Ads
Ramadan

FIKIH PERSIAPAN PUASA (1): Rukun Puasa

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Seluruh umat bersepakat atas wajibnya puasa Ramadan. Dan bahwa puasa Ramadan adalah salah satu rukun Islam, yang termasuk “diketahui dari agama secara mutlak” (“ulima minad dini bidh-dharurah), alias sudah tidak lagi memerlukan dalil keabsahan. Adapun dalam hal amalan puasa, ada sabda Nabi s.a.w. dalam riwayat Abu Hurairah ra.: “Barangsiapa tak berpuasa satu hari di bulan Ramadan, tanpa keringanan yang diberikan Allah kepadanya, ia tidak bisa menggantinya dengan puasa seribu tahun seluruhnya, kalaupun ia melakukannya.”

Ada dua rukun puasa. Pertama adalah imsak: menahan diri dari semua yang membatalkan, dari fajar hingga tenggelam matahari. Firman Allah, “Dan makanlah dan minumlah sehingga menjelas bagi kalian benang yang putih dari benang yang hitam, yaitu fajar. Kemudian lengkapkan puasa sehinaga malam” (QS Al-Baqarah 187). Yang dimaksudkan dengan benang yang putih dan benang yang hitam adalah putihnya siang dan hitamnya malam.

Kedua, niat. Ini harus dilakukan setiap malam di bulan Ramadan, karena hadis Rasulullah SAW: “Barangsiapa tidak menghimpunkan puasa sebelum fajar, ia tidak punya puasa” (H.R. Ahmad dan Ashhabus Sunan). Menghimpunkan puasa berarti niat dan kehendak penuh. Niat itu bisa dilakukan di sembarang waktu di malam hari. Tidak disyaratkan melafalkannya dengan mulut, sebab niat adalah amalan hati. Barangsiapa makan sahur dengan maksud puasa, dengan sepenuhnya sadar akan berpuasa, ia sudah melakukan niat. Hanya saja kalangan mazhab Syafi’i menganggap mustahabb (disukai) melafalkan niat, yang bisa dipakai sebagai penguat. Misalnya, bila Anda ingin bepergian esok hari, dan ragu-ragu apakah akan berpuasa, sebab memang boleh memilih, melafalkan niat — sebelum — subuh bisa merupakan penyelesaian.

Itu dalam hal puasa wajib. Adapun niat puasa sunah (tathauuwu?) bisa dilakukan di siang hari selama yang bersangkutan belum makan (atau melakukan hal-hal lain yang membatalkan puasa). Aisyah r.a. berkisah: “Nabi SAW masuk kepadaku suatu hari, lalu kata beliau, ‘Kalian punya sesuatu? Kami menjawab, Tidak’. Kata beliau lagi, Kalau begitu aku puasa’.” (H.R. Muslim dan Abu Dawud).

Bagi Ibn Rusyd, rukun puasa bukan dua melainkan tiga. Yang pertama, yang tidak disebutkan di atas, adalah zaman, yang terbagi menjadi zaman wajib (bulan Ramadan) dan zaman imsak (menahan diri), yakni setiap siang harinya. Tapi itu sudah sendirinya diketahui.

Yang Boleh Meninggalkan Puasa

Yang dibolehkan tidak berpuasa, tanpa harus menggantinya di hari lain, adalah: (a) orang jompo, laki-laki maupun perempuan, (b) orang sakit yang (menurut dokter) tidak bisa diharapkan kesembuhannya, (c) para pekerja berat, yang tidak mendapat kelongaran rizki, bukan yang bisa memperoleh berbagai pekerjaan berganti-ganti, dan merasa sangat berat untuk berpuasa kapan saja sepanjang tahun. Terakhir, (d) perempuan hamil, dan (e) ibu yang menyusui. Kedua-duanya boleh tidak berpuasa kalau mengkhawatirkan keselamatan/kesehatan mereka dan anak mereka. Sebagai ganti puasa, masing-masing dari kelima-limanya memberi makan setiap hari satu orang miskin.

Hadis: “Allah sudah melepaskan dari musafir kewajiban puasa dan separuh kewajiban salat (salat boleh disingkat —di-qashr), sedangkan dari perempuan hamil dan ya menyusui dilepaskan kewajiban puasa.”

Adapun orang yang boleh tidak berpuasa tetapi harus mengkada (qadha’) adalah orang sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya. dan (b) musafir. Penyakit yang membolehkan berbuka puasa adalah penyakit berat yang menurut perkiraan akan bertambah atau menjadi lambat kesembuhannya karena puasa. Tetapi begitu pula orang yang dikalahkan rasa lapar atau kehausan yang amat sangat, sehingga takut ambruk (celaka), ia wajib berbuka, walaupun ia sehat dan tidak sedang bepergian. Kepadanya dibebankan kewajiban qadha’. Firman Allah, “Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sungguh Allah kepada kamu pengasih penyayang” (Q.S. An-Nisa: 29), dan “Ia tidak menjadikan untuk kamu dalam hal agama sesuatu yang berat” (Q.S. Al-Hajj: 78).

Tetapi bila seorang yang sedang sakit memaksakan diri berpuasa, dengan menanggung segala kesulitan, sah puasanya. Hanya saja perbuatannya terhitung makruh (tak disukai agama) karena ia sudah berpaling dari keringanan (rukhshah) yang diberikan Allah sementara ia bisa ditimpa bahaya. Berkata Hamzah Al-Aslami, “Ya Rasulallah, saya yakin saya kuat berpuasa di perjalanan. Apakah saya menanggung dosa?” Jawab beliau, “Itu kemurahan dari Allah Ta’ala. Siapa yang mengambilnya, bagus. Dan siapa yang suka tetap berpuasa, tidak ada dosa.” (H.R. Muslim).

Dari Abu Sa’id Al-Khudri katanya, “Kami pergi berangkat bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadan. Di antara kami ada yang berpuasa dan ada yang tidak. Yang berpuasa tidak mencela yang tidak, yang tidak berpuasa juga tidak mencela yang berpuasa. Lalu mereka berpendapat, yang merasa dirinya kuat, lalu berpuasa, itu bagus. Mereka berpendapat juga bahwa yang merasa dirinya lemah lalu berbuka, itu pun bagus.” (H.R. Ahmad dan Muslim).

Asy-Syaukani mempertegas hal itu. la menyimpulkan, barangsiapa merasa berat berpuasa, atau puasa membayankannya, demikian juga yang dengan sengaja menghindari keringanan yang diberikan Allah, lebih baik berbuka daripada berpuasa. Demikian juga orang yang takut ujub (bangga diri) atau riya – kalau berpuasa di tengah perjalanan – maka bagi dia berbuka lebih utama. Tetapi kalau pelaksanaan puasa bisa bebas dari hal-hal tersebut itu, berpuasa lebih utama dibanding tidak. Dan bila seorang musafir berniat berpuasa malam hari, dan itu dilaksanakannya, boleh saja ia berbuka di tengah hari.

Muhammad ibn Ka’b, dalam riwayat Turmudzi (yang dalam sanadnya terdapat nama “Ubaid ibn Ja’far, dan dia dinilai dha’if), mengaku satu hari mendatangi Anas ibn Malik r.a. (mantan pelayan Nabi selama 20-an tahun), di bulan Ramadan, ketika Anas sedang beres-beres untuk bepergian. Sudah disiapkan binatang kendaraannya, sudah pula dia memakai baju perjalanan. Kemudian dia menyuruh menghidangkan makanan, lalu mulai menyantap. Aku bertanya, “Sunnah? Jawabnya, Sunnah”, Kemudian la menunggang.”

Adapun perjalanan yang membolehkan orang tidak berpuasa adalah perjalanan yang jaraknya membolehkan orang mengkasar (qashr) salat. Juga batas lamanya kediaman di satu tempat di tengah perjalanan, yang membolehkan si musafir absen dari puasa, adalah jangka yang ditentukan bagi kebolehan mengkasar sembahyang.

Terakhir, terdapat orangorang yang diwajibkan tidak berpuasa dengan ketentuan harus mengkada. Yakni perempuan yang sedang beroleh haid (datang bulan) atau nifas. Keduanya diharamkan berpuasa, dan bila berpuasa tidak sah pula puasa mereka. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah, katanya: “Kami dulu berhaid di masa Rasulullah SAW Kami diperintahkan mengkada puasa tapi tidak diperintahkan mengkada salat.” Bersambung

Penulis: Ust Abu Fitri A. Firdausi (Nama lain dari Syu’bah Asa, red).

Sumber: Majalah Panjimas, 30 Oktober-12 November 2002.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda