Ads
Bintang Zaman

Raja Tombolotutu, Pejuang yang Hampir Terlupakan

Avatar photo
Ditulis oleh Iqbal Setyarso

Usianya masih muda untuk tokoh penting di daerahnya. Tetapi muda usia justru melejitkan nama untuk eksistensinya –khususnya di Sulawesi Tengah. Babad Tombolotutu ditoreh pada era penjajahan Belanda di abad ke-18.


Narasi penjajahan itu, terjadi jauh sebelum Belanda mengacak-acak kepulauan Nusantara. Para petinggi Kerajaan Belanda tengah bertekad mencari tahu di mana letak pulau yang kaya rempah-rempah, Dilandasi obsesi memburu kekayaan, dirintislah usaha keras mencari keberadaan pulau kaya nan masyhur itu. Salah seorang tokoh Belanda itu, Cornelis de Houtman, yang ditunjuk untuk berangkat ke Lisbon, Portugal, menggali informasi pulau yang tengah dicari-cari orang itu. Kejadiannya terjadi pada 1592.


Para pedagang Belanda itu bersepakat menunjuk Cornelis de Houtman muda, sebagai perwakilan mereka yang dipercaya berangkat ke Lisbon, Portugal. Negeri itu menjadi tujuan pertama yang didatangi, karena di masa itu hanya Portugal dan Spanyol yang menjadi penguasa di wilayah-wilayah yang kaya rempah-rempah.


Dua tahun lamanya, Cornelis de Houtman berada di Lisbon, Portugal. Kemudian dia kembali ke Belanda. Cornelis telah menemukan informasi yang sangat banyak, mengenai adanya wilayah di Asia yang kaya akan rempah-rempah.


Para pedagang Belanda itu berunding lagi. Mereka harus datang ke wilayah itu, untuk membuktikan informasi yang telah dikumpulkan oleh Cornelis de Houtman. Namun sebelum berangkat, para pedagang itu mendirikan Compagnie van Verre atau perusahaan jarak jauh


Niat Buruk Bernuansa Sengketa
Setahun sudah Compagnie van Verre beroperasi, tetapi tidak membuahkan hasil memuaskan. Perusahaan yang dioperasikan jarak jauh, sepertinya tidak bisa diharapkan. Para BOD perusahaan bersepakat, mereka tidak boleh berlama-lama mengendalikan Compagnie van Verre di Amsterdam, tetapi yang mereka perdagangkan justru ada di negeri seberang yang berjarak sekira 6.136 mil laut itu. Berdagang jarak jauh, sangat tidak efektif untuk kelangsungan Compagnie van Verre. Perusahaan jarak jauh ini punya empat kapal besar yang kerap digunakan untuk berdagang. Kapal itu bernama Amsterdam, Hollandia, Mauritius, dan Duyfken. Pada 2 April 1595, empat kapal yang sedang berlabuh di Pelabuhan Amsterdam, harus angkat jangkar dan lepas tali. Banyak orang di pelabuhan melepas keberangkatan empat kapal yang berada di bawah kendali Compagnie van Verre itu.


Cornelis de Houtman, salah seorang yang berada dalam pelayaran ekspedisi empat kapal tersebut. Banyak orang Belanda yang mati dalam pelayaran tersebut. Kematian yang sangat memalukan, karena hanya terserang sariawan, akibat kurangnya makanan. Lantaran masalah itu, perkelahian antara para kapten kapal beserta anak buahnya, harus berkelahi dengan para pedagang di atas kapal. Banyak yang terbunuh. 


Kapal-kapal itu terpaksa singgah di Pulau Madagaskar. Enam bulan lamanya kapal-kapal Belanda itu buang sauh di Madagaskar. Banyak masalah yang mereka hadapi di teluk itu. Banyak orang Belanda mati sehingga Teluk Madagaskar itu dikenal sebagai kuburan Belanda.


Bukan “Produk” Penjajah
Beberapa tahun berselang setelah kontrak sepihak oleh Compagnie van Verre itu, masuklah bala tentara Belanda ke seluruh pelosok Nusantara. Belanda juga merangsek masuk hingga ke Kerajaan Moutong.

Peristiwa itu terjadi pada abad ke 18.
Di Moutong, ada seorang tokoh penting yang sangat masyhur di masyarakat. Sosoknya yang sederhana dan suka membantu rakyat, membuat orang Moutong patuh padanya dan menjadikannya sebagai raja. Tombolotutu adalah keturunan dari Raja Massu, raja ketiga di Kerajaan Moutong.


Sejarawan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Sri Margana, M.Hum, M.Phil, menyebut buku Bara Perlawanan di Teluk Tomini (BPTT), sebagai antitesa Teori Invited Colonialism (kolonialisme yang diundang). “Ini perspektif baru dalam memandang sejarah kolonialisme di Indonesia,” katanya.


Peneliti BPTT lainnya, Idrus Rore, mengatakan, sosok Tombolotutu adalah seorang raja tetapi bukan raja. Menurutnya, di mata masyarakat, Tombolotutu adalah seorang raja, karena diangkat oleh masyarakat dan tidak pernah dilantik oleh Belanda. Berbeda dengan banyak raja lainnya di Nusantara, yang berkuasa karena diangkat oleh Belanda (dari situs media.alkhairaat.id, 17 Februari 2018, diakses pada 12 Maret 2023)


“Tombolotutu bukan sekadar raja, tetapi Tombolotutu juga berjuang mengusir orang Belanda yang datang hendak menguasai wilayah itu. Tombolotutu, bukanlah seorang pengkhianat,” katanya. Selain sebagai raja yang bukan dikukuhkan oleh Belanda, Tombolotutu juga dikenal sebagai orang kaya di usianya yang masih 17 tahun.


Pada saat usianya masih 20 tahun, Tombolotutu telah diangkat masyarakat setempat, untuk meneruskan tahta ayahnya sebagai Raja Moutong. Meski dengan status sosial yang tinggi itu, tapi Raja Tombolotutu tak berjarak dengan rakyatnya. Sifat itu menurun dari ayahnya, Raja Massu, Raja Moutong yang ke tiga.


Raja Navatu yang Bersumpah
Syahwat menggebu Belanda untuk menguasai dan memonopoli perdagangan di pesisir Teluk Tomini dan mau menguasai Kerajaan Moutong, tak dihiraukan oleh Raja Tombolotutu. Long Kontrak dan Korte Verklaring yang disodori Belanda, tak mau ditandatangani oleh Raja Tombolotutu. Dia menentang para kolonialis itu.


Perlawanan Raja Tombolotutu sudah dimulai saat penolakan Long Kontrak dan Korte Verklaring. Peristiwa perlawanan itu terjadi pada 1898 hingga 1904. Kontrak yang diteken oleh Raja Tombolotutu itu membuat Belanda marah besar. Penjajah itu kemudian mengisolasi Kerajaan Moutong.


Belanda menenggelamkan semua kapal yang berlabuh di Pelabuhan Moutong. Seluruh hasil bumi para pribumi di dalam kapal ikut tenggelam. Belanda hanya mau hasil kebun rakyat dijual kepada mereka, dengan harga yang sudah ditentukan oleh Belanda. Belanda mau memonopoli.


Raja Tombolotutu naik pitam. Kemarahannya meledak. Kemarahan Raja Tombolotutu disokong rakyatnya. Kemarahan Raja Tombolotutu, akhirnya menjadi tsunami perlawanan rakyat Moutong terhadap Belanda. Oktober 1898, menjadi awal perlawanan Raja Tombolotutu dan rakyatnya.


Perang 11 hari meletus di Istana Raja Tombolotutu di Lobu. Raja Tombolotutu dan rakyatnya tak punya peralatan perang yang memadai. Raja Tomboloutu kalah perang, tapi ia navatu, kepala batu, ogah tunduk kepada Belanda. Tekadnya, penjajah harus angkat kaki dari Moutong. Diputuskanlah untuk melakukan perang gerilya bersama rakyatnya.


Dari praktik perang local hero Tombolotutu, pernah berlangsung strategi perang gerilya melawan Belanda, nun jauh di wilayah utara Sulawesi Tengah. Strategi itu cukup ampuh karena Belanda tak berhasil menangkap apalagi menaklukannya. “Saya bersumpah, tidak menyerahkan sejengkalpun tanah Moutong. Saya juga bersumpah, tidak akan memberikan satu gram emas pun kepada Belanda,” begitu sumpah Raja Tombolotutu.


Sumpah setia Tombolotutu diujar menjadi semboyan juang, natuvu naberoka, namate maupa, yang berarti hidup penuh berkah, mati meninggalkan nama. Tombolotutu mulai bergerilya untuk menunjukkan ketidakpuasannya terhadap kondisi baru yang terbentuk akibat intervensi kolonial. (tutura.id,10 November 2022, diakses 12 Maret 2023)


Karena perang gerilya, Raja Tombolotutu bersama pengikutnya meninggalkan Moutong. Pulau Walea di Kepulauan Togean, Tojo Unauna menjadi tempat berlabuh setelah kalah perang dengan Belanda. Di pulau itu, tepatnya di Walea Bahe, Raja Tombolotutu kembali menghimpun kekuatan.  


Tapi banyak pengkhianat. Para kaum munafik itu menjadi mata-mata Belanda. Persembunyian dan semua gerak-gerik Raja Tombolotutu dan pengikutnya, terdeteksi oleh Belanda.  Para penjajah itu mengirim pasukannya, mengejar Raja Tombolotutu dan bala tentaranya ke Walea Bahe. Raja Tombolotutu dan pasukannya melawan. Perang kembali terjadi di pulau itu enam hari lamanya.


Mengalahkan Belanda
Menyimak sejarah perang kemerdekaan dalam sejumlah episode perang melawan Belanda, jarang yang menjejakkan kemenangan di pihak kerajaan-kerajaan yang melawan Belanda. Satu episode –dimenangkan pasukan Raja Tombolotutu. Hal ini antara lain, karena Raja Tombolotutu menyusun siasat baru. Bersama pasukannya dan penduduk yang tersisa memutuskan meninggalkan Pulau Walea. Dengan semangat perlawanan yang membara, Raja Tombolotutu dan pasukannya pindah ke Bolano. Agustus 1900, Belanda mengetahui keberadaan Raja Tombolotutu dan pasukannya. Imperialis itu kembali menyerang Raja Tombolotutu. Tapi kali ini Belanda harus menanggung malu karena kalah.


Dendam Belanda kepada Raja Tombolotutu semakin membuncah. Belandapun menyusun siasat baru. Setahun kemudian atau pada 1901, pasukan penjajah kembali menyerang Raja Tombolotutu dan pengikutnya.  Di perang ini, menurut Lukman Nadjamuddin, menerjunkan 170 tentara Marsose, tentara elit Belanda, untuk melawan Raja Tombolotutu. Tapi Pasukan Tombolotutu sangat tangguh dan bisa mengatasi tekanan Marsose.


Pua Darawati adalah panggilan kesayangan bagi Tombolotutu. Pada serangan itu, mengharuskan Raja Tombolotutu bersama istrinya yang sedang hamil, harus diungsikan ke  Kerajaan Sojol. Di pengungsian itulah, istri Tombolotutu melahirkan seorang anak laki-laki yang diberi nama Kuti Tombolotutu bergelar Datu Pamusu, yang kelak menjadi Raja Tinombo.


Akan halnya Belanda, seperti amat familiar sebagai strategi adu-domba, Pemerintah Hindia Belanda pada 25 Februari 1899 menyodorkan kontrak pelengkap kepada Daeng Malino, yang kelak menjadi pewaris tahta Kerajaan Moutong.


Isinya memuat tentang kesediaan penguasa Moutong dan para bangsawan untuk mengakui dan bersedia menerima kehadiran perusahaan-perusahaan pertambangan asal Belanda sepanjang ada jaminan pemerintah bahwa penguasa dan bangsawan memperoleh bagian keuntungan yang menjadi haknya.


Kontrak itu diterima dan ditandatangani oleh Daeng Malino, yang pada 11 Juni 1899 ditahbiskan sebagai Raja Moutong menggantikan takhta Raja Pondatu.


Jika merujuk tradisi Suku Kaili yang lebih memprioritaskan kebangsawanan dari garis keturunan pihak ibu (matrilineal), Tombolotutu yang juga kemenakan Raja Pondatu sama seperti Daeng Malino seharusnya lebih berhak menjadi raja.


Campur tangan Belanda yang kemudian mengerek Daeng Malino menuju singgasana kepemimpinan karena dianggap lebih akomodatif. Sebuah keputusan yang mendapat kritik dari anggota parlemen Belanda karena mengakibatkan ongkos politik yang besar berupa perang.


Intervensi Belanda yang mengacaukan tatanan sosial politik di Kerajaan Moutong karena hendak menguasai sumber daya alam di wilayah tersebut menjadi awal perlawanan Tombolotutu.


Raja Tombolotutu tidak hanya berjuang di wilayah administrasi kerajaannya saja. Tetapi juga menjangkau ke wilayah lain di Sulawesi Tengah. Bahkan ia harus mengarungi Teluk Tomini untuk melawan Kolonial Belanda. Gerakan Anti Belanda di Kepulauan Togean terlahir, karena Raja Tombolotutu. Belanda sampai pusing, karena Raja Tombolotutu tak bisa ditangkap.


Raja Tombolotutu juga melintasi Selat Makassar, bahkan mungkin sampai di wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II. Dengan strategi perang gerilya, Raja Tombolotutu juga masuk hutan dan ngarai, sampai ke Banawa, Donggala.


Sejarah mencatat, banyak perang melawan Belanda yang dipimpin Raja Tombolotutu. Dalam diskusi tentang sejarah perlawanan Raja Tombolotutu beberapa tahun lalu, Ketua Tim Riset Pengusulan Raja Tombolotutu sebagai Pahlawan asal Sulteng, Lukman Nadjamuddin menyebutkan nama perang itu adalah: Perang Katabang Raja Basar di Lobu Moutong, Perang Dodoe di Gio Atas, Perang Bolano di Benteng Bajo dan Perang Dunduan di Tomini Popa.


Diapresiasi pada Abad Ke-20
Perjuangan panjang Raja Tombolotutu, menjadi riset panjang pada tahun 2015-2017, oleh sejumlah sejarawan—gabungan Universitas Tadulako (Untad) Palu dan UIN Dato Karama Palu yang diketuai Dr. Lukman Nadjamuddin M.Hum. Tim ini juga dibantu oleh sejumlah enumerator yang terdiri dari mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah Untad dan Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Datokarama Palu. 


Dalam situs kumparan.com/paluposo (20 Agustus 2021, diakses 12 Maret 2023), Kepala Perpustakaan Nasional, Muhammad Syarif Bando, mengatakan Raja Tombolotutu salah satu raja yang mempunyai komitmen tinggi dalam menumpas penjajah Belanda.


Kata Syarif, Tombolotutu ,”Tidak akan memberikan satu jengkal tanah dan satu gram dari tambang emas yang ada di Sulawesi Tengah untuk penjajah Belanda.” Tombolotutu tegas akan mempertahankannya demi masyarakatnya.


120 tahun yang lalu Raja Tombolotutu berpulang di medan perang bertepatan dengan tanggal 17 Agustus 1901, yang kemudian pada 17 Agustus 1945 Indonesia merdeka. Penyerahan gelar Pahlawan Nasional itu dilaksanakan pada Hari Pahlawan 10 November 2021 tahun lalu di Istana Negara, menghadirkan ahli waris Tombolotutu. Selamat jalan Tombolotutu, spirit perjuanganmu kan kukenang selalu.

Tentang Penulis

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda