Ads
Ramadan

Fikih Pegangan Puasa (4): Yang Mati dan Punya Tanggungan Puasa

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Ijmak (konsensus) ulama menetapkan bahwa orang yang mati dan meninggalkan kewajiban salat, misalnya karena absen di saat-saat sakit, wali atau ahli warisnya tidak usah menyalati kekurangan salatnya atas namanya. Masalahnya karena salat tidak bisa diwakilkan, juga tidak bisa ditinggalkan, walaupun seseorang sakit, selama masih punya kesadaran, dan terdapat berbagai macam keringanan bagi si sakit dalam melaksanakannya. Demikian pula orang yang meninggalkan puasa karena sudah tidak mampu berpuasa (jompo, atau pekerja keras terus-menerus), sebab orang seperti ini tidak lagi diwajibkan berpuasa melainkan membayar fidyah.

Adapun mengenai orang yang mati meninggalkan puasa padahal ia mampu berpuasa, hanya saja berhalangan, misalnya di waktu sakit di akhir hayat, jumhur ulama — di antaranya Imam-imam Abu Hanifah, Malik, dan pendapat yang masyhur dari Syafi’i — juga sepakat bahwa wali orang itu tidak memuasai dia, melainkan membayar fidyah satu mudd setiap hari (menurut Abu Hanifah: setengah sha’ gandum atau satu sha’ lainnya). Tetapi pendapat yang terpilih di kalangan mazhab Syafi’i mengatakan: walinya memuasai dia, bukannya membayar fidyah.

Dalilnya ialah hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad ibn Hanbal, dari sumber pertama Aisyah r.a. Sabda Nabi s.a.W., “Siapa yang mati dan punya tanggungan puasa, walinya berpuasa untuknya.” — dengan tambahan dalam riwayat Al-Bazzar: “kalau mereka mau”. Bagaimana kalau orang lain, teman, atau siapa saja yang melakukannya? Boleh, dengan syarat diizinkan pihak wali. Bila tidak tidak sah. ” Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan Ashhabus Sunan, dari Ibn Abbas r.a., bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW, lalu bertanya, “Ya Rasulallah, ibu saya mati dan punya tanggungan puasa satu bulan. Apa saya mengqada puasa beliau?”

“Kalau ibumu punya utang,” jawab Nabi, “apakah engkau membayarnya?”

“Tentu saja,” kata sahabat itu.

“Kalau begitu utang kepada Allah lebih layak untuk dibayar.”

Berkata Imam Nawawi: “Ini pendapat sahih dan terpilih yang kami yakini.

Penulis: Ust. Abu Fitri Firdausi. Bahan: As-Saiyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, I, Darul Fikr, Beirut, 1400 H./1980 M; Ibn Rusyd, Hidayatul Mujtah wa Nihayatu Muqtashid, I, Darul Ma’ridlah, Beirut, 1406 H./1985

Sumber: Panjimas, 13-26 November 2002

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading