Momentum Ramadan kerap dipandang sebagai bulan berzakat. Filantropi zakat biasanya meningkat. A Kebetulan komunitas pegiat zakat, yang tergabung dalam Forum Zakat, menyiapkan sebuah survei pengukuran indeks zakat.
Hal ini mengingatkan tentang sahabat Umat bin Khattab. Diceritakan, pernah suatu masa kelaparan tengah mencapai puncaknya. Khalifah Umar bin Khattab pun pernah disuguhi remukan roti yang dicampur samin. Umar memanggil seorang badui, pedalaman, dan mengajaknya makan bersama. Umar tidak menyuapkan makanan ke mulutnya sebelum badui itu melakukannya terlebih dahulu. Orang badui sepertinya sangat menikmati makanan itu. Terjadi dialog antara Umar dan orang pedalaman itu.
“Agaknya Anda tidak pernah merasakan lemak?” tanya Umar.“Benar,” kata badui itu. “Saya tidak pernah makan dengan samin atau minyak zaitun. Saya juga sudah lama tidak menyaksikan orang-orang memakannya sampai sekarang,” tambahnya.Mendengar kata-kata sang badui, Umar bersumpah tidak akan makan lemak sampai semua orang hidup seperti biasa. Ucapannya benar-benar dibuktikan. Kata-katanya diabadikan sampai saat itu, “Kalau rakyatku kelaparan, aku ingin orang pertama yang merasakannya. Kalau rakyatku kekenyangan, aku ingin orang terakhir yang menikmatinya.”Padahal saat itu Umar bisa saja menggunakan fasilitas Negara. Kekayaan Irak dan Syam sudah berada ditangan kaum Muslimin. Tapi tidak. Umar lebih memilih makan bersama rakyatnya.Pada kesempatan lain, Umar menerima hadiah makanan lezat dari Gubernur Azerbeijan, Utbah bin Farqad. Namun begitu mengetahui makanan itu biasanya disajikan untuk kalangan elit, Umar segera mengembalikannya. Kepada utusan yang mengantarkannya Umar berpesan, “Kenyangkanlah lebih dulu rakyat dengan makanan yang biasa Anda makan.” Petikan tarikh dari masa sahabat itu, diabadikan dalam riwayat, dan diingat muslimin hingga saat ini.
Nukilan Perbincangan di FOZ
Sehari sebelum Ramadan, terjadi diskusi kecil di antara pegiat zakat di Forum Zakat Nasional (FOZ), di kantor mereka di Jakarta Selatan. Mereka sedang menyiapkan riset mengenai zakat. Mereka meyakini bahwa problem zakat di Indonesia, masih begitu menonjol “pemiskinan”, bukan kemiskinan alami. Lebih sebagai kelalaian yang menjadi ranah aktivitas struktural pemerintah. Misalnya, petani hari ini, merasakan bahwa sehebat-hebatnya ia berusaha, selama kebijakan tidak berpihak kepada mereka, alih-alih sejahtera, biaya saprodi (sarana produksi padi) dan saprotan (sarana produksi pertanian) akan lebih tinggi daripada hasil pertanian mereka.
Maka bisa saya katakan, survei indeks kemiskinan menjadi langkah awal memerangi kemiskinan. Kelakuan pejabat publik yang bermewah-mewahan, amat kontras dengan kemiskinan yang masih mengemuka di negeri ini.
Benar bahwa tindakan cepat untuk mengatasi kemiskinan sewaktu, pemerintah melakukan impor, namun pada satu sisi pemerintah “bersemangat” mengimpor pangan ketimbang mengandalkan hasil pertanian petani domestik. Pada sisi lain, kebijakan impor bisa dipastikan menyisihkan fee bagi pejabat yang berwewenang. Hal itu amat bertolak belakang dengan sikap yang dicontohkan khalifah Umar bin Khattab.
Data yang pernah ditunjukkan BPS Indonesia menyebutkan, 9.8% populasinya hidup di bawah garis kemiskinan nasional (tahun 2020). Proporsi populasi Indonesia yang bekerja di bawah paritas daya beli $1,90 membaik dari 10,4% di 2013 menjadi 3,5% di 2019. Dari tiap 1.000 bayi yang lahir di Indonesia, 24 di antaranya meninggal sebelum usia 5 tahun. Dengan angka ini, secara global Indonesia tidak bisa dikatakan sedang baik-baik saja! Amat tepat jika sebuah komunitas zakat bernama Forum Zakat, bergegas untuk melakukan survei indeks kemiskinan, setidaknya dikalangan anggota FOZ.
Paling tidak langkah awal perang melawan kemiskinan, adalah dengan merilis survei indeks kemiskinan bagi anggota FOZ. Sebuah angka yang niscaya menstimulasi rangkaian kebijakan yang mengarah pada “perang melawan pemiskinan”, “perlawanan pada gaya hidup hedonis”, lebih menukik lagi, “perang melawan korupsi”.