Ads
Aktualita

Kasus 349 T: Jilid II Mahfud vs Sri Mulyani

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Rapat Komisi III DPR-RI dengan Menko Polhukam yang juga Ketua Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Mahfud MD membahas dana janggal Rp349 triliun (29/3/2023) ternyata tidak selesai. Rapat yang berlangsung dari jam 15.00 hingga malam hari tersebut bakal dilanjutkan Senin depan.

Rapat mendatang  akan mengundang Menteri Keuangan Sri Mulyani, Mahfud MD dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.

Rapat kembali digelar karena Komisi III melihat masih ada perbedaan angka hasil laporan analisis antara Sri Mulyani dan Mahfud MD.

“Perbedaan tersebut akan kita dalami dan  mengundang sekaligus Menteri  Keuangan, Menko Polhukam dan PPATK,” jelas Wakil Ketua Komisi III DPR-RI, Ahmad Sahroni.

Mungkin timbul pertanyaan, jika rapat kembali  digelar masihkah suasana dan ketegangan berita dan acara rapat ini masih ada?

Kalau boleh dikatakan Mahfud MD menjadi magnit berita minggu-minggu terakhir ini, setelah mengungkap adanya transaksi mencurigakan sekitar Rp 349 triliun di lingkungan Kemenkeu. Sejak menggelindingnya kasus dugaan transaksi gelap tersebut Mahfud menjadi  perhatian publik. Ia bahkan ditantang sejumlah anggota DPR untuk membuktikannya. Bahkan, anggota DPR mempersoalkan kemungkinan adanya pelanggaran  oleh Mahfud dengan mengumumkan dokumen yang bersifat rahasia.

Mahfud menjawab tantangan tersebut hingga berlangsung debat panas di Komisi III pada rapat Rabu (29/3/2023).

Sebelum rapat antara Komisi III DPR-RI dengan Menko Polhukam menyoal transaksi mencurigakan sebesar RP 349 triliun, suasana perang urat syaraf sudah berlangsung beberapa hari sebelumnya. Menko Polhukam menantang dan meminta mereka yang berbicara keras dalam rapat sebelumnya dengan Kepala PPATK untuk hadir. Mereka langsung disebut namanya secara personal, yaitu Asrul Sani, Arteria Dahlan dan Benny K Harman. Kepada mereka, Mahfud menantang jangan mencari-cari alasan untuk tidak hadir.

Dalam rapat tersebut tampak ketiganya hadir, dan rapat dengan tensi tinggi dan tegang, tidak bisa dihindari. Apalagi,  Mahfud MD meladeni seorang diri  semua pertanyaan anggota komisi III.

Pada awal dimulai pemaparan, sudah muncul beberapa interupsi. Mahfud sempat kesal dengan orang yang memotongnya ketika bicara, dan menyebut kebiasaan tersebut selalu terjadi kalau ia muncul di DPR.

Suasana tegang itu terasa saat Mahfud mengklarifikasi pernyataan tiga orang yang dimintanya hadir pada saat rapat hari itu. Kepada Asrul Sani yang menyatakan bahwa Mahfud tidak punya wewenang mengumumkan praktek TPPU, mantan Ketua MK ini menegaskan, meskipun tidak ada kewenangan, bukan berarti tidak bisa mengumumkan. ” Tidak berwenang mengumumkan, apa dilarang mengumumkan. Kalau tidak berwenang apa dilarang. Sesuatu yang tidak dilarang berarti  dibolehkan, kecuali ada hukum yang melarang,” ujar Mahfud 

Sedangkan kepada Benny K. Harman, Menko Polhukam menyoroti gaya bertanya Benny yang mirip mengintrogasi orang layaknya seperti polisi. Itu ditirukannya ketika acara rapat dengan Kepala PPATK dengan Komisi III. Di mana waktu itu Benny memberikan pertanyaan dengan gayanya yang khas, sepertinya membuat Ketua PPATK tersudut.

Sedangkan kepada Arteria Dahlan yang mengingatkan Mahfud adanya ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun terhadap Pasal 11 UU No.8 tahun 2010  tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU.

Pasalnya, Mahfud dituding telah membocorkan dokumen mengenai transaksi janggal Rp 349 triliun di lingkungan Kemenkeu.

“Beranikah saudara Arteria bilang kayak gitu kepada Kepala BIN Bapak Budi Gunawan. Pak Budi Gunawan anak buah langsung Pak Presiden, bertanggung jawab pada presiden, bukan anak buah Menko Polhukam,” ucap Mahfud.

Ucapan Mahfud ini disanggah oleh Arteria Dahlan, bahkan ia merasa dibenturkan dengan Budi Gunawan. Arteria juga merasa Mahfud, menggertaknya karena dianggap menghalangi penegakan hukum. Ia juga merasa heran kalau Prof Mahfud memberikan komentar yang tajam pada dirinya, padahal selama ini ia merasa tidak pernah mengomentari Prof. Mahfud 

Selanjutnya, Mahfud mengemukakan alasannya, kenapa membongkar kasus janggal transaksi Rp 349 triliun itu. Mahfud mengatakan, ia berwenang mengungkap dugaan transaksi mencurigakan tersebut ke publik. “Saya mengumumkan kasus itu sifatnya agregat, tidak menyebut nama orang, dan tidak menyebut nomor akun,” paparnya.

Mahfud mengaku paham bahwa undang-undang melarang pejabat terkait mengungkap identitas orang, nama perusahaan, hingga nomor akun pihak yang diduga terlibat tindak pidana. Ia menegaskan, dirinya punya wewenang untuk menerima atau meminta laporan dari PPATK mengenai dugaan transaksi mencurigakan karena posisinya di Komite TPPU.

Mahfud merasa heran dengan sejumlah anggota DPR yang meributkan pernyataannya sampai-sampai menyinggung pada pidana soal pembocoran dokumen rahasia TPPU yang dimuat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

“Padahal, membuka dugaan kasus pidana ke publik bukan suatu hal yang baru dan menjadi hal wajar selama sesuai dengan ketentuan perundangan,” jelasnya.

Menjelaskan perincian transaksi janggal yang berjumlah Rp 349 trilun, Mahfud merinci detailnya. Transaksi janggal tersebut terbagi pada tiga kelompok. Pertama,  salah satunya transaksi keuangan pegawai Kementerian Keuangan sebesar Rp 35 triliun.

“Kemarin Ibu Sri Mulyani di Komisi XI menyebut hanya Rp 3 triliun, yang benar Rp 35 triliun,” ujar Mahfud.

Kedua, transaksi keuangan mencurigakan terkait yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain sebesar Rp 53 triliun.

Ketiga, transaksi keuangan  mencurigakan terkait kewenangan  pegawai Kemenkeu sebagai penyidik tindak pidana asal dan TPPU yang belum diperoleh datanya sebesar Rp 261 triliun. “Jadi, total jumlahnya sebesar Rp 349 triliun,” ungkap Mahfud.

Menurut Mahfud, dalam mengatasi kejahatan pencucian uang cukup sulit, karena itu  diperlukan adanya undang-undang penyitaan asset. Karena itu  DPR  perlu membuat undang-undang ini. Tahun 2000 pernah diajukan, DPR pada waktu itu sudah memprioritaskan, namun RUU ini dikeluarkan kembali. ” Kalau undang-undang ini ada lebih mudah mengatasi pencucian uang,” katanya.

Sementara itu mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra mengatakan, setiap laporan PPATK itu seharusnya ditindak lanjuti. Kejahatan money laundring itu kejahatan pokoknya apa. Sebab, tidak ada kegiatan pencucian uang kalau tidak ada predikat crimenya. Harusnya setiap laporan PPATK itu disampaikan ke penegak hukum untuk ditindak lanjuti.

Dalam kasus yang disampaikan oleh Mahfud MD, menurut Yusril, itu dari 2009 sampai 2023 sampai 14 tahun. Padahal setiap laporan itu harus disampaikan ke aparat hukum  untuk ditindak lanjuti, dan tidak bisa diakumulasi sampai beberapa tahun. Kalau kejahatannya merupakan pencucian uang diserahkan ke polisi, sedangkan kalau korupsi diberikan wewenang kepada KPK.

Pakar hukum tata negara ini juga merasa heran, biasanya persoalan seperti  yang diungkap  Mahfud ini umumnya adalah pekerjaan LSM. ” Kalau sekarang diungkap oleh orang dalam pemerintahan, apakah tidak merugikan, investor akan takut menanamkan modalnya dalam negeri,” jelasnya, dalam acara Karni Ilyas Club.

Dalam debat Mahfud dengan anggota Komisi III itu muncul juga pendapat yang beda. Anggota Komisi III Johan Budi dari Fraksi PDIP, misalnya,   mengingatkan Menko Polhukam Mahfud MD untuk tidak mengusik -usik “kotoran” pejabat lain. Pembicaraan itu pecah dalam perdebatan panas di rapat dengar pendapat  di Komisi III DPR.

Mantan juru bicara KPK dan Presiden Widodo ini memberikan saran untuk tidak mengungkit kotoran pejabat, sebab menurutnya setiap orang memiliki sisi gelap masing-masing. Ia menyarankan fokus pada pokok persoalan yang sudah diagendakan.

Lha, kalau menyangkut korupsi dari oknum  pejabat bagaimana. Apakah ini tidak termasuk kotoran yang barus dibersihkan?

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda