Selama ini rakyat telah patuh membiayai penyelenggaraan pemerintahan dengan membayar berbagai bea, cukai dan pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Bumi dan Bangunan. PPN telah dikenakan kepada seluruh rakyat pembeli barang dan jasa tanpa pandang bulu. Hasil semua itu telah dipakai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, untuk menggaji, membiayai perjalanan-perjalanan dinas ke dalam dan luar negeri, membiayai jamuan-jamuan para birokrat dan pejabat negara termasuk anggota-anggota DPR dan anggota-anggota kepolisian.
Maka menurut Prof. K.H. Ali Yafie, sudah seharusnyalah kita bertanya. Rakyat harus diajari untuk mengetahui hak-haknya, karena selama ini rakyat telah memenuhi kewajibannya dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Sekali lagi, siapakah yang harus bertanggungjawab?
Belakangan ini kita sering pula membaca di media massa ungkapan pemimpin-pemimpin masyarakat dan atau pejabat negara yang menyatakan agar kita jangan saling menyalahkan. Menyatakan agar para pengkritik Pemerintah memberikan solusi dan jangan hanya asal mengkritik saja.
Subhanallah, semua itu jelas-jelas sama dengan menutup pintu kritik, menutup pintu peringatan dari orang lain. Mengapa kita masih takut dikritik, takut diperingatkan kalau kita sudah benar, dan mampu membuktikan kita benar? Biarkan saja orang mengkritik. Kritik itu sendiri sesungguhnya adalah peringatan, dan setiap pemimpin masyarakat, setiap pemerintahan sangat membutuhkan peringatan dari rakyat. Di lain pihak, rakyat baik rakyat kebanyakan atau mantan pejabat, selama hayat masih di kandung badan, wajib memiliki kepedulian tinggi terhadap permasalahan bangsa dan negaranya. Wajib memiliki rasa patriotisme yang tinggi, karena bagi seorang patriot tidak ada istilah pensiun. Jiwa patriotisme tidak pernah akan mati, dan memang tidak boleh mati. Tidak boleh padam.
Adapun kritik itu sendiri tidaklah harus selalu diikuti dengan solusi. Lagi pula media massa kita sebagai sarana penyampaian kritik, pada umumnya kurang memberikan ruang bagi solusi tersebut. Dari belasan halaman tentang sesuatu masalah, misalkan usul penundaan kenaikan BBM, sering hanya dimuat sebagai berita satu atau dua alinea, bahkan kadang- kadang hanya satu-dua kalimat saja.
Ajaran Islam sangat menghargai dan memerintahkan umatnya untuk saling memperingatkan, saling nasihat-menasihati satu sama lain. Kebanyakan umat Islam telah mengenal hal tersebut dalam surat Al ‘Ashr. Perintah seperti itu sesungguhnya bukan hanya dalam surat Al ‘Ashr, tetapi juga di dalam banyak surat yang lain, misalnya surat Ali Imran ayat 104 dan 110, surat An Nissa: 114, surat Luqman: 17, surat Fushshilat: 33 dan Adz-Dzaariaat: 55, “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang- orang yang beriman”. Hal itu dipertegas oleh Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, “Agama adalah nasihat”, Rasulullah menambahkan, “Siapa yang menunjukkan kepada kebajikan, maka ia memperoleh pahala sebanyak pahala orang yang mengerjakannya.”
Lebih keras lagi Rasulullah Saw. bersabda, “Siapa di antara kalian melihat kemungkaran maka hendaklah mengubah kemungkaran itu dengan tangannya. Bila tidak mampu hendaklah dengan lisannya. Dan bila tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, tetapi terakhir ini menunjukkan iman yang paling lemah.” (Hadis Muslim).
Menyadari pentingnya peringatan sebagaimana diajarkan Rasulullah, sahabat-sahabat Rasulullah yaitu Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar bin Khatab tatkala dilantik menjadi Khalifah, menyampaikan pidato pelantikan yang indah mempesona menggugah sanubari, serta sangat populer di kalangan umat Islam.
Kata Abu Bakar, “Saya seorang pengikut Nabi, bukan pembaharu. Oleh karena itu, kalau saya mengerjakan pekerjaan dengan baik, bantulah saya. Dan kalau saya menyimpang, luruskanlah saya”, Abubakar melanjutkan: “…patuhilah saya selama saya patuh kepada Allah dan Nabi-Nya. Tetapi kalau saya tidak patuh kepada Allah dan Nabi-Nya, saudara tidak berkewajiban mematuhi saya.”
Khalifah kedua, Umar bin Khatab, juga bersikap sama seperti Abubakar tatkala menyampaikan pidato pelantikannya, sampai tiba-tiba seorang laki-laki dengan pedang terhunus mengancam, “Wahai Umar, demi Allah, jika langkah dan perbuatanmu bengkok, akan aku luruskan dengan pedangku.”
Mendengar ancaman yang begitu keras, dengan tulus Umar menjawab, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan di tengah-tengah umat ini seorang yang bersedia meluruskan Umar dengan pedang, bilamana langkah dan perbuatannya bengkok.”
Maka siapakah yang paling bertanggung jawab terhadap masalah-masalah rakyat di suatu negara? Sudah barang tentu para pemimpinnya. Untuk itu ijinkanlah saya mengutip beberapa hadis tentang kepemimpinan yang amat terkenal antara lain: “Siapa yang diberi kekuasaan oleh Allah untuk mengurus urusan orang-orang Islam, lalu ia bersembunyi (tidak mau tahu) terhadap kebutuhan, kemiskinan dan kefakiran mereka, maka Allah tidak mau tahu terhadap kebutuhan kemiskinan dan kefakirannya pada hari kiamat” (H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi).
Imam Muslim meriwayatkan pula, “Seorang pemimpin yang diberi tugas untuk mengurus urusan-urusan kaum muslimin, namun kemudian ia tidak sungguh-sungguh dan tidak menasihati mereka, maka ia tidak akan masuk surga bersama mereka”.
Bersama Imam Bukhari, Muslim meriwayatkan lagi, “Seseorang yang diberi kepercayaan oleh Allah untuk memimpin rakyat, lalu meninggal di saat ia menipu rakyatnya, maka Allah mengharamkannya masuk surga” Riwayat lain menambahkan, “Kemudian tidak diawasi dengan nasihat yang baik, maka ia tidak akan memperoleh bau harumnya surga”. Naudzubillahimindzalik.
Bertentangan dengan Pola Hidup Rasulullah
Tujuan kita memproklamasikan kemerdekaan, tujuan kita mendirikan negara bukanlah keagungan, bukan ketersyohoran, bukan kepopuleran para penguasanya, melainkan keamanan, keadilan dan kesejahteraan umum rakyat. Oleh karena itu para elit nasional, para penguasa yang memperoleh titipan amanah kekuasaan dari Allah, janganlah menempatkan dirinya, janganlah menjadikan dirinya sekedar sebagai tontonan, tetapi harus bisa menjadi tuntunan. Harus bisa menjadi panutan, menjadi suri tauladan bagi rakyatnya. Sebab penguasa bukan artis, bukan selebritis, Penguasa adalah pemimpin bagi rakyatnya. Pemimpin yang harus dapat membawa rakyatnya mewujudkan kesejahteraan umum, mewujudkan keadilan, keamanan dan ketertiban umum.
Banyak kisah-kisah kepemimpinan serta pola hidup dari Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya yang bisa, bahkan bagi umat Islam sudah seharusnya dijadikan teladan. Di dalam peperangan beliau-beliau selalu bersama-sama pasukannya. Dalam bekerja juga dengan memberi contoh. Kepada rakyatnya mereka mengabdi dan melayani. Dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari seperti pakaian, makanan bahkan gajinya sebagai khalifah pun tidak mau melebihi kehidupan rakyat jelata.
Kita tidak menuntut para pemimpin kita untuk hidup zuhud dan wara sebagaimana Rasulullah dan para sahabatnya, namun yang penting sebagai umat Islam yang mengaku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, seharusnya para pemimpin kita selalu memiliki rasa, semangat, cita-cita serta usaha untuk dapat mengikuti langkah-langkah mereka.
Tetapi apa yang kita lihat sekarang sungguh amat disayangkan. Yang terjadi adalah berkembang pesatnya pola hidup konsumtif yang berlebihan, yang serba mewah dan gemerlap. Pola hidup yang berkembang di masyarakat kita dewasa ini bertentangan dengan pola hidup Rasulullah dan para sahabatnya, yaitu Bersih-Sederhana-Mengabdi (BSM). Padahal jika pola hidup BSM bisa dijalankan di Indonesia, saya yakin perekonomian Indonesia akan bergeser dari perekonomian yang konsumtif menjadi perekonomian yang produktif. Devisa kita akan bisa banyak dihemat. Ekonomi berbiaya tinggi akan dapat ditekan. Lapangan kerja akan banyak tersedia. Pengangguran ditekan sekecil mungkin, sumber daya alam terkelola dengan baik, lingkungan hidup terjaga dan terpelihara, kesenjangan sosial terjembatani, korupsi dapat diberantas, keadilan sosial dapat ditegakkan, keamanan dan ketertiban umum terpelihara baik lagi terkendali.
Akan tetapi siapakah yang harus mengubah pola hidup yang buruk selama ini menjadi pola hidup BSM? Pemimpin negara, pemimpin pemerintahan dengan segenap aparat birokrasi serta elite pimpinan nasionallah yang harus mengubahnya, dengan menjadikan dirinya sebagai suri teladan.
Krisis multidimensi yang besar, berat dan kompleks yang kita derita selama ini, secara keimanan bersumber dari krisis moral. Oleh sebab itu upaya penanggulangannya harus bertitik tolak dari reformasi moral kepemimpinan. Upaya ini harus dimulai dari pembersihan niat, perilaku dan moralitas pemimpin masyarakat atau para pemegang kendali di sektor-sektor kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya para ulama dan umara.
Marilah kita bangun kepedulian dan kebersamaan kita sebagai bangsa dengan jalan mempraktikkan pola hidup BSM. Untuk itu segala macam aktivitas yang kita lakukan harus dimulai dengan kebersihan jiwa, kebersihan hati dan niat, dikembangkan dalam pola kehidupan serta perilaku kesederhanaan, dengan sasaran pengabdian. Pola hidup BSM harus kita kembangkan menjadi moral ekonomi, politik, hukum dan terus dikembangkan ke sektor-sektor kehidupan lainnya. Insya Allah itulah yang akan menjadi kunci keberhasilan kita mengatasi krisis multi dimensi yang kita alami selama ini.
Demikian sebagian dari butir-butir wasiat Prof. K.H. Ali Yafie, yang di dalam pengelolaan Panji Masyarakat beliau dimuliakan sebagai Ketua Dewan Penasihat. Semoga kita semua bisa mengemban serta melaksanakan amanah dan wasiat-wasiatnya dengan baik. Al-Fatihah untuk Almarhum.***