Ads
Jejak Islam

Menulis Qur’an: Kreasi dan Pahala (2) Persoalan Tulisan Gundul

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Munculnya mushaf-mushaf Utsmani dan perintah Utsman untuk menggandakan salinan Al-Quran adalah kebangkitan ketiga kepenulisan bangsa Arab Era ketiga ini ditandai kemunculannya penulis-penulis mushaf dari kelompok Muslim non-Arab, seperti Persia. Bersamaan dengan itu, kaligrafi Arab yang semula sangat kaku dan kuno semakin ketinggalan. Sangat terasa, kekunoannya itu terletak pada ketidakmampuannya memecahkan sistematika bacaan yang praktis dapat dipahami orang-orang ajam non Arab dan bangsa Arab sendiri yang kurang fahim dengan tatabahasa mereka Tulisan mushaf di masa Utsman ini masih “gundul”, belum memakai harakat dan tanda titik mulanya, tidak bikin persoalan Sebab, orang-orang Arab tokh paham sendiri dengan huruf-huruf mereka. Yang bikin perkara, ketika dakwah Islam sudah menjangkau masyarakat “luar” Arab yang buta aksara Arab Kerapkali dijumpai salah baca pada lidah-lidah orang-orang ini. Ha pada kata Rahim (Pemurah), sebagai contoh, sering bertukar jim, sehingga terbaca rajim. Sebaliknya, kata rajim (terkutuk) sering terbaca rahim. Kasrah bisa menjadi dhammah, atau dhammah menjadi kasrah dan fathah.

Pada puncaknya, kesalahan lidah tersebut merembet ke kalangan Arab sendiri yang sudah intim bergaul dengan masyarakat “Muslim baru” non-Arab yang mempunyai bahasa dan dialek mereka sendiri. Dengan demikian, bahasa mereka tidak lagi semurni bahasa fusha, melainkan sudah menjadi suatu bahasa dengan dialek “gado-gado” yang berantakan.

Sangatlah menarik, bahwa perkembangan kaligrafi Arab ditentukan oleh tercurahnya perhatian kaum Muslimin generasi salaf dan tabi’in terhadap usaha ”mengakrabkan” Al-Qur’an kepada pembacanya Lebih tigapuluh tahun mushaf “asli Utsman dibaca orang Ketika terjadi banyak kasus salah baca, koreksi yang mula-mula ditujukan adalah kepada tulisan Arab yang kurang memadai Sungguhpun tulisan Arab ketiban berkah seperti itu, namun tujuan utamanya adalah untuk menyelamatkan Al-Qur’an dari kemungkinan-kemungkinan penyalahgunaan atau kekeliruan.

Adalah Ali bin Abi Thalib, Khalifah pengganti Utsman, seorang ahli tatabahasa Arab yang banyak memikirkan kemungkinan penambahan atau penggeseran struktur gaya tulisan Arab yang ditinggalkan pendahulunya. Kira-kira pada tahun 40 hijriyah, ia memerintahkan Abul Aswad Al Duali, juga seorang ahli tatabahasa Arab, untuk meninjau ulang metode penulisan Al-Qur’an. Abul Aswad berhasil merumuskan titik-titik tanda baca sebagai huruf hidup. Usaha ini diteruskan oleh Khalifah Mu’awiyah pengganti Ali dan Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Keduanya adalah tokoh besar Kekhalifahan Banu Umaiyah. Pada periode ini dikenal Nashr bin Ashim dan Yahya bin Ya’mur, keduanya murid-murid Abul Aswad, penerus usaha yang dirintis guru mereka. Penyempurnaan tanda-tanda baca tulisan Arab ini dituntaskan oleh Al Khalil bin Ahmad Al Farahidi pada tahun 170 hijriyah. Generasi sesudah angkatan Al Khalil ini hampir tidak menemui kesulitan lagi dalam membaca Al-Qur’an, meskipun Al-Qur’an itu sendiri dapat dibaca dengan beberapa model qira at.

Mengembangkan Tulisan Mushaf

Sampai periode tersebut, kaligrafi Arab mulai menampakkan pertumbuhan yang berarti dari dua akar yang “tidak akur”. Model pertama berbentuk persegi, disebut muqawwar dan didominasi tulisan Kufi. Sisanya adalah tulisan yang cenderung pada bentuk bulatan dan elastis, disebut mudawwar. Pengaruh Kufi begitu kuat, sehingga di-‘raja”-kan sebagai satu-satunya tulisan suci yang digunakan untuk menyalin mushaf-mushaf Al-Qur’an. Sebuah dongeng menyebutkan, khat Kufi datang dari Allah, diturunkan melalui Jibril. Ini membuat tulisan mudawwar praktis mandek.

“Menulis Al-Qur’an”, tiba-tiba saja menjadi daya pikat para kaligrafer, setelah periode tersebut. Jika para ulama dan penguasa berkutat memperjuangkan model tulisan yang praktis dapat digunakan untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an, para kaligrafer justeru berkutat menampilkan mushaf-mushaf indah dengan torehan kaligrafi yang cantik. Mula-mula, mereka berjuang mengembangkan pola-pola baru tulisan Kufi. Kenyataannya? Tulisan Kufi terlalu kaku dan kurang elastis untuk dikembangkan. Maka, mereka belot ke tulisan mudawwar yang,. ternyata, lebih bisa diajak kompromi. Dari mudawwarlah lahir berpuluh bahkan beratus jenis khat, seperti Naskhi, Tsuluts, Rayhani, Thumar, Jalil dan lain-lain. Pandangan atas sucinya Kufi sebagai satu-satunya tulisan untuk mushaf Al-Qur’an jadi batal. Sejak itu, Al-Qur’an praktis tidak lagi ditulis dengan Kufi Untuk selanjutnya, tulisan Kufi hijrah kepada bentuk-bentuk ornamental yang di goreskan pada benda-benda non QUr’anis (mushaf), seperti ubin, kayu, dinding kaca, stucco, tekstil, gading, metal, kertas, kulit dan lain-lain, atau untuk membuat beberapa ayat suci saja, tidak untuk Al Qur’an secara keseluruhan.

Mengajar Pahala

Menulis Al-Qur’an selain sebagai untuk kreasi, juga merupakan usaha penulinya untuk dikenang dan mendapatkan pahala. Para kaligrafer merasa mendapat “lampu hijau” dari Nabi Saw, bahkan dari Al-Qur’an sendiri. Meski Nabi dikenal ummiy, beliau tidak henti-hentinya mendorong umatnya untuk menulis indah. Satu di antara pesan beliau yang dijadikan pegangan para kaligrafer (khattat) adalah Tulisan bagus akan membuat kebena ran tampak nyata, karena keunggulan ” la pernah mengatakan. “Barang siapa menulis dengan kaligrafi yang Indah. Bismillahir Rahmanir Rahim, maka baginya syurga tanpa hisab.” Berkali-kali Nabi menimang-nimang kata-kata tinta, pena dan tulisan, untuk memberikan semangat. Kata-kata itu sendiri diulang-ulang dalam kitab suci Al-Qur’an, mendorong para kaligrafer untuk maju terus. Pada bagian ini. Al-Qur’an yang adalah kata-kata Tuhan dan menyentuh setiap aspek kehidupan Muslim, menjadi obyek pengabdian dan fokus sorotan kejeniusan artistik Islam Di masa kekuasaan Banu Umaiyah, sebuah mushaf besar telah disalin menggunakan khat Thumar dan jalil Dituliskan oleh Qutbah Al Muharrir, tokoh kaligrati yang banyak menggubah tulisan mudawwar dari bentuknya yang kuno Masih juga belum puas, memuliakan.

Al-Qur’an dengan menuliskannya hanya dengan satudua jenis khat saja Di masa kakhalifahan Banu Abbas, beberapa tokoh kaligrafi yang dipelopori Al Ahwal al Muharrir merumuskan pelbagai corak tulisan. Maka lahirlah Tulisan enam yang disebut al Aqlam Al Sittah, yaitu: Tsuluts, Naskhi, Muhaqqaq, Rayhani, Riqa’ dan Tawaqi’. Maka, dimulailah penulisan Al Qur’an secara besar-besaran dengan jenis-jenis tulisan ini Dorongan maha besar yang menyibukkan para tokoh kaligrafi atas aneka tulisan Arab, hanyalah karena sikap khudhu’ dan keinginan membuat kitab suci mereka menjadi media tercantik di antara seluruh media tulis lainnya di dunia Al-Aqlam Al- Sittah sebagai biang reformasi tulisan Arab yang telah melahirkan ratusan cabangnya di masa Banu Abbas masih belum dianggap final karena sering menimbulkan kontroversi dalam metode penulisannya.

Ibnu Muqlah, lahir 272 H di Baghdad muncul sebagai master of kaligrafer (imam al khattathin) dan memelopori tugas pendisainan kaligrafi Arab menjadi sebuah keseimbangan yang sempurna Jika kita mendapati aturan atau ukuran huruf huruf, tipis tebal dan lebarnya sebagai misal, tidak lain peraturan tersebut adalah hasil kajian Ibnu Muqlah. Pekerjaan suci Perdana Menteri Ibnu Muqlah ini berpengaruh besar pada sosok tulisan tulisan Al-Qur’an generasi sesudahnya Al-Qur’an ditulis begitu cantik, karena rumus-rumus penulisannya sudah ketahuan Kebesaran Al-Qur’an ini, kenyataannya, tidak pernah terkejar oleh usaha-usaha besar makhluk apa pun. Juga oleh kreasi Ibnu Muglah, yang semula dianggap final. Ini terbukti dari timbulnya “greget” di kalangan para ulama dan kaligrafer ulung seperti Ibnu Muglah sendiri dan murid-muridnya, bahkan cucu dari murid-muridnya, seperti Ibnu Bauwab. Sebuah Hadits Nabi SAW menyentakkan Ibnu Bauwab atas kekurangan ini: “Sebenarnya, sebaik-baik penghias mushaf Al-Qur’an, adalah cara membacanya yang betul.” Meski Al-Qur’an dibaca betul, karena sarat tanda-tanda baca, namun “di mana sebuah: kalimat harus berhenti, mana kata yang mesti dipersambungkan?” orang jarang mengetahuinya, kalau tidak benar-benar menguasai bahasa Arab.

Nah, “gara-gara” ini Ibnu Bauwab yang disebut-sebut sejarawan sebagai “pena Allah di bumi-Nya” mendapat inspirasi baru. Dibuatnya tandd’tanda tertentu seperti judul surat (unwan), tanda a’syar (sepersepuluh bagian mushaf) dan ayat sajdah, fawashii (pembatas-pembatas) dan lain-lain. Usaha Ibnu Bauwab ini diteruskan oleh Yagut Al Musta’shimi yang dijuluki kiblat al-kuttab oleh orang-orang Turki Usmani. Lagi-lagi, seluruh usaha para tokoh kaligrafi ini sebagai sikap khidmat terhadap Al-Qur’an. Yaqut hidup semasa Khalifah terakhir Banu Abbas, Al- Musta’shim Billah, bahkan menyaksikan sendiri keruntuhan Baghdad kala bangsa Mongol pimpinan Hulaku membakarnya pada 1258 M.

Penulis: Didin Sirojuddin AR, pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat sebelum total menjadi penulis dan pelukis kaligrafi dan dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia juga pendiri Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka) dan Pondok Pesantren Kaligrafi Lemka, Sukabumi, Jawa Barat.

Sumber: Panji Masyarakat, 1 Juni 1987

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading