Perihal perilaku pejabat dan kebocoran negara, penulis memiliki catatan dan pengalaman yang sebagian telah penulis ungkapkan di dalam buku trilogi TONGGAK-TONGGAK ORDE BARU. Dalam buku pertama yang berjudul tambahan: Jatuh Bangun Strategi Pembangunan (halaman 219 – 240) pada Bab: Bagai Halaman Yang Terus Disapu Sekaligus Dikotori, penulis antara lain mengungkapkan pernyataan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai berikut, “Kebocoran dalam anggaran negara diyakini sudah terjadi sejak 10 tahun sejak Indonesia merdeka. Bahkan kebocorannya hampir setengah dari anggaran atau 40 persen. Karena itulah, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ingin mengetahui proses perencanaan anggaran.
Tentang hal tersebut, Wakil Ketua KPK M Jasin Senin 21 Juli 2008 mengatakan, “Anggaran sejak Prof Soemitro (Soemitro Djojohadikusumo – mantan Menkeu) kerap mengalami kebocoran 30-40 persen. Anggaran itu sistemnya membuka peluang terjadi penyimpangan antar departemen,” ujarnya. (detikfinance, “KPK: Anggaran Negara Bocor Hingga 40% Sejak Zaman Soemitro” selengkapnya https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-975259/kpk-anggaran-negara-bocor-hingga-40-sejak-zaman-soemitro.)
Penyakit ekonomi biaya tinggi sebagaimana sudah menjadi pembicaraan umum, disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari tingkat suku bunga tinggi, hambatan pada struktur pasar, kaitan antara industri yang lemah, pengelolaan yang tidak profesional, serta layanan publik yang mahal hingga faktor-faktor lain yang tak kalah pentingnya seperti korupsi, pungutan liar dan birokrasi yang berbelit- belit.
Sistem yang membuka peluang penyimpangan seperti kekuatiran pimpinan KPK tadi, memang juga sudah menjadi rahasia umum, kebocoran anggaran yang disebabkan perilaku korup aparat pelaksana, tak jarang disertai tindak pemerasan dan persekongkolan antara aparat dan biasanya dengan pengusaha.
Kebocoran tidak hanya terjadi dalam belanja negara tapi juga dalam penerimaan negara. Dalam hal penerimaan yang sepenuhnya berada pada kewenangannya, Menteri Keuangan Sumarlin (1988 – 1993) yang dikenal senang melakukan inspeksi mendadak atau sidak, tak pernah tinggal diam. Dua kali penulis ditugasi untuk menangkap aparat pajak yang mau menakali dua perusahaan. Satu perusahaan berdomisili di Bandung, dengan salah seorang pemegang sahamnya adalah Letjen Purn Hasnan Habib, sedangkan perusahaan yang satu lagi berkantor pusat di Jakarta dengan salah seorang pemegang saham adalah Probosutejo, adik Pak Harto, Presiden.
Sebetulnya penulis enggan melakukan itu, karena bukan tugas penulis. Namun Pak Marlin mengharapkan dengan sangat, karena beberapa kali gagal melakukan penangkapan atas beberapa laporan kasus pemerasan yang diterimanya .
Keduanya penulis sanggupi tapi dengan syarat penangkap formalnya harus aparat penegak hukum dan atau staf inspektorat jenderal, yang harus menyertai tim operasional yang penulis siapkan tanpa mengetahui lebih dulu apa yang akan dilakukan.
Selesai operasi penangkapan yang kedua, yang semuanya berlangsung lancar, penulis mengemukakan kepada Menteri Keuangan Sumarlin bahwa penangkapan-penangkapan seperti itu tidak akan pernah ada habisnya. Harus dilakukan pencegahan berdasarkan suatu sistem yang sistemis, salah satu di antaranya menindaklanjuti dan melakukan penegakan hukum atas laporan harta kekayaan pegawai negeri/TNI-Polri. Ini berarti harus ada aturan hukum untuk mengusut asal-usul harta kekayaan pejabat atau pembuktian terbalik asal- usul harta kekayaan, yang dicek silang dengan realisasi kewajiban membayar pajaknya.
Pada tahun 1995 – 1996 tatkala meledak kasus yang menyangkut Menteri Perhubungan Haryanto Danutirto, dikenal sebagai kasus “Meneer Van Dhanu”, penulis yang diperiksa di Gedung Bundar Kejaksaan Agung karena dikaitkan dengan bocornya kasus tersebut, juga melemparkan ide perlunya Undang-Undang Whistleblower, yaitu Undang-Undang yang memberikan perlindungan terhadap pelapor atau pengungkap fakta yang tidak terlibat dalam kejahatan yang ia laporkan.
Baik Undang-Undang untuk mengusut asal-usul harta kekayaan seseorang yang diduga diperoleh secara tidak wajar, maupun Undang-Undang Whistleblower, pada hemat penulis sangat diperlukan untuk membasmi korupsi serta sejumlah kejahatan yang menyangkut masalah keuangan.
Tanpa kebijakan-kebijakan yang seperti itu, maka penangkapan- penangkapan tidak banyak artinya. “Kalau bapak mau seminggu sekali saya bisa temani bapak sidak melihat gaya hidup para pejabat yang jauh di atas total gajinya sebagai pegawai negeri, dan mereka aman- aman saja,” kata penulis kepada Menteri Keuangan Sumarlin. Pak Marlin sama sekali tidak menanggapi ucapan ini kecuali muka muram, dan sesudah itu hampir sekitar empat bulan tidak memanggil atau meminta ditemani dalam sesuatu acara seperti biasanya.
Tentang perilaku korup masyarakat sejak Orde Baru sampai sekarang, kadang penulis sampai pada peribahasa, belukar sudah menjadi rimba, bagaikan kesalahan yang tidak dapat diperbaiki lagi. Semoga ini salah. Tetapi mengambil hak orang lain seenaknya sendiri, bisa disaksikan mulai dari perilaku masyarakat dalam mengendarai kendaraan bermotor di jalanan, yang tidak peduli dengan hak orang lain, menyerobot kesana-kemari. Jadi bukan semata-mata karena sistem anggarannya yang salah seperti dikemukakan pimpinan KPK di atas, namun juga karena perilaku korup yang cenderung membudaya, sehingga seolah sudah menjadi DNA (deoxyribonucleic acid) bangsa kita, terkandung secara genetika. DNA adalah biomolekul sel-sel tubuh manusia.
Tentu itu hanyalah sebuah pengibaratan saja, guna menggambarkan betapa sudah amat bersimaharajalelanya hama korupsi di Indonesia. Terkait itu kami pernah membahasnya dalam sebuah diskusi dengan pembicara antara lain Prof.Dr.Amien Rais di Masjid Agung Al Azhar Jakarta, 19 April 1998. Dalam sambutan pembukaan selaku Pemimpin Umum Majalah Panji Masyarakat, yang menyelenggarakan diskusi tersebut, penulis melontarkan gaya hidup para pejabat pemerintah yang jauh melebihi kewajaran dari gaji yang diterimanya. Lima bulan kemudian, 13 September 1998, Harian Kompas secara panjang lebar menyajikan hasil penelitian tentang kehidupan dan gaji pegawai negeri.
Tetapi gaya hidup mewah di atas kewajaran bukan hanya bisa terjadi di keluarga birokrasi dan aparat negara saja, melainkan juga di semua lini kehidupan termasuk politisi, pengusaha dan karyawan swasta. Bahkan bisa pula pada diri serta keluarga kita sendiri, saudara, teman dan tetangga. Masalah hidup mewah yang seperti itu sampai dengan masalah halal haram, haq dan batil yang bercampur aduk, telah penulis bahas panjang lebar dalam buku Bertasawuf di Zaman Edan.
Saya pernah bertanya kepada seorang kawan pejabat, mengapa ia rajin pergi umrah dan haji. Jawabnya mengagetkan. Di tanah suci ia mengaku memperoleh ketenangan batin. Ia bisa leluasa mengaku dosa dan bertobat. Saya bertanya lagi tentang doa apa yang paling ia senangi untuk dipanjatkan di depan Kakbah. Jawabnya, doa yang biasa dipanjatkan sesudah salat dhuha, yaitu: “…Ya Allah, apabila rezeki kami di atas langit, maka turunkanlah. Apa bila berada di dalam bumi, maka keluarkanlah. Apabila sukar, maka mudahkanlah. Dan apabila haram maka sucikanlah….”. Naudzubillah.
Suatu hari di tahun 1990-an, tatkala saya nyantri ngalong ke ustadz Mufasir di Barubug, Serang, beliau menceritakan belum lama kedatangan kenalan baik saya, seorang mantan pejabat tinggi, yang minta didoakan agar ia dapat kembali menjabat. Kepada kawan saya ini ustadz bertanya, apa yang sudah dilakukannya untuk umat sewaktu menjadi pejabat tinggi yang telah membuatnya kaya raya? Kawan saya menjawab bahwa ia telah membantu berbagai kegiatan keagamaan, mendanai berbagai aktivitas keumatan dan masyarakat, membangun sekolah dan masjid.
Dengan menceritakan pertemuan itu, ustadz Mufasir berpesan wanti-wanti, menasihati dengan sangat agar kita tidak meniru kawan saya tadi, yang berdalih korupsi demi perjuangan umat. Yang membuat teori keseimbangan. Dosa korupsi yang berarti menzalimi rakyat, dalam sangkaannya dapat ditebus dengan beramal untuk kegiatan-kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Tidak ada sesuatu yang baik, yang berasal dari sesuatu yang tidak baik, yang tidak thayib apalagi yang haram.
Nampaknya, banyak orang yang tidak atau belum paham perihal korupsi termasuk jenis-jenis hadiah yang diterima sehubungan dengan tugas dan pekerjaannya. Pada hemat mereka, apabila telah melayani anggota masyarakat khususnya pengusaha, dan sesudah itu sebagai tanda terima kasih, sang pengusaha memberikan hadiah, maka hadiah tersebut dianggap sah dan halal karena atas dasar senang sama senang. Padahal bagi orang Islam, mestinya hal itu sudah cukup jelas. Banyak ayat dan hadis yang secara tegas melarang korupsi, suap-menyuap, perbuatan mengambil hak orang lain secara batil dan mengkhianati amanah.
Salah satu hadis riwayat Muslim yang sangat popular, mengisahkan kekesalan Kanjeng Nabi Muhammad Saw. tatkala Ibnu Lutbiyah datang melapor seraya berkata: “Ini untuk Anda (baitul maal) dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku.” Mendengar itu Rasulullah lalu berdiri di atas mimbar kemudian bersabda, “Apa sih maunya seseorang yang kutugasi untuk menangani sesuatu pekerjaan, sampai berani mengatakan ‘ini untuk Anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku?’ Kalaulah dia tidak aku tugasi dan hanya duduk-duduk saja di rumah ayah atau di rumah ibunya, apakah mungkin hadiah itu datang sendiri kepadanya?”, sampai beliau mengangkat kedua tangan tinggi-tinggi dan melanjutkan,“Ya Allah, bukankah telah aku katakan. Ya Allah, bukankah telah aku sampaikan?” Begitu saking kesalnya Rasulullah, sampai diulang-ulang.
Sementara itu yang sedang dihadapi bangsa ini bukanlah hanya masalah kebocoran anggaran akibat korupsi para pegawai, tetapi juga berbagai penyalahgunaan kekuasaan.
Semoga kasus penganiayaan anak pejabat kaya raya sehingga sang korban mengalami koma kali ini, dengan rida Tuhan Yang Maha Kuasa, bisa menjadi hikmah dan momentum bagi bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari budaya korupsi. Amin.
(Ikuti selanjutnya: Rakyat Itu “Majikan” Yang Harus Dilayani Pemerintah).