Ads
Aktualita

Penundaan Pemilu Terus Menuai Reaksi Miring

Avatar photo
Ditulis oleh Iqbal Setyarso

Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Uum (KPU) untuk menunda tahapan Pemilu 2024 telah menui berbagai macam kritik. Keputusan yang disampaikan Ketua Majelis Hakim T. Oyong ini sebagai pengabulan gugatan perdata Partai Prima karena dirugikan oleh KPU dalam proses verifikasi administrasi partai politik.

Dalam proses verifikasi KPU tersebut, Partai Prima dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual. Sementara itu dalam putusannya, PN Jakpus menilai KPU melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Partai Prima. Dengan putusan itu, malah pihak KPU yang menuai ekses. Tapi langkah KPU yang dikenai sanksi itu malah mengundang reakse keras praktisi hukum. Salah satunya, Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera, Bvitri Susanti. Bvitri menegaskan putusan tersebut keliru dan juga bentuk pelanggaran terhadap konstitusi.

Bvitri menjelaskan ketentuan pelaksanaan Pemilu telah diatur dalam Pasal 22E ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam aturan tersebut, ia mengingatkan bahwa konstitusi telah mengamanatkan agar Pemilu wajib dilaksanakan selama lima tahun sekali.


“Karena itu juga dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 tahun 2017 tidak diberikan ruang sama sekali untuk menunda Pemilu secara nasional,” jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (6/3). Ia menuturkan dalam UU Pemilu yang ada juga hanya dikenal istilah Pemilu susulan, dengan catatan tidak dilakukan secara nasional melainkan pada wilayah tertentu saja. Meski begitu, Bvitri mengatakan pelaksanaan Pemilu susulan juga tidak serta merta dapat dilakukan wilayah tertentu begitu saja.


Menurutnya harus ada kejadian luar biasa yang menjadi alasan penundaan pelaksanaan Pemilu semisal kondisi seperti bencana alam ataupun keadaan darurat lainnya. Kendati demikian kebijakan Pemilu susulan juga tidak dapat diambil melalui putusan pengadilan melainkan tetap harus melalui peraturan KPU.


“Misalnya ada gempa bumi seperti di Cianjur kemarin gitu, menunda pemilu selama beberapa bulan itu boleh. Tapi tidak secara nasional,” kata dia. “Artinya karena dia adalah norma konstitusional yang sifatnya kesepakatan politik, yang harus dilakukan juga adalah kesepakatan politik,” sambungnya.


Bvitri menilai sedari awal PN Jakarta Pusat juga tidak berwenang untuk mengadili gugatan Partai PRIMA terhadap KPU. Sebab menurutnya gugatan PRIMA tersebut bukanlah ranah perdata melainkan ranah administrasi negara.


“Yang aneh seharusnya kalau ada unsur melawan hukum dari penguasa dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), tapi kok ini diterima di Pengadilan Negeri,” ujarnya. Lebih lanjut, ia juga mengaku heran dengan sikap PN Jakpus yang mengabulkan gugatan immaterial dari Partai PRIMA yang meminta agar pelaksanaan Pemilu 2024 turut ditunda. Padahal apabila memang gugatan tersebut masuk ke dalam ranah perdata seharusnya dampak putusan pengadilan hanya boleh dirasakan oleh penggugat dan tergugat saja. “Dalam perkara perdata dampak hukumnya hanya bisa dirasakan oleh kedua belah pihak, bukan untuk umum. Jadi inilah alasan mengapa putusan ini keliru,” tegasnya.


Salahi Konstitusi
Pakar Hukum lainnya juga bereaksi. Salah satunya, Feri Amsari. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas ini juga merasakan ada yang janggal dengan putusan yang diberikan oleh Ketua Majelis Hakim T Oyong dalam perkara tersebut.


Menurutnya ada banyak aturan yang dilanggar oleh PN Jakpus dalam memutus Perkara nomor: 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu. Salah satunya yakni melanggar Pasal 10 dan 11 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2 Tahun 2019.


Selain itu, Feri mengatakan putusan yang ditetapkan oleh PN Jakpus juga catat secara konstitusional lantaran melanggar UUD 1945 terkait asas penyelenggaraan Pemilu.


“Sekuat apa kemudian PN melanggar aturan yang ada di UUD, padahal Mahkamah Konstitusi (MK) saja tidak mempunyai kewenangan itu. Jadi melihatnya jadi sangat janggal,” tuturnya.


Lebih lanjut ia menilai jikalau gugatan tersebut diproses oleh PTUN, maka putusannya juga tidak serta-merta berupa penundaan Pemilu 2024. Feri mengingatkan bahwa dalam gugatan perdata itu, yang seharusnya diperbaiki oleh putusan hakim yakni hak keperdataan Partai PRIMA.


“Saya pikir memang ada yang sangat janggal di putusan PN Jakpus, karena berdasarkan Perma Nomor 2 Tahun 2019, untuk perkara Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) tidak lagi di PN tapi semuanya harus dialihkan ke PTUN,” jelasnya kepada CNNIndonesia.com. “Yaitu mereka diberikan hak untuk verifikasi kembali. Kok kemudian tiba-tiba meloncat untuk menunda penyelenggaraan pemilu, jadi janggal dan aneh kalau kemudian dikaitkan dengan konsep keperdataan,” jelasnya.


Tidak Arif dan Tidak Lucu
Prabowo Subianto mengatakan, “Penundaan itu tidak masuk akal dan kurang arif (CNN Indonesia, Minggu 5 Maret 2023).” Begitu ungkap Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra seusai pertemuannya dengan Ketum Partai NasDem Surya Paloh di Padepokan Garuda Yaksa, Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Ungkapan itu diteruskan Prabowo, ”Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat itu masih bisa dianulir di Pengadilan tingkat atasnya.”


Prabowo saja sebagai Menhan Kabinet Jokowi, ikut langgam partai pengusung Jokowi, PDIP yang mematuhi Ketua Partai untuk taat asas menghormati Konstitusi. Hal itu selaras dengan Komnas HAM, yang dikemukakan komisionernya Pramono Ubaid Tanthowi yang mengatakan,”Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menunda pemilu hingga 2025 berpotensi melanggar konstitusi.”


Sebab, Pramono melanjutkan kata-katanya, “Sesuai Undang-Undang Dasar 1945, Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Dalam putusan nomor 5 atas gugatan Partai Prima terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU), PN Jakarta Pusat meminta KPU menghentikan tahapan Pemilu 2024. Hal ini bertentangan dengan konstitusi.”


Saat Pemilu lah, seluruh warga negara dengan satu suara dengan nilai yang sama harusnya dipergunakan 5 tahun sekali secara reguler. Tapi dengan adanya putusan itu maka hak konstitusional warga negara yang harusnya dipergunakan setiap 5 tahun sekali itu berpotensi untuk terabaikan,” katanya. Tindakan PN Jakarta Pusat, tidak cukup dikatakan “tidak arif”, malah bisa dikatakan dengan nada kesal, “tidak lucu”. Atau, seperti penggalan lagu Rhoma Irama,”Sungguh terlaaluu.”


Kontroversi putusan PN Jakpus ini, justru mengundang pernyataan keras Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, menegur Partai Prima atas gugatannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Gugatan Partai Prima itu menyebabkan keluarnya putusan soal penundaan Pemilu 2024. Menurut Hasto, seharusnya Partai Prima fokus memperbaiki diri agar bisa lolos verifikasi di pemilu selanjutnya.
“Ketika partai politik yang oleh otoritas berwenang yaitu KPU (menyatakan tidak memenuhi syarat), kemudian uji sengketa ke Bawaslu dinyatakan tak lolos, ya seharusnya caranya memperbaiki diri agar ke depan lolos pemilu. Bukan dengan cara menggugat ke Pengadilan Negeri yang bukan ranah kewenangannya,” kata Hasto, Senin, 6 Maret 2023.


Kilas Balik

Tahun sebelumnya, kejadian serupa pernah diramaikan trio politisi: Zulhas (Ketua PAN), Cak Imin (Ketua Umum PKB) dan EH (Erlangga Hartarto, ketua umum Partai Golkar). Pada satu waktu, para politisi itu mewacanakan penundan Pemilu. Saat itulah pemegang kedaulatan rakyat bersuara, bahwa ada niatan buruk ingin melanggengkan kekuasaan, sekaligus mengkhianati kedaulatan rakyat. Kata ekstremnya, mempermainkan suara rakyat. Dengan kecanggihan survey, mereka menebar jaring-jaring kebohongan. Mereka menjalankan aksinya dengan baju buzzer, ada pula dengan dalih demokrasi. Ujung-ujungnya mengakali suara rakyat.

Salah satu politisi yang juga Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) juga berkomentar keras dengan mengatakan,”Menunda Pemilu, ini permufakatan jahat. Rencana itu upaya segelintir pihak untuk melanggengkan kekuasaannya.” katanya. Hal itu dikemukakannya di Jakarta, tahun lalu, Selasa (15/3/2022). Kalau beredar pernyataan untuk menunda Pemilu 2024 itu sebagai aspirasi rakyat, hal itu juga ia pertanyakan. “Pasalnya, banyak hasil survei yang menunjukkan bahwa publik menolak penundaan Pemilu 2024. “Jangan kita membiarkan ada mereka yang hobinya manipulasi suara, memanipulasi data dan informasi, sepakat? Jangan mempermainkan suara rakyat,” ujar AHY.
Amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, kata AHY, memang bukan merupakan sesuatu yang haram. Namun, jika langkah tersebut dilakukan untuk menunda Pemilu 2024, hal itu justru bentuk pengkhianatan terhadap reformasi.

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, Busyro Muqqodas menilai isu penundaan pemilu yang dikemukakan elite politik sebagai penistaan terhadap konstitusi. Keras lontaran Busyro Muqodas. Ia menyebut politisi yang berlaga pada Pemilu saat ini sebagai keledai politik. “Mereka yang tidak pernah belajar dari masa lalu, bahwa elite-elite politik yang terlibat wacana ini berniat mengawetkan kekuasaan.


“Ini menunjukkan semakin tumpulnya kepekaan tentang pentingnya sifat jujur, cerdas, dan keteladanan prima dalam menjalankan amanat rakyat,” kata Busyro dalam sebuah diskusi virtual tahun lalu. “Apakah saya harus optimis dengan meyakini masih ada para intelektual dengan akal sehat di banyak kampus? Atau, justru saya pesimis dengan kian vulgarnya gaya berpolitik para elit, kian rapat menutup telinga dan mata hati mereka?”

Tentang Penulis

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda