Ads
Cakrawala

Pribadi Muhammad (1): Sebagai Manusia Biasa

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Kita melihat pribadi Muhammad SAW dari dua sisi. Yaitu, pertama, Muhammad sebagai manusia biasa, dan kedua Muhammad sebagai rasul Allah. Ini kita lihat supaya kita dapat memosisikan Nabi Muhammad, bagaimana sesungguhnya. Supaya jangan kita mendudukan Nabi sebagai “personal magic” yang luar biasa. Apalagi kita dengar sebuah lagu yang menurut saya berlebih-lebihan bahwa Muhammad itu nur ‘ala nur. Padahal kata nur ‘ala nur (cahaya di atas cahaya) itu boleh diucapkan hanya kepada Allah (lihat Q. 24:35: “Allah cahaya langit dan bumi. Lambang cahaya-Nya bagai misykat, di dalamnya pelita. Pelita di dalam kaca. Adapun kaca seakan bintang bak mutiara, disulut dari pohon zaitun mubarak yang bukan di timur dan bukan di barat. Hampir saja minyaknya langsung menerangi walau tidak disentuh api. Cahaya atas cahaya!” red.). Karena itu penyebutan tersebut berlaku hanya bagi Allah semata.

Dari gabungan manusia biasa dan rasul itulah hidup pribadi Muhammad SAW yang kita sebut Insan Kamil. Kenapa kita tekankan beliau sebagai manusia biasa? Karena dia itu akan menjadi panutan kita. Adakah Tuhan mengirimkan anak-Nya ke dunia? Kalau anak Tuhan, wajar nggak menjadi orang baik dan menjadi sempurna? Atau malaikat yang diutus ke dunia, maka wajar menjadi hamba yang baik. Tetapi kita manusia biasa akan sulit menjadi seperti malaikat. Karena itu sangat ditekankan Nabi Muhammad sebagai manusia biasa dan kalau manusia biasa apa kesulitan kita untuk mengikutinya sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik)

Kita bisa lihat Muhammad sebagai manusia biasa, yang lahir sekitar 571 M., seperti halnya kita sekarang ini. Bahkan Muhammad lahir sebagai anak yatim: ayahnya meninggal sewaktu beliau masih dalam kandungan Ibu (masa tiga bulan). Sama dengan kita yang dilahirkan dari perut ibu. Ada sebuah tradisi di sana di zaman dahulu, bahwa bayi atau anak yang lahir tidak diasuh langsung oleh ibu kandungnya sendiri. Anak tadi dikirim ke pedesaan, dengan udara yang bersih dan pergaulan yang baik. Maka Muhammad SAW dikirim ke suatu daerah perkampungan yang disebut Bani Sa’d dan diasuh seorang ibu yang bernama Halimatus Sa’diah.

Ketika sudah berumur lima tahun, Muhammad dikembalikan kepada ibunya Siti Aminah dan tumbuh menjadi manusia biasa seperti kita. Kemudian beberapa bulan Muhammad dibawa ibunya ke Madinah, karena keluarga ayahnya berada di Madinah dan ayahnya, Abdullah, meninggal di Madinah sewaktu pergi berniaga ke Syam di sebelah utara. Kemudian dibawalah Muhammad yang berusia lima tahun itu oleh Aminah ke Madinah, berkunjung ke kubur ayahnya. Berceritalah Aminah, sang ibu, kepada anaknya, wahai anakku, inilah kubur bapakmu. Muhammad sebagai manusia biasa tidak bisa berbuat apa-apa, dan pasrah karena ayahnya sudah tiada.

Kemudian Muhammad kembali ke Mekah bersama sang ibu dan pembantunya, Ummu Aiman, dan sewaktu perjalanan itu sang ibu pun jatuh sakit, dan tidak lama kemudian meninggal. Sekarang ini bukan saja Muhammad mendengar cerita tentang kematian ayahnya, tapi dengan mata kepala sendiri melihat ibunya meninggal ketika pulang ke Mekah dari Madinah. Akhirnya Muhammad resmi menjadi seorang anak yatim piatu, dan harus memikul penderitaan. Setelah sampai di Mekah Muhammad diasuh sang kakek.

Merenungkan kondisi masyarakat

Sampai akhirnya, ketika berusia tujuh tahun, Muhammad ditinggalkan sang kakek kemudian Muhammad diasuh pamannya sendiri, Abu Thalib. la mempunyai anak banyak, dan tentu saja bertambah lagi bebannya itu, tetapi Muhammad dimintai bantuannya menggembalakan kambing si paman itu,  yang berasal dari orang-orang bangsawan. Tradisi menggembalakan kambing itu sebuah kebiasaan bangsa Arab dan nabi-nabi terdahulu, seperti Nabi Musa dan Nabi Syu’aib. Apalagi ketika Musa kawin dengan anak Nabi Syu’aib maskawinnya pun cukup dengan menggembalakan kambing.

Menggembalakan kambing itu harus ekstrahati-hati. Coba, kalau kambing kita lepaskan saja, dia akan masuk ke kebun orang. Kalau kita ikat, nanti talinya akan diputar-putar berkeliling menjerat tubuhnya, yang akhirnya dapat membunuh dirinya sendiri. Karena itu ada sebuah pesan pendidikan dari situ: “Sebelum kamu memelihara manusia, coba kamu pelihara dulu kambing-kambing ini. Karena nanti kamu (Muhammad) akan menjaga manusia dan manusia itu lebih dari kambing.” Kambing tidak mungkin memanjat rumah orang, menjadi maling, paling-paling tanaman dari kebun yang dimakan. Tapi manusia itu bisa merusak dan menghancurkan rumah dan kebun.

Selama menggembalakan kambing Muhammad dan teman-temannya tidak pernah ikut anak-anak bangsawan waktu itu yang kerjanya berjudi, minumminum dan main perempuan dan sebagainya. Setelah sekian lama menggembalakan kambing itu Muhammad sudah mulai merenung coba banyangkan sewaktu siang Nabi memelihara kambing, malamnya merenungi ciptaan Tuhan. Ada bulan, dan bintang. Dan jika bulan dan bintang tidak ada, alam ini menjadi gelap, dan akhirnya ia sangat sadar bahwa sesungguhnya antara dirinya dan bulan bintang itu ada  hubungan, yaitu sebagai makhluk ciptaan Tuhan.

Muhammad diberi gelar “Al-Amin” (orang yang bisa dipercaya). Itu sebabnya di antara ayat yang turun di masa pertama ada yang berbunyi “Wainnaka lIa’ala khulugin ‘azhim (Dan sesungguhnya kamu/Muhammad berdiri pada akhlak yang agung)”, jadi pantas menyandang tugas kenabian. Cobalah kita bayangkan sekarang ini, jika kesempatan menjadi nabi masih ada, kira-kira kuat tidak memikul tugas kenabian itu. Kita tidak akan kuat, sementara kita dari awal banyak dosa, karena kita tidak mempunyai latar belakang pribadi yang suci seperti Muhammad ini.

Setelah berumur 40 tahun, Muhammad mulai berkontemplasi, berkhalwat di Gua Hira, dan merenungi semua yang diciptakan tuhannya itu ternyata sangat indah dan bernilai. Akhirnya Muhammad memikirkan nasib teman-temannya yang lain, yang bermabuk-mabukan dan suka main perempuan. Itu menjadi bebannya untuk mengubah kebiasaan mereka. Banyak contoh yang bisa kita lihat sekarang ini seperti kondisi zaman Nabi itu — seperti krisis moral, pembakaran hutan dan banjir di mana-mana. Akhirnya kondisi itulah yang menjadi renungan Muhammad — sebagaimana juga menjadi beban para ustaz dan ulama-ulama saat ini. Jika kerusakan moral terjadi, kekacauan alam terjadi sekarang ini, jangan diasumsikan Allah marah kepada kita. Justru Allah sangat baik dan tidak pernah menzalimi manusia, karena kita sendiri yang merusak dan menzalimi.

Apa yang terjadi sekarang ini disebabkan hasil tangan manusia sendiri, dan akhirnya menjadi beban dan tanggung jawab semua. Pada masa Muhammad hal ini sudah menjadi beban berkepanjangan, dan sambil merenung di Gua Hira, dengan kebersihan batin, dengan kegelisahan melihat umatnya, Muhammad tidak henti-hentinya meminta petunjuk dan pertolongan Allah.
(Bersambung)

Penulis: Prof. Dr. Zainun Kamal, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.


Sumber: Majalah Panjimas, 3-Oktober – 12 November 2002

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda