Ads
Ramadan

Zakat Membangun Kesejahteraan Umat (3)
Asas Pelaksanaan

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Pelaksanaan zakat didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. At Taubah 60, yang menjelaskan kelompok orang yang berhak menerimanya (mustahik) dan ayat 103 yang menjelaskan pentingnya zakat untuk diambil (dijemput) para petugas (amil). Demikian pula petunjuk yang diberikan Rasulullah s.a.w. kepada Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman. Beliau mengatakan: “Jika mereka telah mengucapkan dua kalimat syahadat dan melaksanakan salat, beritahukanlah bahwasanya Allah SWT telah mewajibkan zakat yang diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orangorang fakir mereka.”


Pelaksanaan zakat bukanlah sekadar amal karitatif (kedermawanan). Tetapi merupakan kewajiban otoritatif (ijbari). Maka zakat tidaklah seperti salat, shaum, dan ibadah haji yang pelaksanaannya di rah kan kepada individu masing-masing (sering disebut sebagai masalah dayyani). Tetapi juga disertai keterlibatan aktif para petugas yang amanah, jujur, terbuka, dan profesional, yang disebut amil zakat (sering disebut sebagai masalah qadla’i). Pengelolaan zakat melalui lembaga amil didasarkan pada beberapa pertimbangan. Pertama, untuk menjamin kepastian dan disiplin pembayar zakat. Kedua, menjaga perasaan rendah diri para mustahik bila berhadapan langsung untuk menerima haknya dari para muzakki. Ketiga, untuk mencapai efisiensi, efektivitas dan sasaran yang tepat dalam penggunaan harta zakat menurut skala prioritas di suatu tempat. Keempat, untuk memperlihatkan syiar Islam dan semangat penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang islami Sebaliknya jika penyelenggaraan zakat begitu saja diserahkan kepada para muzakki, nasib dan hak-hak orang miskin dan para mustahik lain tidak memperoleh jaminan pasti.

Asas operasionalisasi dan pelaksanaan zakat seperti dikemukakan di atas tidak mengabaikan sifat dan kedudukan zakat itu sendiri sebagai ibadah mahdlah yang harus dilaksanakan atas dasar kesadaran, keikhlasan dan ketakwaan. Demikian asas ikhlas dan suka rela tetap dominan dalam pelaksanaan zakat sebagaimana yang berlaku pada zaman Rasulullah s.a.w., Khulataur Rasyidin, dan pemerintahan Islam di belakangnya.

Optimalisasi Pendayagunaan

Zakat yang sudah dikumpulkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) perusahaan harus dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kepentingan mustahik, sebagaimana digambarkan dalam 0. 9:60. Karena itu LAZ harus dikelola dengan amanah, jujur, transparan dan profesional. Dalam pasal 22 KMA Nomor 581 tahun 1999 dikemukakan bahwa LAZ yang baik memenuhi persyaratan:
a. Berbadan Hukum
b. Memiliki Muzakki dan Mustahik
c. Memiliki program kerja
d. Memiliki pembukuan
e. Melampirkan surat pernyataan bersedia diaudit

Zakat yang dikumpulkan disalurkan langsung untuk ke pentingan mustahik, baik yang konsumtif, sebagaimana dinyatakan dalam Q. 2:273, ataupun yang produktif sebagaimana pernah terjadi di zaman Rasulullah s.a.w. dan dikemukakan dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Salim bin Abdillah bin Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah s.a.w. telah memberinya pemberian (zakat dan menyuruhnya untuk dikembangkan (tamawwala). (Subulus Salam, juz II: 149).

Dalam kaitan ini terdapat pendapat yang menarik dari sebagian ulama (Fiqh Zakat hal. 532), bahwa pemerintah (dalam hal ini LAZ yang amanah, terpercaya dan profesional) diperbolehkan membangun perusahaan-perusahaan, pabrik-pabrik dan yang lainnya dari uang zakat, untuk kemudian pemilikan dan keuntungannya diberikan kepada para mustahik. Hanya saja dalam pelaksanaannya perlukesungguhan, kehati-hatian dan kecermatan, aga! jangan sampai terjadi kerugian karena kesalahan para pengelola.

Zakat dapat pula dimanfaatkan untuk kepentingan peningkatan SDM — seperti pemberian beasiswa bagi para pelajar, santri dan mahasiswa yanag orang tuanya termasuk kategori mustahik zakat. Singkatnya, para pengelola zakat harus memiliki program dan skala prioritas yang jelas. Demikian pula pelaporan (pemasukan dan penggunaan) harus disampaikan secara terang dan jelas agar kepercayaan muzakki semakin bertambah.


Dengan demikian kesejahHeran ummat secara hakiki akan terwujud, walaupun dilakukan secara rtahap dan dalam tenggang waktu yang relatif lama. Hal ini jauh lebih baik daripada percepatan pertumbuhan. ekonomi yang tidak dilandasi ajaran agama.

Penulis: Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, Guru Besar Agama Islam Uiniversity of IPB, Direktur Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2004-2015.

Sumber: Majalah Panjimas 16-29 Oktober 2002

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda