Lahirnya Jong Islamieten Bond (JIB), dan sepak terjangnya, telah meninggalkan rangkaian jejak sejarah , yang mesti kembali ditelusuri. Ini penting. Atas pertimbangan menguak kembali mutiara hikmah sejarah dan menyadarkan kembali terhadap usaha-usaha sementara pihak yang secara sistematis menepikan peranan penting yang pernah dicetuskan oleh satu generasi muda Muslim di tahun 1920-an itu, pada 3 Januari 1982 PB HMI memprakarsai “Diskusi Panel Mengenang Kelahiran JIB”. Pembicara, Mohamad Roem, mantan diplomat yang ikut membidani pendirian JIB, dan Ridwan Saidi, politikus PPP yang waktu itu tengah menyiapkan buku “Perkembangan Organisasi Pemuda Islam 1925-1980. Berikut adalah seri tulisan Mohamad Roem yang bertajuk “Jong Islamieten Bond yang Saya Alami”, yang pernah dimuat di majalah Panji Masyarakat, No. 348, 21 Januari 1982.
Di tahun 1920-an pandangan kaum terpelajar bangsa Indonesia tentang agama Islam, tidak dapat dikatakan diwarnai dengan pengertian dan penghargaan. Saya maksudkan golongan terpelajar, yang mendapat pendidikan dan pelajaran melalui lembaga-lembaga pendidikan Belanda. Di samping lembaga-lembaga pendidikan model barat, sejak zaman dahulu memang sudah ada lem1baga-lembaga pendidikan tradisional, yaitu pesantren, pengajian atau madrasah.
Terbawa oleh keadaan pada zamannya, maka tidak saja ada pandangan, tetapi juga paksaan keadaan, bahwa seorang yang mau maju dalam masyarakat harus mendapat pendidikan dan pelajaran di lembaga-lembaga yang diadakan oleh pemerintah jajahan atau yang menurut model itu.
Sekolah yang harus ditempuh paling tidak Hollandsche Inlandsche School, sebagai pendidikan terendah, yang memakan waktu 7 tahun. Tamatan sekolah ini sudah memberi jalan untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Umpama menjadi klerk pos dengan gaji Rp. 60,Sekolah rendah macam itu dapat disambung dengan sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), yang dapat disamakan dengan SMP, dan memakan waktu. 3 tahun. Kemudian dapat diteruskan dengan Algemene Middelbare School, persamaannya SMA, juga 3 tahun lamanya.
Kemungkinan sekolah HIS agak luas, ditiap kabupaten ada sebuah HIS, yang mempunyai murid kira-kira 250 orang. Inask ke atas tentu semakin lama semakin menipis. Sekolah MULO di seluruh Hindia Belanda hanya beberapa puluh, sedang AMS hanya beberapa. Perguruan Tinggi di tahun 1920 baru sebuah, yaitu Technische Hoge School, disusul dengan Rechtshogeschool di tahun 1924. Sekolah dokter yang sudah ada lebih dahulu, meskipun lebih tinggi dari AMS, tapi secara teknis belum merupakan fakultas, dalam arti sekarang. Medische Hogeschool baru didirikan di tahun 1927. Angka-angka tersebut di atas bukan angka yang eksak, melainkan taksiran saya sendiri, dan menggambarkan betapa kecinya jumlah bangsa Indonesia yang mendapat pelajaran rendah, menengah dan tinggi menurut sistem Barat yang memberi kesempatan untuk mendapat tempat dan penghidupan yang layak dalam masyarakat jajahan.
Jumlah itu bertambah di tahun tiga puluhan dengan usaha bangsa sendiri mendirikan sekolah-sekolah swasta yang pada garis besarnya mengikuti model barat. Pada umumnya kalau seorang pelajar sudah tamat sekolah HIS, dan meneruskan sekolahnya, sudah tinggal – di tempat, jauh dari orang tua sendiri. Sebab adanya sekolah lanjutan hanya di kota-kota tertentu, sedang perguruan tinggi hanya ada di Bandung, Jakarta dan Surabaya. Jika pelajar masih mendapat pendidikan agama di rumah, atau melihat orang tua beribadah, sesudah sekolah MULO dan seterusnya, di tempat baru para pelajar tidak mempunyai kesempatan itu lagi atau hidup dalam suasana yang berlainan.
Mulai sekolah rendah dipergunakan bahasa pengantar Belanda. Memang bahasa Belanda itu mata pelajaran pokok untuk menuntut ilmu dan pengetahuan. Hal itu berlaku nanti kalau orang mencari pekerjaan atau kedudukan dalam masyarakat. Bahasa Belanda tetap menjadi bekal atau ukuran. Malah ia menentukan status dalam masyarakat. Orang yang terkenal atau dikenal mahir berbahasa Belanda, ia berkedudukan baik dan dihormati terutama oleh golongan tuan yaitu Belanda.
Dalam masyarakat itu tidak dipandang penting memelihara pendidikan agama islam. Kesempatan sedikit sekali. Orang tua yang merasa anak-anaknya sudah lebth pandai, merasa tidak mampu lagi ikut menentukan nasib anak-anaknya. Hal ini tentu tidak tanpa kecuali, tapi pada umumnya begitulah suasana mental dari orang tua serta golongan terpelajar di waktu itu.
(Bersambung)
Penulis: Mohamad Roem (1908-1983), diplomat dan salah seorang pemimpin revolusi kemerdekaan Indonesia. Pernah menjabat Wakil Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri.
Sumber: Panji Masyarakat No. 348, 21 Januari 1982