Hal-hal yang membatalkan puasa terdri atas: (a) yang membatalan dan mewajibkan qadha’, dan (b) yang membatalkan dan mewajibkan qadha” serta kafarat (denda). Untuk yang (a):
(1) dan (2) Makan dan minum secara sengaja. Kalau tidak sengaja, tidak mengapa. Dari Abu Hurairah r.a., sabda Nabi s.a.w. “Siapa saja yang lupa, ketika berpuasa, lalu makan dan minum, baiklah ia meneruskan puasanya, sebab itu berarti Allah yang memberinya makan dan minum” (H.R. Al-Jama’ah). Dari Ibn Abbas r.a., sabda Nabi s.a.w., “Allah telah meletakkan dari (beban) umatku: kekeliruan, kelupaan, dan apa yang dipaksakan orang.”
(3) Muntah dengan sengaja. Dari Abu Hurairah, sabda Nabi s.a.w., “Siapa yang terdorong muntah tidak wajib mengkada puasanya (tidak batal), tetapi yang muntah dengan sengaja wajib mengkada (batal)” (H.R. Ahmad, Abu Dawud, Turmudzi, Ibn Majah, Ibn Hibban, Ad-Daruquthni, Al-Hakim).
(4) dan (5) Haid dan nifas, walau terjadi dalam kejap terakhir sebelum terbenam matahari, menurut ijmak (kesepakatan) ulama.
(6) Mengeluarkan mani (istimna”), baik disebabkan ciuman atau dekapan suamiistri atau dengan tangan (onani, masturbasi). Bagi perempuan, ukurannya adalah orgasmus. Ini mewajibkan qadha’. Tetapi kalau sebabnya hanya semata-mata memandang, tidak membatalkan puasa. Demikian pula madzi (cairan encer yang bukan mani), tidak membuat batal, sedikit maupun banyak.
(7) Memasukkan yang bukan makanan lewat tenggorokan.
(8) Berniat membatalkan puasa. Misalnya Anda bermobil ke luar kota dan tiba-tiba bersepakat dengan kawan-kawan untuk membatalkan – puasa dan mencari warung. Waktu itu Anda sudah merasa tidak berpuasa. Tapi warung tidak ada yang buka, atau mobil Anda mogok di tempat terpencil, sampai magrib. Anda tidak makan apa-apa, tapi Anda sudah terhitung musafir yang tidak berpuasa. Sebab niat adalah sendi (rukun) puasa. Kalau sendi tumbang, bangunan tumbang.
Sebaliknya ada persoalan mengenai orang yang makan, minum, atau bersanggama seraya mengira matahari sudah terbenam atau fajar belum terbit — dan ternyata keliru. Puasanya juga batal, menurut mayoritas ulama — di antaranya imam yang empat. Tetapi mazhabmazhab kecil yang lain (Ishag, Dawud, Ibn Hazm, Atha’, Urwah, Al-Hasan Al-Bashri, Mujahid) meyakini yang sebaliknya, berdasarkan firman: “Tidak ada dosa pada kamu dalam hal perbuatan kamu yang keliru – kecuali yang memang disengaja hati kamu” (QS Al-Ahzab 5). Juga hadis Nabi tentang kekeliruan yang menyangkut lupa tadi. Berikut ini sebuah kesaksian dari Zaid ibn Wahb:
“Orang-orang berbuka puasa di zaman “Umar ibn Al-Khaththab. Aku melihat tempayan besar dikeluarkan dari rumah Hafsah (putri “Umar, janda Nabi SAW), lalu orang-orang minum. Tiba-tiba, matahari menyembul dari mega. Dan itu seakan-akan berat sekali bagi orang-orang, yang kemudian pada berkata, “Kita harus mengganti puasa hari Ini.” Tetapi, kata “Umar: “Kenapa? Demi Allah, kita tidak menyengaja berbuat dosa.” Dari jurusan lain, Bukhari meriwayatkan dari Asma “binti Abu Bakr r.a., kakak “Aisyah janda Nabi s.a.w., yang menuturkan: “Kami berbuka pada suatu hari di bulan puasa, dan waktu itu mendung, di zaman Rasulullah SAW Kemudian matahari muncul.”
Menurut Ibn Taimiah, itu menunjuk kepada dua hal. Pertama, bila hari mendung (waktu itu belum ada jam, bukan?), tidak dianjurkan memastikan tenggelamnya matahari untuk bisa berbuka. Para sahabat itu tidak “berbuat begitu, dan Nabi SAW juga tidak memerintahkan begitu. Kedua, tidak ada kewajiban qadha’, alias tidak batal puasa. Sekiranya Nabi memerintahkan qadha’, tentu sudah tersiar.
Seks di siang hari puasa
Adapun yang membatalkan puasa dan sekaligus mewajibkan qadha’ serta kafarat hanya jimak (sanggama), tiada lain. Dari Abu Hurairah, katanya: Seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, lalu berkata, “Aku celaka, ya Rasulallah.”
“Apa yang bikin kamu celaka?” tanya Nabi.
“Aku jatuh kepada istriku (terlanjur bersanggama) di bulan Ramadan.”
“Kamu bisa membebaskan budak perempuan?” tanya Nabi.
“Tidak.”
“Mampu berpuasa dua bulan terus-menerus?”
“Tidak juga,” jawabnya.
“Kamu bisa memberi makan enam puluh orang miskin?”
“Tidak.”
Lalu ia duduk. Tiba-tiba dibawakan kepada Nabi s.a.w. satu takaran besar berisi kurma. Nah, beliau berkata, “Bersedekahlah dengan ini.”
“Kepada orang yang lebih miskin dari kami? Tidak ada, di antara pojok-pojok Kota, penghuni rumah yang lebih membutuhkan ini dibanding kami.” Maka Nabi pun tertawa, sehingga kelihatan gigi geraham beliau. Kata beliau, “Pergilah. Kasih makan keluargamu sana.”
Jumhur ulama berpendapat, laki-laki dan perempuan sama hukumnya dalam hal kewajiban kafarat (tebusan) itu — kalau kedua-duanya memang menyengaja bersanggama di siang hari bulan Ramadan dalam keadaan mereka berniat puasa. Tetapi kalau itu qadha’, atau puasa atau puasa nadzar, tidak juga kafarat. Juga kalau mereka bersanggama karena lupa (ada?), atau kedua-duanya dipaksa, atau memang tidak berniat puasa, misalnya karena mereka musafir. Kalau perempuan itu yang dipaksa, atau dia tidak berpuasa karena halangan yang sah, hanya si laki-laki yag wajib membayar kafarat.
Tetapi, bagi mazhab Syafi’I, tidak ada kafarat buat si perempuan. Yang wajib hanyalah gadha’. Berkata Imam Nawawi: yang lebih absah hanyalah satu kewajiban kafarat saja, buat si laki-laki, karena itu hak kehartaan yang khusus bagi sanggama, diperuntukkan bagi laki-laki seperti halnya maskawin. Begitu juga Imam Ahmad ibn Hanbal. Ketika ditanya mengenai hal itu, jawab beliau: “Kami tidak pernah mendengar ada kewajiban kafarat buat perempuan.”
Adapun kewajiban kafarat itu ditunaikan secara berturutturut seperti tersebut dalam hadis, menurut jumhur ulama. Yakni mula-mula membebaskan budak perempuan. Kalau tak ada, puasa dua bulan berturut-turut — di masa yang tidak terdapat di dalamnya bulan Ramadan, dua hari raya maupun hari-hari tasyrik (tanggal-tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah). Kalau tak mampu, baru memberi makan 60 orang miskin yang, menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik, masing-masing satu mudd bahan makanan anak negeri, apa saja. Ini yang paling kuat.
Tetapi dalam hal jenis tebusan, menurut mazhab Maliki orang boleh memilih antara tiga bentuk tadi: budak, puasa, atau memberi makan. Malik sendiri meriwayatkan dari sumber Abu Hurairah r.a., mengenai seorang laki-laki yang berhaji seperti yang sudah disebutkan itu, lalu Rasulullah SAW menyuruhnya membebaskan budak perempuan atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin. Sebagian ulama kemudian menggabungkan dua pendapat itu: lebih baik melaksanakan denda secara yang tersebut dalam hadis terdahulu, tapi kalau mau melaksanakan bunyi hadis yang kedua, diperbolehkan. Tapi yang lebih baik lagi, yah, menahan diri, tentunya.
Penulis: Ust Abu Fitri A. Firdausi (Nama lain dari Syu’bah Asa, red).
Rujukan: Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, I, Darul Fikr, Beirut. 1400 H/1980 M. (pokok); Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Nihayatul Muuqtashid, I. Darul Ma’rifah, Beirut, 1405 H/1985 M.;Al-Imam Asy-Syafii, Al-Umm, I, Darul Fikr, Beirut, 1410 H/1980 M.
Sumber: Majalah Panjimas, 30 Oktober-12 November 2002.