Ads
Jejak Islam

Menulis Qur’an : Kreasi dan Pahala (3)
Puncak Keelokan Al-Qur’an

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Masa-masa sesudah lenyapnya dua raksasa Banu Umaiyah dan Banu Abbas, ditandai munculnya kekhalifahan-kekhalifahan Islam yang lain, seperti Kekhalifahan Timurid II Khanid, Safawid, Mameluk, Moghul, Turki Utsmani, Andalusia, Maghribi dan lain-lain. Al-Qur’an pada masa-masa ini sudah benar-benar mencapai puncak keelokannya, bahkan kerap menimbulkan kesan “berlebihan”. Tidak puas menghiasi pagina-paginanya, bagian sampul kini mendapat giliran “dikerjai”. Warna-warna emas dan perak menimbulkan daya pikat yang luar biasa. Biasa warna-warna lain seperti hijau, biru, merah, kuning, dan warna permata ikut memolesi bagian perut sampul. Ekspresi estetis seni kaligrafi pada mushaf-mushaf tersebut sama keadaannya dengan yang melekat pada dinding-dinding mesjid dan bangunan-bangunan lain. Semuanya memancarkan keindahan belaka.

Keadaan inilah, agaknya, yang di khawatirkan Nabi Saw yang sudah meramal kan jauh sebelum itu, “Jika kalian sudah menghiasi mesjid atau mempercantik mushaf-mushaf kalian, hendaknya kalian hapus kembali!” Ada yang berpendapat, menghias-hias mushaf atau mesjid itu makruh. Sebaliknya, jika keadaan itu malah meniupkan semangat cinta Al-Qur’an, beberapa kalangan justeru memandangnya lebih bagus. Berpegang kepada pendapat ini, para kaligrafer bermaksud melaksanakan sabda Nabi SAW, “Allah itu indah, menyukai keindahan”. Tentang pendapat makruhnya menghias-hias mushaf dengan tinta emas yang membawa kesan “glamor”, ahli sejarah Ibnu Khaldun langsung berkomentar: “Hal itu tidak bisa dibendung, karena menyangkut harkat dan kebesaran untuk mengikuti kemajuan jaman.”

Seni lukis, apalagi pembuatan patungpatung, di dunia Islam, kurang begitu populer, karena kekhawatiran tercebur ke lembah syirik. Maka, seni kaligrafi dijadikan pelampiasan segenap “kerinduan estetis” sebagai penggantinya. Karena tema-tema perikehidupan lebih banyak dijumpai dalam Al-Qur’an, maka ayat-ayat Al-Qur’anlah yang dijadikan tema sentral lukisan. Para kaligrafer seakan berpacu menampilkan karya terbagus sebanyak-banyaknya. Ibnu Bauwab, misalnya, menulis 64 buah mushaf. Inilah rekor terbanyak, di mana seorang pelukis menyalin kitab sucinya sebanyak itu.

Perlindungan Sultan

ika saja tidak terjadi ekspansi buas bangsa-bangsa “bule” ke Timur Tengah sehingga Turki Utsmani tidak diobrak-abrik menjadi kepingan-kepingan negara-negara Arab kecil, sukar dibayangkan, “musabaqah” menulis mushaf Al-Qur’an yang Al Shayigh, Imaduddin Al Husayni, Syeikh Hamdullah Al Amasi, Hafizh Usman, Abdullah Zuhdi, Muhammad Azat, Hamid al Amidi, Hasyim Muhammad dan lain-lain. Dari tokoh-tokoh ini pulalah Al-Qur’an ditulis dengan khat-khat Thumar, Muhaggag, Rayhani, Farisi, Nasta’lig, Tsuluts dan Naskhi. Pada periode ini, mushaf dengan gaya Farisi bermunculan sangat mengagumkan. “Tampang” Al-Qur’an umumnya muncul tanpa cacat. Mushafmushaf Al-Qur’an raksasa yang memiliki daya tarik ini turut mengembangkan lebih jauh aneka tulisan Arab yang ada, lalu menerobos ke Afghanistan, India dan Cina. Sementara di Semenanjung Afrika dan Andalusia, terdapat perkembangan tersendiri dengan mengagumkan. Di sini Al-Qur’an banyak ditulis dengan koufi, Barat yang indah seperti Sudani, Fasi, Qairawani dan Andalusi.

Perlindungan para Sultan terhadap para penulis Al-Qur’an di masa kedaulatan negara-negara Islam terdahulu, mengingatkan kita kepada mendiang Bung Karno, Presiden Pertama RI, yang erat dengan seniman, khususnya pelukis. Beliaulah yang memerintahkan ditulisnya Al-Qur’an Pusaka RI berukuran dua meter, dikerjakan dari 23 Juni 1948/17 Ramadan 1367 dan selesai 15 Maret 1960/17 Ramadan 1379, melalui tangan khattat H.M. Salim Fachry dari Langkat.

Mushaf-mushaf raksasa itu tidak selamanya mengagumkan para kaligrafer. Pada abad ke-20 ini beberapa penulis kaligrafi membuat eksperimen-eksperimen unik dan membingungkan, dengan mengembangkan seni menulis “kecil”, berdasarkan gaya Ghubar (debu halus) yang sekonyong-konyong populer Para kaligrater moderen menyederhanakan atau mereduksi Ghubar menjadi bentuk amat kecil namun tertib, menulis di atas bahanbahan yang tidak lebih besar dari butiran beras Teks Al-Qur’an komplit terdiri dari 77.934 kata pernah ditumpangkan di atas kulit sebuah telur ayam, dan sekarang-sekarang ini di atas sehelai kertas berukuran tidak lebih daripada 55 hingga 45 sentimeter. Hassan Abdul Jauwad dari Mesir, misalnya, menulis tiga juz Al-Qur’an di atas sebutir gandum Mushaf-mushaf Al-Qur’an yang komplit tidak lebih besar daripada ibujari atau jempol kerap dipakai hingga ‘usang’ sebagai “azimat” penangkal bala oleh sejumlah besar umat Islam.

Terakhir ini, Al-Qur’an ditulis hanya dengan khat Naskhi yang sederhana. Tidak ada hal-hal luar biasa, seperti pada abad-abad terdahulu. Kecuali, sekarang ini, muncul lembaga-lembaga perlindungan seperti Madrasah Tahsinul Khututh di beberapa negara Timur Tengah. Di Turki, ada Research Center for the Islamic History, Art and Culture (IRCICA), juga berusaha mengembangkan seni kaligrafi. Untuk menjaga kemurnian Al-Qur’an yang diedarkan, di Indonesia dibentuk Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an dengan penetapan Menteri Agama RI No. 37 tahun 1957. Terakhir, dirumuskan Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia sebagai bahan rujukan masyarakat Indonesia. Untuk mengembangkan seni kaligrafi itu sendiri, telah dibentuk (20 Juli 1985) Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka), di IAIN Jakarta. Sedangkan pengembangan. seni menulis khat Al-Qur’an hanya diselenggarakan pada MTQ-MTQ, sebagai musabaqah biasa. Indonesia sendiri tidak memiliki para penulis Al-Qur’an yang populer, kecuali, misalnya, beberapa khattath yang ‘pernah” menulis Al-Qur’an seperti Prof. H.M. Salim Fachry, Salim Bakatsir, H.M. Abdul Razzaq Muhili, Muhammad Syadzali dan beberapa orang lagi yang menulis untuk disimpan sendiri. Beberapa mushaf kuno yang ditulis para kiai dapat dijumpai di Museum Haji Masagung di Kramat, Jakarta.

Jika kita saksikan corak-corak hiasan yang tinggi pada mushaf-mushaf asli itu, kita akan dibuat termenung lama. Apa yang kita lihat adalah suatu hasil karya agung yang serasi dengan keagungan Al-Qur’an itu sendiri, dan merupakan puncak kreasi umat Islam yang tak dapat disaingi oleh kitab-kitab apa pun di dunia.

Penulis: Didin Sirojuddin AR, pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat sebelum total menjadi penulis dan pelukis kaligrafi dan dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia juga pendiri Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka) dan Pondok Pesantren Kaligrafi Lemka, Sukabumi, Jawa Barat.

Sumber: Panji Masyarakat, 1 Juni 1987

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda