Ads
Aktualita

Yang Kawin Tapi Ogah Punya Keturunan

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Dalam kehidupan berkeluarga atau setelah menikah sering kita temukan pasangan yang belum memiliki anak. Banyak faktor penyebabnya, tetapi yang dominan faktor medis atau bisa juga faktor keturunan. Pada umumnya di masyarakat kita jika seseorang telah menikah pasti mengharapkan lahirnya seorang momongan. Berbagai upaya dilakukan untuk mendapatkan si buah hati, bahkan ada yang nengadopsi anak untuk “memancing” lahirnya anak sendiri. 

Pada umumnya jarang kita temukan sepasang suami istri yang telah menikah tidak berharap lahirnya anak. Kalaupun ada pastilah sebuah kasuistik, yang mungkin dianggap keanehan.

Namun demikian, dalam masyarakat dunia saat ini yang tingkat komunikasi dan interaksi sudah demikian intens, mudah dan cepat berbagai paham baru, budaya dan ideologi begitu mudahnya masuk dan mempengaruhi masyarakat. Dan, salah satu budaya atau katakanlah pemikiran yang muncul termasuk dalam corak kehidupan berkeluarga. Di kalangan keluarga masyarakat Barat misalnya muncul tren atau pemikiran yang disebut childfree. Yakni pasangan yang sudah atau akan menikah ingin hidup tanpa memiliki anak. Mereka hanya ingin berdua saja, tanpa beban. 

Bisa dipahami, paham childfree muncul karena negara Barat yang dominan pemikiran  sekuler selalu bertitik tolak bahwa hidup ini adalah untuk mencari kesenangan. Mereka tidak mengkaitkan aktivitas kehidupan ini dengan keyakinan spiritual atau bahwa hidup ini untuk beribadah kepada Allah untuk meraih kehidupan yang kekal setelah adanya kematian.

Demikian pula bahwa di Barat tumbuh subur  gerakan feminisme yang banyak menuntut persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, sehingga mereka ingin bebas dan berkiprah lebih luas di ruang publik sama halnya dengan kaum laki. Karena itu tidaklah asing kalau paham seperti childfree ini bisa subur tumbuh dan berkembang.

Karena itu pemikiran hidup berkeluarga menurut model childfree sangatlah tidak cocok buat Indonesia yang mayoritas beragama Islam dan memiliki konsep yang suci dan luhur dalam berkeluarga. 

Bagi Islam pernikahan itu adalah suatu yang suci. Ia bukan semata penyaluran kebutuhan biologis. Pernikahan merupakan ibadah kepada Allah dan salah satu sunah Rasul.

Kemudian inti perkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan. Dengan demikian manusia bisa berkembang dan tidak punah. Namun, di sini makin penting pernikahan atau perkawinan itu karena anak jelas nasabnya, jelas keturunannya, dan jelas penanggung jawabnya, yaitu kedua orang tuanya yang sudah terikat dengan pernikahan. Karena pernikahan itu yang dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 21  disebut Mitsaqan ghalidza atau perjanjian suci memiliki konsekuensi,  keduanya bertanggung jawab penuh pada anaknya baik fisik maupun spiritual dan mentalnya. Karena itu perkawinan dalam Islam adalah untuk kemaslahatan rumah tangga, keturunan dan  kebaikan bagi masyarakat.

Kemudian ketika anak lahir sebagai buah pernikahan, ia bukanlah semata ” buah hati ” dan kesayangan orang tuanya. Tetapi, anak ini juga menjadi amanah dari Allah untuk dipelihara dan dididik sebaik mungkin. Anak itu harus diusahakan memiliki  Iman yang kuat sehingga terhindar dari kekufuran atau terhindar dari ingkar kepada Allah dan terjaga dari siksa neraka. Untuk itu sejak umur 7 tahun anak disuruh shalat, pada usia 10 tahun boleh dipukul jika tidak shalat. Hadist Nabi mengatakan, “Ajarkanlah dan biasakanlah anak-anakmu tiga perkara, cinta Nabi, cinta keluarganya dan senang membaca Al-Qur’an,”. Semuanya ini dalam rangka membangun imannya dan upaya menjadikan anak yang saleh.

Beberapa kewajiban orang tua kemudian lahir terhadap anak. Pertama, menjaga aqidahnya. Hadist Nabi mengatakan, “Setiap anak dilahirkan atas fitrah, maka kedua ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi.” 

Hadis Nabi di atas mengingatkan, agar setiap orang tua menjaga aqidah anaknya agar tidak menyimpang dari aqidah Islam atau murtad pada agama lain yang bukan Tauhid. 

Kedua, kewajiban orang tua terhadap anak adalah mendidiknya dengan budi pekerti yang baik, memiliki sopan santun agar punya akhlak yang mulia, sebagaimana diajarkan Rasulullah. 

Ketiga, kewajiban orang tua mengajar anak menulis dan membaca. Menulis dan membaca adalah pintu untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Baik ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan dunia dan alam semesta ini. Kewajiban menuntut ilmu sangat dianjurkan oleh Islam dalam rangka memberantas kebodohan. Kewajiban orang tua agar anaknya pandai membaca dan menulis dan memiliki pengetahuan ini adalah amanah Allah yang harus dilaksanakan.

Keempat, mengawinkan anaknya apabila sudah ada jodohnya. Dalam hal ini orang tua mencarikan jodoh yang baik, jangan sampai anak salah memilih jodoh. Sebab, perkawinan akan menentukan masa depan kehidupannya. Jangan sampai anak salah memilih jodoh orang yang tidak berakhlak, terutama perempuan jangan sampai dipersunting oleh laki-laki yang bukan muslim. 

Kelima, penting lula diperhatikan agar orang tua memberi anak-anaknya dengan nama yang baik. Hadist Nabi menjelaskan,” Kewajiban orang tua kepada anaknya adalah memberinya nama yang baik, mendidiknya, sopan santun, mengajarinya tulis baca, mengajarnya berenang dan melempar panah atau lembing, memberi rezeki kepada anak hanya yang baik-baik saja. Dan mengantarkannya ke pintu gerbang perkawinan apabila telah mendapat jodoh”. 

Dari paparan di atas cukup jelas perkawinan dalam Islam untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Artinya, perkawinan itu sebuah ibadah kepada Allah untuk melanjutkan keturunan atau memiliki anak dan menjaga aqidahnya yang benar, yaitu ber-Iman kepada Allah dan mengikuti ajaran dan syariah yang dibawa oleh Rasul.

Childfree jelas suatu konsep perkawinan yang timpang dan pincang. Sebab ia   menyalahi hakikat dan tujuan suci perkawinan, serta melawan kodrat manusia yang ingin melanjutkan keturunan.

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda