Ads
Ramadan

Bimbo dan Taufiq Ismail: Musik Puisi, Puisi Musik

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Pertama nonton konser Bimbo (saat itu dengan nama Trio Bimbo dan Iin Parlina) di Yogya tahun 1974, saya melihat energi yang begitu kuat terpancar dari performance mereka. Formatnya musik akustik, didukung dengan kekuatan lirik. Saat itu saya tidak menyangka bahwa sound Bimbo yang khas itu akan menjadi sesuatu yang sampai sekarang, senantiasa terdengar secara periodik.

Setiap bulan puasa, seperti tiba-tiba, tanpa komando, radio-radio banyak memutar musik Bimbo. Artinya, jutaan manusia Indonesia mendengar mereka bernyanyi, melantunkan lagu-lagu religius. Jutaan manusia Indonesia yang sedang beraktivitas apa pun, disengaja atau tidak, disadari atau tidak, mendengar lagu-lagu Bimbo. Musik Bimbo menjadi seperti acuan kegiatan selama bulan puasa. Mulai dari diputarnya lagu islami mereka di radio, terdengarnya syair-syair mereka di toko-toko atau mal-mal, atau lagunya menjadi lagu wajib lomba musik dalam acara pesantren seni di kampus-kampus dan di kampung-kampung. Pada bulan puasa Bimbo juga menjadi pembicaraan di segala macam media.
Musik Bimbo telah menjadi sebuah tradisi, atau setidaknya bagian dari tradisi puasa pada bulan Ramadan, bulan suci umat Islam, mayoritas manusia Indonesia.

Pada awal puasa ini, kebetulan saya mendengar lagu berjudul Tuhan, merupakan lagu Bimbo yang sering diputar.

Juga terdengar Rembulan dan Matahari. Yang disebut terakhir merupakan kolaborasi Bimbo dengan Penyair Taufiq Ismail. Dengan demikian, keberadaan Bimbo terkait juga dengan keberadaan Taufiq Ismail. Musik dan puisi, puisi dan musik, menjadi satu, menjadi sesuatu. Dan kalau dipilah-pilah sesuatu itu terdiri dari musik, puisi, dan warna suara

Sebuah Sinergi

Bimbo telah menancapkan image begitu kuat, dalam kurun waktu lebih dari seperempat abad, menjadi semacam ikon tersendiri ketika umat Islam di Indonesia menjalankan ibadah puasa. Penggemarnya bisa dikatakan meningkat atau tepatnya bisa dianggap stabil dari tahun ke tahun. Disadari atau tidak, Bimbo telah bersinergi dengan Taufiq Ismail dengan menghasilkan hits untuk musik religius, setidaknya selama sebulan dalam setahunnya. Sebuah sinergi antara pemusik dan penyair atau bahkan sinergi antara bunyi dan kata.

Sinergi keduanya telah menghasilkan sebuah power, karena bisa membuat penyadaran, sebagai pewarna dan pendukung alam imajinasi manusia saat mereka menjalankan ibadah. Ketika menikmati musik dan menyerap syairnya, mereka menyadarkan kita akan hakikat hidup. Yang masuk di benak manusia tidak hanya kata-kata, tetapi musik yang puitis. Tema keagamaan, islami, dimunculkan dalam bentuk realitas yang abstraktif. Suatu karya yang barangkali hanya bisa dicapai kalau orang sudah bisa melaksanakan seluruh kegiatan hidupnya sebagai sebuah ibadah.

Di radio, pada waktu bulan puasa, sinergi mereka diteruskan menjadi semacam audio performing art. Broadcaster yang berfungsi sebagai penyiar menambahkan dengan kata-kata pengantar yang mendukung keberadaan lagu yang diputar. Tiba-tiba saja, Bimbo pada bulan puasa menjadi bagian dari sebuah top-40 musik radio. Apa jadinya? Di benak pendengarnya, terpampang sebuah image, tentang ketakwaan, tentang keindahan hidup manusia. Indah! Kehidupan manusia yang indah! Betapa pentingnya hal ini, terutama kalau kita hubungkan dengan situasi masa kini di Indonesia.

Dunia Industri, Musik dan Puisi

Industri musik masih berpihak kepada Bimbo, ketika kebutuhan atau permintaan pasar untuk rekaman mereka meningkat mulai menjelang bulan puasa. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa yang terjadi adalah berjalan-mesranya fungsi-fungsi industri dan fungsi-fungsi kesenian, baik itu industri media ataupun industri musik. Ini pun sebuah sinergi.

Musik Bimbo jelas diperkuat oleh lirik penyair. Artinya dunia puisi juga tidak hanya menempati bidang industri buku atau poerty reading. Industri musik sedikit banyak telah dirambah puisi melalui musik Bimbo sejak tahun 70an. Selain Taufiq Ismail, Bimbo juga menggarap puisi-puisi penyair lainnya atau penyair membuat lirik untuk musik karena kerja yang cukup baik dari partner Bimbo atau pengontraknya dari sektor industri. Sebuah manajemen industri musik yang mampu menguasai pasar, sejak rilis \pertama albumnya sampai cetak ulang atau pembuatan album kompilasi. Musik Bimbo yang berciri akustik juga lahir berbarengan dengan mewabahnya jenis musik yang disebut folk-song di Indonesia, yang juga berciri musik akustik. Pada saat yang sama, industri gitar akustik (bisa disebut sebagai alat musik utama Bimbo dan pemusik folk song) juga marak, baik produksi lokal maupun impor dari Jepang dan Taiwan. Sesudah itu, sebagian penyair mengangkat gitar, melantunkan puisi dalam nada.

Kebersamaan

Apakah karya musik puisi atau puisi musik ini merupakan karya monumental yang dahsyat? Berapa orang yang menyanyikan atau ikut menyenandungkan setiap tahunnya? (Atau, kalau melihat fungsinya, powernya, komersialnya serta keabadian dan mentradisinya, apakah karya-karya Bimbo dan Taufiq Ismail ini bisa dikatakan sebagai intangible heritage itu, ya?). Saya pikir, daripada mencari jawab pertanyaan-pertanyaan ini, lebih baik kalau melihat karya mereka dari sisi lain, yaitu cara kerjanya.

Kerja sinergis semacam ini membutuhkan pengertian dari kedua belah pihak. Sebuah kerja tim! Bukan sebuah terjadi adalah: pemusik menerjemahkan puisi menjadi lantunan lagu atau penyair menyusun kata dalam lantunan lagu, keduanya, lirik dan musik, menjadi kesatuan yang tak terpisahkan. Hanya sekadar itu? Tentu tidak. Yang penting sesungguhnya adalah proses. Proses berbaur dan menyatunya dua kutub ide. Proses di mana ego-ego berbenturan, nafsu-nafsu pribadi saling menantang, akal-akal sehat saling menyapa. Proses itu berjalan dalam sebuah kebersamaan.

Spirit kebersamaan inilah kuncinya. Bimbo dan Taufiq Ismail telah mengajarkan kepada kita bahwa kebersamaan adalah salah satu kunci menuju kelanggengan atau keabadian yang dinamis. Kita ini hidup untuk apa, untuk siapa, maunya bagaimana, dan seterusnya. Untuk situasi Indonesia saat sekarang, untuk seluruh manusia Indonesia, siapa pun, ini juga penting. Kebersamaan.

Penulis: Sapto Rahardjo, pemusik, broadcaster dan pekerja seni.
Sumber: Majalah Panjimas, 13-26 November 2002

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda