Ads
Ramadan

Cak Nur tentang Puasa: Takwa Adalah Kesadaran Ketuhanan

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Perlu kita sadari, tujuan berpuasa adalah la’allakum tattaqun “agar kamu bertakwa”
• 2:183). Takwa adalah silah yang sangat sentral dalam agama kita. Biasanya diterjemahkan dengan “takut”. Tapi sebetulnya takut kepada Allah itu, sekalipun merupakan bagian yang amat penting dari takwa, hanya sebagian dari pengertian takwa. Takwa, kalau kita bahasakan dalam bahasa kita, ialah kesadaran ketuhanan. Yang di tempat lain disebutkan dengan terjemahannya persis seperti Itu yaitu istilah rabbaniyah — ketika Allah memberikan suatu gambaran bahwa tidak sepatutnya manusia yang diberi Allah kitab suci dan diangkat sebagai nabi kemudian berseru kepada manusia lain supaya menyembah dia. Tidak mungkin itu. Walakin kunu rabbaniyyin, tetapi jadilah kamu semua Orang-orang yang bersemangat ketuhanan” (Q. 3:79).

Di tempat lain digunakan kata ribbiyah. Ketika digambarkan bahwa perjuangan adalah suatu kemestian dari usaha menegakkan kebenaran, dan contohnya kita bisa ambil dari kisah-kisah para nabi, digambarkan “betapa banyaknya nabi yang berjuang, dan bersama orang-orang berketuhanan yang sangat banyak.” Mereka tidak pernah mengeluh, di dalam perjuangan di  jalan Allah itu, juga tidak pernah putus asa dan merasa lemah (Q. 3:146). Nah, di situ digunakan istilah ribbiyah. Jadi takwa adalah kesadaran ketuhanan, yang intinya adalah kesadaran bahwa Tuhan hadir dalam hidup kita. Jadi Tuhan itu maha hadir. Dalam istilah asingnya, omnipresent sesuai dengan firman Allah di dalam Al-Qur’an bahwa Allah beserta kita di mana pun kita berada. “Wahua ma’akum aina maa kuntum”, dan sangat mengetahui apa pun yang kamu dengarkan “Wallaahu bimaa ta’maluuna bashiir” (Q. 57; 4) dengan memiliki kesadaran akan kehadiran Tuhan itu cukup mendalam, mudah sekali dibayangkan kita akan memiliki budi pekerti (akhlak) luhur, karena kita tidak akan dengan sendirinya dapat melakukan sesuatu yang kiranya tidak diridai Allah SWT. Karena itu ada beberapa hadis yang ekstrem sekali kedengarannya.

Ada hadis yang mengatakan bahwa seorang pencuri, pada saat mencuri, itu kafir. Sebabnya apa? Sebab ketika dia mencuri maka ada momen dia tidak menyadari bahwa Tuhan hadir Ada momen dia ingkar kepada Allah. Ingkar itu dalam bahasa Arabnya ya kafir (kufr). Terdengar ekstrem sekali, tapi logis. Nah, puasa itu adalah latihan untuk memperkuat kesadaran tentang hadirnya Tuhan itu. Karena itu disebutkan bahwa puasa adalah satu-satunya ibadah yang dalam agama kita diartikan semata-mata untuk Tuhan. Disebutkan, “Ash-shiamu li wa ana ajzi bihi (Puasa itu untuk-Ku dan Akulah yang menanggung pahalanya).” Maksudnya, ibadah yang paling privat dari lima rukun Islam itu adalah puasa. Karena tidak seorang pun mengetahui kita puasa. Tidak, kecuali kita sendiri dan Allah SWT. Apa sulitnya kita minum di kamar, makan sendirian dan orang lain tidak tahu?

Karena itu, puasa dan tidak puasa nggak bisa diukur dari penampilan lahiri. Ada orang yang lemas tapi sebenarnya dia minum, ada orang yang sehat tapi sebenarnya dia puasa. Tapi idenya itu ialah ketika kita sendirian betul. Nah, karena kita sadar Allah hadir beserta kita maka betapapun laparnya kita, kita tidak akan minum. Itu artinya puasa sebagai ibadat yang privat.

Sedangkan salat itu ada sedikit faktor publiknya. Argumennya ialah salat itu semakin banyak bersama orang lain (berjamaah) semakin bertam. bah kekhusyukannya. Bahkan ada hitungannya: kalau kita salat sendirian pahalanya satu, tapi kalau berjamaah pahalanya 27 atau 25.

Begitu juga zakat berhubungan dengan persoalan karena zakat menyangkut dimensi sosial dan menolong orang lain. Karena itu di Qur’an disebutkan, kalau kita sedekah tidak apa apa kita pamerkan “Kalau kamu pamerkan sedekah, itu baik-baik saja ” Karena kalau Kita bersedekah dan orang lain tahu, mungkin mempunyai efek peniruan (duplikasi) bagi orang lain, “Kalau kamu pamerkan sedekah, itu baik-baik saja,” supaya ditiru, “tapi kalau kamu lakukan secara diam-diam dan kamu berikan sama orang yang perlu,” itu lebih baik. Karena menghindari riya atau niat yang tidak ikhlas (lihat Q. 2:271). Begitupun dengan haji — suatu ibadah yang sangat publik.

Nah, puasa sangat private (pribadi), karena memang intinya menegakkan kesadaran hadirnya Tuhan, yang mempunyai efek sikap jujur, karena Allah selalu melihat. Maka dari itu sering ada kesenjangan yang parah antara pengakuan dan tindakan yang bdak cocok dengan iman. Sebetulnya pernyataan paling gawat adalah apa orang itu betul beriman. Karena kalau beriman betul tidak mungkin melakukan itu. Itulah sebabnya mengapa di Qur’an masih ada kata-kata yang agak “aneh” kedengarannya: “Hai orang-orang beriman, berimanlah kepada Allah”, dan seterusnya (Q. 4:136).

Kalimat “orang beriman” itu referensinya kepada kelompok. Jadi, orang-orang beriman di situ adalah kelompok. Tapi belum tentu mereka satu per satu beriman betul. Karena itu orang beriman diperintahkan beriman. Juga, “anehnya”, orang beriman masih disuruh kembali kepada Allah, dan pasrah, dan islam. Firman Allah: “Hai orang-orang beriman, kembalilah kepada Allah dan pasrahlah kepadanya” (Q. 39:54). Jadi, orang yang mengaku beriman belum tentu beriman betul, karena beriman di situ masih bersifat konvensional. Nah, jadi takwa itu untuk mengisi kekosongan itu. WaIlahu a’lam bish-shawab.

Penulis: Prof. Dr. Nurcholish Madjid (1939-2005). Almarhum yang biasa dipanggil Cak Nur adalah pendiri dan rektor pertama Universitas Paramadina, Jakarta. Peraih Ph.D. dari Universitas Chicago (AS) ini semasa hidupnya antara lain pernah menjadi ketua umum PB HMI dan guru besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pendiri Yayasan Wakaf Paramadina ini juga dikenal sebagai salah satu tokoh gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia.


Sumber: Panjimas 13-26 November 2002

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda