Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima’iyah yang memiliki posisi yang penting, strategis dan menentukan, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat (Yusuf Qardlawi, Al-Ibadah Fi Al-Islam, 1993:235). Sebagai suatu ibadah pokok, zakat termasuk rukun Islam, sehingga keberadaannya dianggap ma’lum min addien bi adl-dlaurah atau diketahui adanya secara otomatis dan merupakan bagian mutlak dari keislaman Seseorang (Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, 1994:231). Di dalam Al-Qur’an terdapat kurang lebih 27 ayat yang menyejajarkan salat dan kewajiban zakat dalam berbagai bentuk kata (Yusuf Qardlawi, Fiqh Zakat, 1991/1412).
Al-Qur’an menyatakan bahwa kesediaan berzakat adalah Indikator utama ketundukan seseorang terhadap ajaran Islam (Q. 9:5 dan 9:11), ciri utama mukmin yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup (Q. 23:4), dan ciri utama mukmin yang akan mendapat rahmat dan pertolongan Allah SWT (Q.9:73 dan 22:40-41). Kesediaan berzakat dipandang pula sebagai keinginan untuk selalu membersihkan diri dan jiwa dari berbagai sifat buruk seperti bakhil, egois, rakus, dan tamak, sekaligus menyucikan dan mengembangkan harta yang dimiliki (Q.9:103 dan Q.30:39). Sebaliknya, ajaran Islam memberikan peringatan keras kepada orang yang enggan mengeluarkan zakat (Q. 9:34-35).
Adanya kewajiban menunaikan zakat itu karena di dalam ajaran Islam terkandung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan Muzakki, mustahik, harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan. Hikmah dan manfaat tersebut antara lain: Pertama, sebagai perwujudan iman kepada Allah SWT, syukur atas nikmatnya, menumbuhkan akhlak mulia dengan memiliki rasa kepedulian yang tinggi, menghilangkan sifat kikir dan rakus, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus mengembangkan dan menyucikan harta yang dimiliki (Q. 9:103 30:39, 14:7).
Kedua, karena zakat merupakan hak bagi mustahik, ia berfungsi menolong, membantu dan membina mereka, terutama golongan fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik, sehingga mereka dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka ketika melihat golongan kaya. Zakat sesungguhnya bukan sekadar memenuhi kebutuhan konsumtif sesaat. Tetapi memberikan kecukupan dan kesejahteraan dengan menghilangkan atau memperkecil penyebab kehidupan mereka miskin dan menderita.
Ketiga, sebagai pilar jama’ah antara kelompok aghnia yang berkecukupan dan para mujahid yang hidupnya sepenuhnya untuk berjuang di jalan Allah, sehingga tidak memiliki waktu yang cukup untuk berusaha bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya (Q. 2:273). Keempat, sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana pendidikan, kesehatan, maupun sosial ekonomi, dan terlebih lagi bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar karena zakat tidak akan diterima dari harta yang didapat dengan cara yang batil (Al Hadis). Zakat mendorong pula umat Islam untuk menjadi Muzakki yang sejahtera.
Keenam, dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan baik dimungkinkan membangun pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, economic growth with eguity (AM Saefuddin, 1986). Monzer Kahf (1995) menyatakan bahwa zakat dan sistem pewarisan Islam cende rung kepada distribusi harta yang egaliter, dan bahwa sebagai akibat darl zakat, harta akan selalu beredar. Zakat, menurut Mustaq Ahmad, adalah sumber utama kas negara sekaligus soko guru kehidupan ekonomi yang dicanangkan Al-Quran. Zakat akan mencegah terjadinya akumulasi harta di satu tangan, dan pada saat yang sama mendorong manusia melakukan investasi dan mempromosikan distribusi. Zakat juga merupakan Institusi yang komprehensif untuk distribusi harta, karena hal ini menyangkut harta. setiap muslim secara praktis, saat harta itu tea sampai atau melewati nishab. Akumulasi harta di tangan seseorang atau sekelompok orang kaya saja secara tegas dilarang Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam Q. 59:7, yang artinya: “….. agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (Bersambung)
Penulis: Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, Guru Besar Agama Islam Uiniversity of IPB, Direktur Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2004-2015.
Sumber: Majalah Panjimas 16-29 Oktober 2002