan pembuktian diri kita sebagai orang yang beriman dan bertakwa,” jawab sisi hati lain yang menganjurkan tetap pergi ke mesjid.


“Gak pergi ke mesjid dalam situasi semacam ini bukan berarti kita tidak beriman, atau tidak bertakwa. Kita kan tidak meninggalkan salat subuh. Kita tetap salat subuh kok, tapi di rumah. Dan kita juga bukannya gak berniat pergi ke mesjid, tapi kondisi cuaca yang buruk dapat membuat tubuh kita sakit. Selama ini juga sudah selalu ke mesjid. Allah juga pasti tahulah. Gak usah ngotot-ngotot gak karuan. Jangan emosi. Pikirin matang-matang,” balas hati yang menganjurkan tidak salat subuh di mesjid.


Dibantah lagi oleh hati yang menganjurkan tetap ke mesjid. “Hujan itu, segede apa pun, kalau untuk menghadap Alllah di rumah Allah, cuma perkara kecil. Masak cuma karena ada hujan saja kita gentar mau datang dan salat di rumah Allah. Pecundang banget. Kalau hanya takut kena hujan kita tak jadi berangkat ke mesjid untuk salat subuh, bagaimana kita dapat mengatakan kita mempunyai iman dan takwa yang kuat. Katanya hidup dan mati kita untuk Allah, eh, giliran ada hujan, kita jadi pengecut. Coba, kalau kita dipanggil pejabat tinggi atau mau mendapat duit, apakah hujan juga menjadi rintangan? Tidak bukan?! Ayo sana, tetap ke mesjid salat subuh di sana.”


Terus terang saja, monolog dalam hati seperti itu sempat terjadi pada diri hamba berkali-kali. Pergi ke mesjid, tidak? Tapi hal ini terjadi sudah lama sebelum ada ketetapan hati. Kiwari, hujan tidak hujan, hujan kecil atau besar, hamba sudah memutuskan bakal berangkat ke mesjid. Baru dicoba secuil itu saja, masak kecut, sementara nikmat Allah tiada terkirakan. Malulah hamba kepada Sang Kuasa andai cuma lantaran hujan tak salat subuh di mesjid.


Walaupun faktanya memang salat subuh di mesjid kala hujan tak gampang. Mau minta pembantu rumah tangga, membantu kita, dia sendiri pun belum bangun. Lagi pula kasihanlah, dia harus bangun subuh sementara nanti sudah banyak pekerjaan lainnya, apalagi kalau pembantunya perempuan.


Biasanya andai hujan besar, diiringi juga angin. Kalau sudah begini, tidak mungkin kita memakai payung kecil. Selain air hujan bakal mengenai tubuh kita dari samping dan belakang, payung yang kecil sendiri dapat terbang ditiup angin. Jadi, harus payung besar.


Memakai payung besar di tengah hujan angin, sejak membuka dan menutup pintu pagar rumah pun tak sesederhana yang dibayangkan orang.


Pagar yang terkunci, harus dibuka. Lantas pintu pagar yang lebih dari dua meter di rumah hamba harus didorong untuk dibuka. Lantas harus ditutup lagi. Dikunci lagi. Kalau tidak memegang payung besar, sebenarnya sih amat mudah melakukannya, tapi jika tangan kita sedang memegang payung besar, menimbulkan kesulitan tersendiri. Payung dapat bertubrukan dengan pagar.


Kalau salah pegang payung, hujan bakal mendera kita. Jadi, memang perlu sedikit “perjuangan.” Begitu pula waktu pulang harus dilakukan hal sama. Kalau pagar tidak tutup dan dikunci lagi, khawatir ada maling masuk. Situasi seperti ini salah satu yang menjadi incaran maling.


Usai salat, hujan mungkin sudah reda, atau bahkan berhenti. Tapi dapat juga masih tetap masih besar. Tiap keadaan dapat berbeda-beda.


Pengalaman hamba, pergi ke mesjid tidak hujan, tapi waktu kita mau pulang terjadi hujan besar, ini yang merepotkan. Kalau dari rumah sudah hujan, kita pastilah sudah bawa payung. Sebaliknya, jika dari rumah tak ada tanda-tanda hujan, tetapi lantas ketika salat di mesjid mendadak turun hujan yang lebat, kita belum tentu bawa payung.


Jika waktu berangkat sudah mendung, mungkin kita juga bawa payung. Tapi kalau cuaca tidak jelas, apalagi tak ada tanda-tanda ada hujan, kita tidak akan bawa payung.


Maka ketika kita berangkat salat subuh di mesjid turun hujan, dan ketika selesai salat, hujan tambah lebat, padahal kita tak bawa payung, nah, disini problemnya. Kalao kita mau menunggu hujan reda apalagi berhenti, kita tidak tahu kapan tepatnya. Kita bisa menunggu sampai siang. Acara-acara kita selanjutnya dapat berantakan.


Mau lari menembus hujan, badan bakal basah kuyup. Pilih mana?
Kenapa tidak telepon ke rumah minta diantarkan payung? Biasanya hamba pergi salat subuh ke mesjid pada umumnya tak bawa HP.
Praktis gak dapat menghubungi rumah.
Dalam keadaan seperi ini, hamba sering beruntung. Istri mengirim orang rumah ke mesjid mengantar payung buat hamba. Selamatlah hamba pulang ke rumah tanpa basah.


Tapi tak selamanya istri ingat suaminya sedang menghadapi situasi seperti ini. Nah alternatifnya: kalau hujan gak terlalu deras, hamba terobos saja. Basah-basah dikit, tidak apa-apalah. Kalo hujan deras, apa boleh buat, terpaksalah hamba dan jemaah mesjid lainnya menunggu hujan mereda. Kecuali hamba ada janji di pagi hari, mau tidak mau harus melawan hujan lebat, supaya tidak terlambat dari janji.


Beberapa kali terjadi, pada diri hamba, waktu berangkat hujan. Makanya hamba berangkat memakai payung. Setelah selesai salat subuh, hujan sudah berhenti total. Lantas saya pulang aja lenggang kangkung jalan kaki begitu saja. Payung yang tadi hamba bawa, lupa diambil dan dibawa pulang kembali, dan tertinggal di mesjid.


Itu mungkin cermin dari kita yang berada pada strata ekonomi “rata-rata” atau kelas menengah. Kalau Tuan orang berada, gak usah repot-repot. Minta saja “ajudan” atau “asisten” untuk mengaturnya buat Tuan. Gak perlu repot-repot… (Bersambung)


Penulis: Wina Armada Sukardi, wartawan dan advokat senior, juga anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase pribadi yang tidak mewakili organisasi.

About the author

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda