Siapa menolong sesamanya, sesungguhnya ia menolong dirinya sendiri. Itulah yang demikian gigih dijalani Mohamad Misbach, Haji Misbach atau Kiai Merah. Jauh dari sikap apalagi karakter nekat, tatkala tokoh yang pernah berkiprah di Sarekat Islam ini secara gradual mengental seiring tablig yang kerap dikumandangkannya. Pada satu titik, ia secara tegas memilih komunisme tanpa menanggalkan keyakinannya. Baginya Nabi Muhammad selalu menjadi ikutannya, dan jadi komunis tanpa harus menjadi anti Islam.
Dari situs berdikari.com, dimuat narasi ketaktarawatan makama Haji Misbach yang pada masa penjajahan Belanda, bersama anak dan istrinya, dibuang ke Papua. Dari situs itu diceritakan, atas bantuan seorang kawan aktivis di Manokwari, ia bisa berjumpa dengan Patrix Tandirerung. Pemuda asal Tana Toraja, Sulawesi Selatan, ini merupakan satu dari hitungan jari orang di Manokwari yang mengetahui keberadaan makam Haji Misbach di Manokwari.
Kepada jurnalis berdikari.com, Patrix mengaku bermukim di Manokwari sejak 1999. Suatu hari, saat masih magang di sebuah media cetak, dia menemukan artikel tentang Haji Misbach yang ditulis oleh seorang aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD).
“Konon kabarnya, Kiai Merah dibuang ke Manokwari. Petunjuknya adalah Fanindi,” kenang Patrix. Sejak itu, dia mulai bergerilya mencari makam tokoh penting Sarekat Islam cabang Surakarta itu. Awalnya, dia berusaha mencari petunjuk tentang kompleks pemukiman kuno Fanindi. Pada Desember 2010, usaha itu membuahkan hasil. Komplek pemakaman Fanindi ditemukan. Tepat di belakang kantor Telkom, di jalan Merdeka, Manokwari. Dan berkat petunjuk seorang warga, yang oleh orang-orang sekitar dipanggil “Mama”, makam Haji Misbach berhasil ditemukan. “Kondisinya memprihatinkan. Nyaris seluruh nisan tertutup ilalang. Lambang bulan bintang pada nisan, serta tulisan Haji Misbach, tertutup lumut dan debu,” kenang Patrix.
Menimbang Misbach
Dengan sejumlah fakta sejarah, bisa dinyatakan, keislaman Misbach amat eksis dan tak diragukan. Bersamaan dengan sikapnya, ia pun tak punya keraguan mengekspresikan anti kezaliman dan eksploitasi kepada bangsanya yang tengah dijajah Belanda. Kalau kemudian muncul label Misbach Sang Kyai Merah sehingga secara diametral “menghadapkannya” dengan organisasi-organisasi Islam pada zaman itu, seperti dengan Muhammadiyah dan Sarekat Islam, hal itu tidak lepas dari sikap non-kooperatif dengan anasir kapitalis (Belanda sebagai penjajah), juga dengan penguasa feodal ketika itu (termasuk Pakubuwana X yang terkenal lengket kepada Belanda.
Sikap politik Haji Misbach harus diletakkan pada konteks zamannya. Ketika itu, berbagai ekspresi politik Misbach –mau tidak mau, suka atau tidak suka—mendorongnya untuk tidak mencampur-adukkan yang hak dan yang bathil, wala talbisul haq bil baathil. Komunisme Haji Misbach, diaktualisasikannya lewat ketertarikannya pada Indische Journaist Bond (IJB), menjadikannya ruang ekspresi yang, amat berbeda dengan komunisme zonder agama.
Label Mohamad Misbach, Islam-Komunis itu mencitrakannya sebagai propagandis PKI dan SI merah yang efektif. Bahkan ia sempat naik podium untuk berorasi dalam kongres PKI/SI di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Misbach berargumen, sudah kewajiban seorang Muslim untuk mengakui hak-hak manusia, sama halnya dengan program-program komunis. Misbach juga yakin, dengan memilih jalan komunis siapa pun masih bisa menjadi seorang Muslim sejati. Fikrul Hanif Sufyan dalam Menuju Lentera Merah: Gerakan Propagandis Komunis Di Serambi Mekah 1923-1949 (2018) menuturkan orasi Misbach pada perhelatan kaum kiri tersebut menginspirasi para haji dari pulau seberang. Salah seorang haji yang terkagum-kagum mendengar pidato Misbach ialah Haji Datuk Batuah yang kemudian mendirikan Sarekat Rakyat di Padang pada November di tahun yang sama (h. 46).
Misbach melakukan propaganda dengan mengusung semangat “kebebasan kita” dan “kebebasan negeri”. Haji Misbach juga memimpin pemogokan-pemogokan buruh tani di Surakarta. Pemogokan buruh tani semakin meluas pada 1919 hingga akhirnya membuat Belanda meradang.
Pada 7 Mei 1919, pemerintah kolonial Belanda menangkap Misbach dan memenjarakannya. Haji Misbach dibebaskan pada 22 Oktober 1919 dan langsung menjadi pemimpin Sarekat Hindia di Surakarta. Pergerakan Misbach menjadi lebih radikal. Ia banyak memimpin perlawanan buruh di sepanjang 1920 hingga akhirnya Sang Haji Merah kembali ditangkap dan dipenjara di Tarukan pada 16 Mei tahun itu.
Akhir Perjuangan
Pada 22 Agustus 1922, Haji Misbach dibebaskan dari penjara. Ia kembali ke rumahnya, tetapi hawa pergerakan di Surakarta sudah lesu. Misbach kemudian mengalami pertentangan dengan organisasi-organisasi Islam, termasuk Muhammadiyah, karena dinilainya munafik dan tidak keras melawan Belanda. Setelah itu, Misbach memilih berpindah haluan ke kubu komunis. Pada Maret 1923, Haji Merah pun memulai propagandanya sebagai bagian PKI dan Serikat Islam Merah.
Pada Juni 1923, Haji Misbach mendirikan PKI Surakarta. Namun, saat itu, Misbach tidak bisa leluasa bergerak karena selalu berada dalam pengawasan Belanda.
Inilah sebuah narasi tentang mubalig revolusioner, anti penjajahan dan penindasan, yang melabeli pengikut organisasi muslim seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam sebagai Islam lamisan. Tokoh ini, Haji Mohamad Misbach yang lebih dikenal dengan Haji Misbach atau Haji Merah (Surakarta, 1876–1926), dilahirkan di Kauman, di sisi barat alun-alun utara, persis di depan keraton Kasunanan dekat Masjid Agung Surakarta. Semasa kecil, dia bernama Ahmad, lalu berganti nama menjadi Darmodiprono setelah menikah. Dan usai menunaikan ibadah haji, barulah dia dikenal sebagai Haji Mohamad Misbach. Ayahnya adalah seorang pejabat keagamaan selain juga seorang pedagang batik yang kaya raya.