Ads
Jejak Islam

Menulis Qur’an (1): Berawal dari Kecemasan Umar bin Khathab

Ditulis oleh Panji Masyarakat

“Dalam peperangan Yamamah, para sahabat yang hafal Al-Qur’an telah banyak yang gugur. Saya khawatir akan gugurnya para sahabat yang lain dalam peperangan selanjutnya, sehingga mendesak kita segera mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berserakan,” kata Umar kepada. Abu Bakar, suatu hari.

“Mengapa aku akan melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Rasulullah?” jawab sang Khalifah.

“Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik,” jawab Umar.

Umar berulang kali menegaskan kata-katanya itu, sehingga membukakan pintu hati sahabat dekatnya itu. Abu Bakar setuju atas pendapat Umar. Ia lalu memerintahkan Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang telah mereka sepakati  itu.

Zaid tidak langsung mengiyakan. “Demi Allah! Ini adalah pekerjaan berat bagiku,” kata Zaid. “Seandainya aku diperintahkan untuk memindahkan sebuah bukit, maka hal itu tidaklah lebih berat bagiku daripada mengumpulkan Al-Qur’an yang engkau perintahkan itu!”

Semua terdiam. Muka Zaid serius. Ia berpaling kepada Abu Bakar dan Umar, dan erkata, “Mengapa kalian melakukan sesuatu yang tidak diperbuat oleh Nabi?”

Abu Bakar memotong, mengulangi jawaban Umar: “Demi Allah! Ini adalah perbuatan yang baik!”

Dengan menerangkan segi-segi kebaikan pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an itu, Abu Bakar berhasil meyakinkan Zaid. Maka, dimulailah pengumpulan ayat-ayat Kitab Suci umat Islam yang tercecer di daun-daun, tulang belulang, kulit binatang dan batu-batu.

Peristiwa itu terjadi hanya beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Al-Qur’an, saat itu, hanya dihafal. Padahal, banyak penghafal Al-Qur’an yang syahid dalam peperangan demi peperangan. Sementara, tradisi menulis dan usaha mendokumentasikannya belum ada. Inilah, mengapa Umar bin Khathab harus merasa khawatir.

Meski Al-Qur’an telah dikumpulkan dan digepit benang agar tidak berserakan, di masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, namun pembukuannya barulah dilakukan saat Pemerintahan Utsman bin Affan. Zaid bin Tsabit sendiri yang memimpin tim pembukuan Al-Qur’an itu menjadi lima buah mushaf. Empat di antaranya dibagi-bagikan ke Mekkah, Suriah, Basrah dan Kufah agar orang-orang menyalin pula daripadanya. Sisanya tetap dipegang Utsman di Madinah, sebagai mushaf al imam atau mushaf induk.

Kebangkitan Orang Arab

Ini adalah proses “kebangkitan”, di mana masyarakat (Muslim) Arab yang sebelumnya “anti” huruf tersentak untuk berlomba menulis mushaf-mushaf Al-Qur’an. Penulisan Al-Our’an Utsmani. adalah babak baru yang menghantar bangsa Arab dari “‘penghafal” syair kepada “penulis” ulung. Sebelum itu, : tulisan Arab tidak dikenal, bahkan tenggelam di antara tumpukan tulisan-tulisan besar dunia, seperti Hierogliph, Cina, aksara paku, Sanksekerta, Kuneiform, Kami No Moji dan lain-lain. Namun, sejak dicanangkannya Al-Qur’an sebagai ‘ “sumber inspirasi”, tulisan Arab terangkat ke tempat teratas dan menempati nilai seni yang tak terkejar.

Wahyu yang mula-mula diterima Muhammad SAW adalah ayat-ayat 1-5 Surat Al-Alaq, dan lazim disebut ayat-ayat iqra (baca) Perintah membaca dan menulis “dalam ayat-ayat Al-Qur’an tersebut membuka kesadaran bangsa Arab yang buta aksara, sekaligus membuktikan, bahwa perintah menuntut ilmu mendominasi tempat tertua dalam seluruh ajaran Islam. Secara perlahan, masyarakat (Muslim) Arab belajar mengeja dan menulis dari beberapa orang saja yang kenal tulisan, saat itu. Kebangkitan minat tersebut lebih terbuka lagi pada era kedua, ketika kaum Muslimin memenangkan peperangan Badar Kubra, tahun kedua hijriah. Para tawanan-musyrik yang miskin dan tidak kuasa membebaskan diri dengan tebusan, masing-masing diharuskan mengajari puluh pemuda Madinah membaca dan menulis “Akal” Muhammad Saw ini lebih penting dari segala hasil peperangan yang sebab hanya beberapa tahun saja sejak peristiwa itu para pemuda berdesakan minta diajari membaca dan menulis dari rekan-rekan mereka yang berguru kepada para tawanan Badar.

Bersambung

Penulis: Didin Sirojuddin AR, pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat sebelum total menjadi penulis dan pelukis kaligrafi dan dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia juga pendiri Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka) dan Pondok Pesantren Kaligrafi Lemka, Sukabumi, Jawa Barat.

Sumber: Panji Masyarakat, 1 Juni 1987

Penulis: Didin Sirojuddin AR, pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat sebelum total menjadi penulis dan pelukis kaligrafi dan dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah. Ia juga pendiri Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka) dan Pondok Pesantren Kaligrafi Lemka, Sukabumi, Jawa Barat.

Sumber: Panji Masyarakat, 1 Juni 1987

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda

Discover more from PANJI MASYARAKAT

Subscribe now to keep reading and get access to the full archive.

Continue reading