Subuh hari saya membuka pintu pagar. Kala itu pintu pagar rumah kami belum diubah menjadi setinggi seperti sekarang. Setelah pintu saya tutup kembali, dan saya membalik badan, sudah ada Pak Latif di depan saya. Ia tetangga depan rumah.
Usia Pak Latief jauh di atas saya. Mungkin berbeda sekitar 15 tahunan. Tepatnya saya tidak tahu. Dia termasuk jamaah tetap mesjid dekat rumah kami. Tak hanya jamaah salat subuh, melainkan juga jamaah waktu salat lainnya.
Waktu itu kami sama-sama menuju mesjid untuk salat subuh. Sambil berjalan kaki, kami sempat ngobrol-ngobrol sejenak, sampai kami tiba di mesjid. Jarak rumah kami ke mesjid memang cuma sebatas “lembaran batu.”
Tapi itu kejadian sekitar 10 tahun silam. Kini Pak Latief sudah tidak ada. Sekitar dua tahun silam ia wafat. Lantaran waktu itu sedang berjangkit wabah Covid-19, saya bahkan tidak dapat melayat dan mengantar ke peristirahatan terakhir.
Selama saya salat subuh di mesjid, Pak Latief merupakan salah satu orang tua yang sering bertemu saya waktu berjalan ke mesjid atau waktu di mesjidnya sendiri. Bahkan ketika di usia senjanya, Pak Latief menderita dimensia, semacam penyakit lupa, dia masih sering terlihat berjalan menuju mesjid.
Bersama-sama Pak Latief saya juga hampir setiap hari bersua dengan banyak “bapak-bapak” lain yang usianya di atas saya. Katakanlah satu generasi di atas saya. Para orang tua itu telah lebih dahulu dipanggil kembali oleh Sang Pencipta. Mereka satu persatu kembali ke pangkuan-Nya.
Pak Nawawi, misalnya, mantan ketua RT dan orang yang ikut aktif selama proses pembangunan mesjid dekat rumah saya, sudah lebih dahulu menghadap Sang Khalik. Lelaki yang dulu tinggal di dekat tikungan itu pernah memberi saya pohon kurma. Tapi sayang karena saat itu musim hujan lebat, pohon kormanya walaupun sudah ditanam dengan bergerobak-gerobak pasir, akhirnya gagal tumbuh.
Saya mendengar cerita dari banyak orang, Pak Nawawi semasa muda mampu mengatasi berbagai problem keamanan atau sengketa sosial. Oleh lantaran itu dia ketika hidup menjadi tokoh yang sangat disegani. Belakangan Pak Abbas, anaknya, meneruskan jejaknya pernah sebagai ketua RT.
Ada juga Pak Yamin. Jurangan besi ini yang membawa saya membeli tanah di depan rumah saya seluas 1.800an meter persegi, tapi kini sudah saya jual kembali. Di bawah kepemimpinan kegiatan RW kami waktu itu sangat dinamis. Di juga salah satu jamaah yang sangat sering sholat subuh di mesjid. Dia malah sudah meninggal lebih dahulu dari generasinya.
Lalu ada Pak Sainan. Lelaki yang menjadi perantara waktu saya membeli rumah yang saya tempati sekang, pun telah pergi selamanya. Sebelumnya dia hampir selalu lalu lalang di depan rumah saya. Tetangga setelah tikungan dalam rumah saya ini, kalau lebaran selalu pada pagi hari pertama datang lengkap dengan hampir seluruh keluarga besarnya. Kini tinggal anak cucunya yang masih berinteraksi dengan kami, karena istrinya pun beberapa bulan silam menyusulnya ke alam baka. Salah satu anaknya sekarang menjadi ketua RT di lingkungan kami.
Itu cuma empat contoh tetangga yang biasa salat subuh bersama-sama di mesjid. Semua telah pergi. Selain keempatnya, tentu, banyak lagi yang telah pergi untuk selama-lamanya. Saya perhatikan, saat ini tinggal beberapa orang tua saja generasi di atas saya yang masih hidup, termasuk Ustaz Satiri, ketua mesjid kami. Selebihnya tinggal kenangan saja. Sebuah generasi jemaah salat subuh di mesjid tanpa terasa berlalu sudah.
Dengan begitu, dalam usia saya saat ini 64 tahun, saya telah memasuki genrasi baru sebagai jamaah salat subuh. Posisi yang sebelumnya ditempati oleh para alhmarhum seperti Pak Latief, Pak Yamin, Pak Nawawi atau Pal Sainan, telah beralih ke generasi saya. Sekitar 25 tahun terjadi peralihan itu. Maka kini saya dan kawan-kawan segenerasi sudah dikelompokkan ke generasi “bapak-bapak” yang relatif sepuh.
Agama Islam mengajarkan agar kita memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Merugilah mereka yang menyia-nyiakan waktu. Dalam hal ini, bukankah ada ajaran yang terkenal: manfaatkanlah lima perkara, sebelum datang lima perkara lain:
- Manfaatkankah waktu mudamu, sebelum waktu tuamu tiba.
- Manfaatkanlah masa sehatmu, sebelum waktu sakitmu tiba.
- Manfaatkanlah masa kayamu, sebelum masa miskinmu tiba.
- Manfaatkanlah waktu luangmu, sebelum waktu sibukmu tiba.
- Manfaatkanlah waktu hidupmu, sebelum waktu matimu tiba.
Salat subuh rutin di mesjid, tanpa terasa sudah menghasilkan generasi baru. Setidaknya kami yang rutin salat subuh di mesjid, sudah memanfaatkan waktu yang diberikan oleh Pencipta kepada kami, tanpa terasa telah rutin salat subuh di mesjid.
Mungkin itulah sebabnya dalam kumandang azan subuh disebut “Ash-Shalatu khairun minan naum”. Ya, salat (subuh) lebih baik daripada tidur.
(Bersambung)
Penulis: Wina Armada Sukardi, wartawan dan advokat senior, juga anggota Dewan Pakar Pengurus Pusat Muhammadiyah. Tulisan ini merupakan reportase pribadi yang tidak mewakili organisasi.