Dalam tajuk buah harian Ibu Kota dengan judul Rakyat Miskin Semakin Banyak”, dikemukakan data yang disampaikan Kepala BKKBN (Badan Koordinasi Kesejahteraan Keluarga Berencana Nasional) yang menunjukkan bahwa sebelum krisis ekonomi 1997, penduduk Indonesia yang miskin 11%. Jumlah tersebut kini melonjak menjadi 20% dari total 200 juta penduduk atau 40 juta orang lebih. Rantai kemiskinan itu akan diikuti berbagai hal lain yang merupakan akibatnya, seperti gizi yang rendah dan buruk, kesehatan yang sangat tidak memadai, perumahan yang sangat jauh dari kelayakan maupun pendidikan yang terbengkalai. Yang lebih menyedihkan, kemiskinan itu akan terus diwariskan kepada generasi berikutnya.
Kondisi tersebut diperkirakan tahun-tahun ini akan semakin parah, menyusul kebijakan pengetatan dan penghematan pengeluaran negara atas desakan IMF — yang menyangkut pengurangan subsidi bahan bakar minyak, tarif listrik dan telepon, yang menyangkut kepentingan masyarakat banyak. Ini semua tentu akan memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok, di tengah semakin merosotnya daya beli masyarakat akibat inflasi yang hingga kini sudah lebih dari 10,17%, melebihi target APBN sebesar 9.35. Kenaikan berbagai macam harga barang kebutuhan hidup, tanpa diimbangi kecukupan pendapatan, akan berdampak secara nyata terhadap situasi politik dan keamanan, seperti yang terjadi di Argentina akhir tahun lalu. Ditambah lagi beban negara akibat berbagai kasus dan tragedi kemanusiaan, seperti tenaga kerja ilegal yang jumlahnya ratusan ribu yang kini ditampung di Nunukan. Demikian pula kasus PHK di berbagai perusahaan.
Kemiskinan material ini diperparah pula oleh kemiskinan ruhani dan spiritual, akibat agama di tengah kehidupan masyarakat, dan terutama da lam praktek-praktek penyelenggaraan negara. Banyak pejabat di tingkat pusat maupun daerah yang tidak memiliki sense of crisis, melakukan korupsi tanpa terkendali, dan mengakibatkan negara kita menempati posisi keempat tertinggi di bidang ini. Yang tidak kalah menyedihkan, para pejabat itu tanpa rasa malu memamerkan kekayaan di tengah kelaparan dan kemiskinan. Tahun lalu seorang kepala daerah tingkat 1 menghabiskan dana Rp. 5 miliar untuk sekadar merenovasi satu kamar dari rumah dinasnya: belum lagi biaya pengobatan ke luar negeri, biaya baju dinas, dan hal-hal lain yang menunjukkan tingkah laku kemiskinan spiritual. Dalam sebuah hadis riwayat Thabarani, Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jauhilah kerakusan dan ketamakan, karena kerakusan itu kefakiran yang nyata.”
Jamaluddin Malik, dalam rubrik Opini di harian yang sama, pada hari yang sama, menyatakan bahwa penyebab krisis di Argentina hampir sama dengan di Indonesia. Yaitu, pertama, krisis terjadi akibat mismanajemen pemerintahan yang terlalu lama dikuasai para birokrat dan perusahaan-perusahaan swasta besar. Kedua, negara melakukan modernisasi pembangunan ekonomi dengan mengadakan investasi penanaman modal dan pinjaman luar negeri. Sehingga dependensi ekonomi terhadap negara/lembaga pemberi pinjaman seperti IMF semakin besar Ketergantungan negara terhadap negara/lembaga lain sesungguhnya merupakan hal yang harus dihindari. Bahkan Rasulullah s.a.w. sendiri dalam doanya menyatakan: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari lemahnya pendirian, kemalasan, sifat penakut, sifat kikir, terlilit utang, dan dipaksa (dikendalikan) orang lain.” Sebagai umat yang mayoritas di negara yang sama-sama kita cintai ini, kita memiliki kewajiban menggali potensi yang kita miliki, yang bersumber pada kekuatan ajaran Islam dan kekuatan umat sendiri. Salah satunya adalah zakat, infak, dan shadaqah. Walaupun tidak mungkin mampu menyelesaikan masalah kesejahteraan secara tuntas, bila dikelola dengan baik, amanah, dan profesional, dalam pengambilan maupun pendistribusiannya, setidaknya ZIS akan mampu meminimalkan atau mengeliminasi berbagai hal yang berkaitan dengan kemiskinan. (Bersambung)
Penulis: Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, Guru Besar Agama Islam Uiniversity of IPB, Direktur Sekolah Pascasarjana UIKA, Bogor, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2004-2015.
Sumber: Majalah Panjimas 16-29 Oktober 2002