Ads
Aktualita

Ketika Konglomerat Disebut Ogah Mendukung Partai Islam

Avatar photo
Ditulis oleh Iqbal Setyarso

Kabar soal keengganan konglomerat mendukung partai Islam keluar dari Yusril Ihza Mahendra (YIM), ketua umum PBB, saat ia mengunjungi kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (13/3) lalu.


Menurut pengakuannya, YIM ingin mempertahankan agar partai Islam tidak lenyap ditelan zaman. Kata dia, Indonesia harus tetap memiliki dua kekuatan politik besar, yakni nasionalisme dan Islam. “Namun, seiring waktu berjalan, kekuatan politik Islam terus tergerus,” katanya. Pernyataan YIM selanjutnya, “Kondisi itu membuat tidak ada konglomerat yang mau mendukung kekuatan politik Islam. Sehingga, partai Islam harus bertumpu pada umat Islam.”


Pernyataan lugas itu membuat masyarakat muslim harus menerima fakta, bahwa ada dua konsekuaensi logis dari pengemukaan itu. Benar bahwa statemen itu atas dua alasan: pertama, kekuatan muslimin harus solid untuk mandiri lewat partipasi politik umat Islam. Solid ini, amat sejalan dengan anjuran Rasulullah. Muslimin setidaknya bisa berikhtiar meraih tiga kemandirian: kemandirian ekonomi (al-istiqlalu al-iqtishodiy), kemandirian berpikir (at-tafkirul almustaqilu), dan kemandirian politik (alistiqlalu as-shiyasiy). Maka, untuk itu umat Islam perlu menyadari, bagaimana tokoh-tokoh Islam yang lurus, secara gradual mengalami marjinalisasi di negeri yang telah Dimerdekakan Atas Berkat Rahmat Allah swt namun secara variatif justru—segera mencermati bagaimana sistematisnya langkah “mereka” yang melakukan character assassination lewat beragam modus.


Character assassination ini menjadi rahasia umum di antara sejumlah tokoh Islam. Antara lain, sejumlah kejadian yang menjadi “prolog” elemen legal (atau dilegalkan), mencederai umat Islam. Pada suatu waktu, sejumlah kejadian kekerasan menimpa beberapa tokoh Islam. Saat pelakunya tertangkap, pihak yang berwajib mengatakan pelaku ”orang tidak waras” lalu kasusnya raib dari pemberitaan. Dengan kasus-kasus itu, bisa dipastikan memiliki “donatur dana haram” yang relatif besar nilainya, sebagai imbalan.


Kalau kejadian-kejadian “aneh” menimpa umat Islam, sejak zaman Nabi Muhammad saw, sudah ada. Nabi sendiri sudah lama menjadi target kaum kafir Quraisy. Maka, kebaikan itu selalu berbenturan dengan kejahatan, termasuk dalam pertarungan politik.

Hikmah Penghindaran
Maka, sebagai penyemangat, bisa dikatakan bahwa kalau adanya kekuatan konglomerasi yang terindikasi berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (money loundring), pada satu sisi; pada sisi yang lain muncul keengganan mendanai partai Islam. Justru hal itu menjadi blessing indisguise (hikmah). Justru keengganan itu menjadikan pertolongan Allah kian dekat. Hal itu otomatis mencegah dari peluang partai Islam menggunakan dananya dari praktik pencucian uang.


Kian besar keinginan untuk disokong, kian menjauh uluran konglomerat mendanai partai Islam. Maka, benarlah ungkapan: menjadi muslim itu harus kaya, lalu secara perlahan, pertama, mendorong muslim salih untuk kaya sekaligus dermawan. Tidak kemaruk, apalagi memperkaya diri dan keluarganya. Perilaku flexing (bermewahan), yang biasa diekspresikan keluarga pejabat publik, sejak awal sudah diingatkan sebagai perilaku tak patut dilakukan seorang muslim yang bukan muslimpun akan berkomentar minor. Namun seiring berjalannya waktu, perilaku semacam itu, dapat menggerus moralitas, meningkatkan adrenalin bahkan bisa addicted (nyandu, menagihkan).


Sama sekali bukan isapan jempol, jika masuk dana haram pada diri manusia, menjadikan darah-daging pelakunya terbius godaan iblis dan setan. Sesaat dia terbius untuk mencari, sembari mencari, perilakunya kian menjauh dari kompas moral. Dengan demikian, secara keuangan, fenomena flexing belakangan ini menjadi momentum bersihnya partai Islam dari pikiran pencucian uang. Kalau ada political will pemerintah untuk mencegah seluruh kekuatan money loundring, Indonesia memiliki harapan pemilihan umum 2024 nanti menjadi pemilihan umum paling bersih dari politik uang, “serangan fajar” dan semacamnya.


Pada sisi yang lain, pesimisme muslimin atas “pemilihan umum yang bersih” tak perlu terjadi. Sejumlah kejadian “tak langsung” yang kerap menjadi “prolog” pemilihan umum, seperti kejahatan kekerasan dari pelenyapkan orang tanpa sebab, menghilangnya sejumlah kebutuhan pokok masyarakat, dan sebagainya, tidak perlu terjadi.


Meskipun demikian, ada saja kekuatan politik yang “gatal” untuk melakukan praktik-praktik semacam itu. Ekses prolog semacam itu sempat menggejala di tengah masyarakat Islam, seperti fobia aktivitas pengajian hingga mencuat pada apatisme untuk berpolitik praktis. Beberapa kejadian “tanpa sebab” dialami Arya Saputra, seorang pelajar Kelas X, SMK Bina Warga, Bogor (10 Maret 2023) pagi. Kejadian itu mengakibatkan tewasnya warga kawasan Ciriung, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Bogor.


Dalam sebuah pemberitaan, diinformasikan, korban sabetan itu mengenai wajahnya hingga berlumuran darah. Dalam keadaan sempoyongan, seorang saksi bernama Ibu Euway mendekati korban yang nampak kesakitan sambil memegang rahang hingga lehernya yang berdarah. Maksud perempuan itu, mau membimbing korban untuk bersyahadat. Namun kata wanita itu, korban tak sanggup bersuara. Diapun mengatakan agar korban mengucapkannya dalam hati. Kata Euway korban sempat mengikuti ucapan Euway saat Euway meminta korban bersyahadat sambil merintih menahan sakit. Tak lama korban benar-benar tidak bersuara.


Motif kekerasan fisik masih diselidiki, sementara menurut pihak yang berwajib, hal itu dipicu video viral seorang pelajar SMK itu, namun orang yang dicari pelaku tidak ditemukan, jadilah korban Arya Saputra yang menjadi sasaran hingga menemui ajalnya. Penggalian motifnya masih didalami, karena satu dari tiga orang yang tertangkap di dua lokasi yang berbeda, masih buron.

Pemilu, Menurut Survey
Haruskah pesta demokrasi diwarnai ketegangan? Dan rakyat seolah terancam? Apakah ketegangan yang mencuat, seperti “hari-hari pasca kejatuhan Suharto, yang seakan-akan ada kekuatan jarak jauh yang? Dan politik dibayang-bayangi “hantu” teror, apa pun wujud terornya? Di tengah krisis kepercayaan masyarakat pada penegakkan hukum, memaksa ikhtiar keras memulihkan kepercayaan masyarakat bahwa hukum dan kebenaran bisa ditegakkan. “Prolog” yang bernada mengkhawatirkan pun muncul.


Digendangi “aura ketakutan praktik beribadah umat Islam” (beredarnya sekelompok oknum secara terpisah mengusik ustaz atau ulama, “orang tdak waras”, ujaran bernada ketidaksukaan pada tokoh Islam tertentu, sampai pembekuan rekening ulama dan keluarganya, memperlakukan ulama tertentu sebagai tertuduh terindikasi teroris dengan menyodorkan sejumlah fakta rekayasa, dan banyak modus lainnya). Teror terhadap umat Islam relatif mereda, ketika pecah kabar yang menghangatkan jagat media, yakni terbongkarnya pembunuhan oleh oknum polisi (Kadiv Propam Polri, Ferdy Sambo, saat itu berpangkat Inspektur Jenderal (Polisi), setelah menjalani proses pengadilan yang alot, akhirnya divonis hukuman mati sebagai dalang pembunuhan Brigadir Yosua.


Tak kalah merusuhkan hati, ketika kekerasan kepada seorang anak petinggi kantor pajak viral di sejumlah media, membawa aib pada institusi pajak dan merembet ke Menteri Kuangan RI. Menteri Kuanganpun sontak memecat sang ASN di Direktorat Pajak, jabatannya Kepala Bagian Umum di Kantor DJP Jakarta Selatan. Kemudian Menkeu Sri Mulyani pun memecat ayah Dandy karena perilaku yang amat mencolok mata atas kemewahan yang demikian vulgar. Pasca pemecatan itu, sang Ayah, Rafael Alun mengundurkan diri dari jabatan sebagai ASN Ditjen Pajak pada Jumat 24 Februari 2023.


Setelah institusi kepolisian, yang hanya “tunduk pada Presiden” selaku pimpinan tertingginya, maka giliran Menteri Keuangan –pembantu Presiden yang juga harus tunduk kepada Presiden sebagai atasan tertingginya. Kalau kepolisian RI sempat diviralkan “ada imporium di kepolisian” (yang belakangan ini sulit dikonfirmasikan)? Atau karena Fredy Sambo telah divonis mati, publik “terpuaskan”? Lantas tidak memikirkan bagaimana kekayaan yang berasal dari praktik-praktik gelap di bawah perlindungan sang mantan jenderal polisi?


Keterbukaan menanti, di tengah perdebatan seputar gagasan menunda atau memperpanjang masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Menurut pengamat, salah satunya, publikasi tentang peta kekuatan tiga Capres terkuat pada awal 2023. Berdasarkan survey terhangat, menyebutkan Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan nampak berkompetisi cukup ketat.


Benarlah seperti ditengarai YIM, bahwa kontestasi politik nasional Indonesia akan mengerucut pada kekuatan dua politik yang berimbang: Islamis dan Nasionalis. Dan faktanya, dalam dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, kali ini muncul sikap kritis mahasiswa. Misalnya, peringatan dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, tepat pada Rabu, 20/10, disorot sejumlah pihak. Termasuk elemen Mahasiswa hang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia/BEM-SI yang menggelar aksi unjuk rasa bertajuk “7 tahun Jokowi Mengkhianati Rakyat”.


Semula, demo itu akan dijalankan di depan Istana Negara, Jakarta pada Kamis, 21/10/2021, untuk menyampaikan secara langsung kritik terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin, namun niat itu gagal karena dihalau mendekati Istana, dan akhirnya aksi itu dilakukan di Bundaran Patung Kuda, Jakarta. Aksi unjuk rasa yang berlangsung kondusif itu melibatkan ratusan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Tanah Air. Selain di kawasan itu, aksi unjukrasa juga digelar BEM SI di seluruh Indonesia. Aliansi BEM seluruh Indonesia, menggelor demo di kawasan Patung Kuda, situasi memanas hingga aksi mendorong-dorong kawat berduri. Tema menolak penundaan pemilu, terus bergulir.


Dalam rentang yang terlalu lama, bulan April 2022, pecah demo mahasiswa Malang, Jatim. Mereka meraksi secara damai dan tertib. Substansi demo mereka, menuntut Pemkot Malang menggelar operasi pasar untuk mengintervensi harga di pasaran, menolak kenaikan PPN 10 persen menjadi 11 persen, dan meminta transparansi pemerintah dalam pembentukan Undang-undang IKN (Ibu Kota Negara). Yang cukup perhatian, para mahasiswa itu menggelar poster “Buronan Negara Pengkhianat Demokrasi” sebagai salah satu wujud ekspresinya, yang dipampang di pagar DPRD Kota Malang. Mereka mencap sejumlah nama tokoh yang disebut “pengkhianat demokrasi”: Muhaimin Iskandar, Zulkifli Hasan, Luhut Binsar Panjaitan, Bahlil Lahadahlia, Airlangga Hartarto.


Penghangatan pemilu telah bergulir. Semoga yang berlangsung, benar sebagai laiknya sebuah pesta penuh keriangan, Berlangsung elegan, bersih, tanpa ketegangan apalagi terror. Semoga hal baik yang akan terjadi, pengantar keberkahan bagi rakyat Indonesia. Mendorong kondusivitas keberlanjutan roda pemerintahan dan aktivitas pelayanan umum.

Tentang Penulis

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda