Publikasi menggembirakan dikemukakan BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal). BPJPH menyebutkan, bahwa sampai 2022 pihaknya telah memberikan Sertifikat Halal (SH) untuk 945.795 pelaku usaha. Secara kuantitatif, angka itu jumlahnya masih kurang darii 10 persennya dari target yang ditetapkan.
Asosiasi Lembaga-lembaga Pemeriksa Halal (LPH) di Indonesia, saat ini ada 31 lembaga, diresmikan di Gedung Majelis Ulama Indonesia/MUI, Senin, 13 Maret 2023 yang lalu. Terpilih sebagai Ketua Asosiasi Lembaga Pemeriksa Halal Indonesia/ALPHI, Elvina Agustin Rahayu, dari Lembaga Pemeriksa Halal dan Kajian Halal Thayyiban Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Ia terpilih memimpin ALPHI periode 2023-2025.
Menurut Elvina Agustin Rahayu, “Pada tahun 2022 LPH yang telah mendapatkan semacam akreditasi sebanyak 39 dan Lembaga Pendampingan Proses Produk Halal/LP3H sebanyak 156. BPJPH menargetkan bahwa tahun 2023 SH untuk PU mikro kecil sebanyak 1 juta dengan skema reguler dan self declare.”
Dalam rencana kerjanya, LPH ditargetkan bersertifikat halal dalam angka tertentu. Elvina melanjutkan, “LPH sebagai mitra bagi BPJPH sudah diminta untuk menyampaikan target pemeriksaan halal bagi PU yang harus mendapatkan SH per 2024. Intinya saat ini 39 LPH dan 156 LP3H yang ada harus bekerja sama dengan BPJPH untuk memenuhi minimal target yang telah disampaikan oleh BPJPH.”
Pengawasan dan Sanksi
“Regulasi terkait perlindungan konsumen saat ini masih menggunakan UU No.8 tahun 1999. Regulasi ini sebenarnya merupakan konsekuensi dari UU Pangan No.7 tahun 1996. Sementara UU Pangan yang berlaku saat ini adalah UU No.18 tahun 2012. UU JPH No.33 tahun 2014 dan perubahannya belum memiliki aturan teknis terkait dengan perlindungan konsumen,” jelas Nurwahid, Direktur Bidang Penjaminan Produk Halal LSP/Lembaga Sertifikasi Profesi Majelis Ulama Indonesia/MUI.
Elvina khawatir target pencapaian SH bagi PU tidak terpenuhi. Menghadapi 2024 yang menurut data Kemenkop, ada sekitar 64 juta PU, bagaimana kira-kira hitungan BPJPH sehingga bagi PU yang belum memiliki SH akankah terkena sanksi? Tentang hal ini, Elvina menambah penjelasannya, ”Terkait sanksi yang mengikat pada ketiadaan SH pada Pelaku Usaha/PU, salah satu indikatornya ada pada keberadaan label halal yang menjadi satu kesatuan dari kemasan produk PU.”
Pengawasan ini merupakan lintas Kementerian/Lembaga, yaitu merupakan tupoksi dari Direktorat Pengawasan Barang Beredar dan Jasa, yang ada di bawah kementrian perdagangan. Untuk saat ini dipastikan regulasi yang digunakan oleh instansi tersebut adalah UU Perlindungan Konsumen No.8 tahun 1999. Juga bagian dari tupoksi BPOM dalam rangka melihat kepatuhan PU pada aturan label pada kemasan.”
Elvina menambahkan,”Seharusnya otomatis, semua pihak terkait menyadari, kewajiban itu tidak boleh ditunda. Hanya saja sanksinya perlu penahapan. Sementara itu, BPJPH dalam dua tahun berjalan ini, seharusnya lebih memfokuskan kegiatan pada pembenahan di hulu.” Pemenuhan persyaratan halal pada RPH/U, masuknya BTP yang merupakan bahan impor adalah hal krusial yang perlu ditetapkan mekanismenya. Keberadaan RPH/U yang memenuhi persyaratan ASUH (aman sehat utuh dan halal) harus diprioritaskan bersama dengan Pemda Provinsi/Kabupaten dan Kota.
Elvina menambahkan, ”Karantina antar pulau harus diaktifkan kembali. Regulasi di hulu terkait dengan lalu lintas hewan antar pulau dan impor sudah tersedia lengkap (aturannya) di Kementan. Tahapan pengawasan dan penerapan sanksi sebaiknya diberlakukan terlebih dulu pada keberadaan bahan-bahan yang ada di hulu. Keberadaan RPH/RPU dan masuknya bahan-bahan impor yang wajib halal, menjadi prioritas utama untuk diberlakukannya sanksi. Karena infrastruktur system yang ada pada tataran hulu ini sudah tersedia dan relatif mapan dibanding dengan keberadaan PU yang ada di hilir. RPH/PRU merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah (provinsi, kabupaten, kota), sementara PU yang melakukan import bahan tambahan pangan juga bukan merupakan PU kecil,” pungkasnya.
Selain itu, pengawasan dan sanksi yang difokuskan pada aktivitas hulu, impaknya akan memberikan kemudahan bagi PU mikro kecil untuk menghadirkan jaminan produk halalnya. Kendala PU dalam melakukan proses sertifikasi halal saat ini adalah kesulitan untuk mendapatkan bahan yang memenuhi persyaratan halal, sementara mereka diminta untuk menghadirkan bukti jaminan produk halal atas bahan yang digunakan.
Elvina menegaskan, “Jika sanksi ini diterapkan tanpa ada penahapan dan prioritas, maka saya yakin yang terjadi akan didominasi oleh kesewenangan dan ketidakadilan, sementara tujuan untuk melindungi konsumen muslim untuk mendapatkan jaminan produk halal tidak tercapai.” Karena itu, menjadi hal yang urgen –dalam misi perlindungan konsumen muslim—untuk menyegerakan langkah konkret melindungi konsumen muslim.
“Terkait penahapan sanksi, tahun 2024 produk yang terkena wajib halal adalah makanan minuman, bahan tambahan pangan (BTP) dan Rumah Potong Hewan dan Unggas (RPH/U). Rasanya juga tidak elok menunda pemberlakuan wajibnya, karenanya sejatinya UU ini lahir sejak 2014 dan masa pemberlakuan efektif sudah sejak 2019,” tegas Elvina. Pada momentum melonjaknya kebutuhan produk yang bersertifikat halal –kehalalan makanan, minuman dan kosmetik kian mendesak, dengan terbatasnya tenaga LPH pada satu sisi, dan meningkatnya tuntutan konsumen muslim pada sisi yang lainnya, kita hanya bisa mendoakan, percepatan jumlah personal pemeriksa halal yang sesuai kapasitasnya, bisa terpenuhi.
Salah satu ikhtiar rasional, melibatkan perguruan tinggi untuk merekrut tenaga profesional yang memenuhi tuntutan syariat dalam jumlah signifikan. BPJPH tidak hanya berpikir “memenuhi target” personal, tetapi secara kualitas personal yang direkrutnya juga memenuhi kriteria yang disyaratkan syariah dan sesuai tuntutan prosedur dan proses uji kehalalan produk yang diperiksa. Maka menjadi absurd menyebut self declare sebagai cara uji kehalalan kalau tidak diikuti kualifikasi pengujian kehalalan. Langkah menyeriusi uji kehalalan, bagi pegiat halal, karena terkait syariah, menjadikan hal itu sebagai jihad.