Inilah kiai yang menonjol dengan cap Kyai Merah, sejak ia berkiprah di forum-forum kiri, sebagai orang alim yang memadukan paham komunis dan Islam. Makam Kiai Misbach, yang pernah menjadi tokoh penting Sarekat Islam cabang Surakarta itu, akhirnya bisa ditemukan. Letaknya di pemakaman Fanindi. Letaknya di belakang kantor Telkom di jalan Merdeka, Manokwari.
Nor Hiqmah dalam H.M. Misbach: Sosok dan Kontroversi Pemikirannya (2000) mempertegas alasan Haji Misbach memerangi kapitalisme. Menurut pandangan Misbach, kapitalis merupakan kaum serakah yang menebar kezaliman dan kekejian. Sebagaimana keyakinannya, kaum-kaum tersebut harus diperangi. Saat tengah menyampaikan pemikirannya ini Misbach turut mengutip surat An-Nisa ayat 75 yang menyerukan anjuran berperang melawan kezaliman (h. 29).
Sebelumnya, menurut Hiqmah, Misbach juga pernah mengutarakan pemikiran serupa lewat surat kabar Islam Bergerak pada 1922. Misbach menggambarkan tentang terbelenggunya rakyat Indonesia yang mayoritas Islam akibat ulah kapitalisme dan imperialisme yang ia sebut penuh tipu muslihat.
Misbach kerap menyebut kecenderungan para penguasa feodal dan para polisi yang suka menindas rakyat kecil, sementara kelompok kapitalis menghisap tenaga para buruh tani. Hal ini menimbulkan kemiskinan terstruktur. Misbach percaya, seharusnya seorang Muslim dapat bersatu memerangi keburukan tersebut.
Penjajahan dan Ijtihad Misbach
Berbekal pandangan yang kemudian populer dengan sebutan Islam-Komunis, sejak 1923 Misbach muncul sebagai propagandis PKI dan SI merah yang efektif. Bahkan ia sempat naik podium untuk berorasi dalam kongres PKI/SI di Bandung dan Sukabumi pada Maret 1923. Misbach berargumen, sudah kewajiban seorang Muslim untuk mengakui hak-hak manusia, sama halnya dengan program-program komunis. Misbach juga yakin, dengan memilih jalan komunis siapa pun masih bisa menjadi seorang Muslim sejati.
Fikrul Hanif Sufyan dalam Menuju Lentera Merah: Gerakan Propagandis Komunis di Serambi Mekah 1923-1949 (2018) menuturkan orasi Misbach pada perhelatan kaum kiri tersebut menginspirasi para haji dari pulau seberang. Salah seorang haji yang terkagum-kagum mendengar pidato Misbach ialah Haji Datuk Batuah yang kemudian mendirikan Sarekat Rakyat di Padang pada November di tahun yang sama (h. 46).
Pada Juni 1924 Haji Misbach kembali ditangkap pemerintah kolonial atas tuduhan agitasi di wilayah Surakarta. Ia lantas dibuang bersama keluarganya ke Penindi, Manokwari. Meskipun terasingkan, perjuangan Misbach belumlah berakhir. Herman Hidayat mencatat bahwa di Manokwari Misbach justru lebih banyak berinteraksi dengan suku-suku pendatang lain. Bersama-sama, mereka membentuk komunitas Islam dan mendirikan masjid untuk beribadah. Selain itu, Misbach juga masih berjuang mengemukakan pemikirannya melalui beberapa surat kabar di Jawa yang pernah diampunya.
Menurut Mu’arif, selama dalam pembuangan Misbach berteman dengan Haji Muhammad Abu Kasim, pemilik perusahaan jasa pengiriman dari Ambon ke Manokwari. Melalui Abu Kasim, Misbach kerap memesan buku dan majalah yang diterbitkan organisasi-organisasi Islam modern di Jawa. Kuat dugaan, melalui Abu Salim pulalah Misbach mengirimkan tulisan-tulisannya.
Penelitian Nor Hiqmah menunjukkan tulisan bersambung Misbach yang berjudul “Islam dan Komunis” ditulis ketika ia berada dalam pengasingan di Manokwari. Tulisan tersebut dimuat secara berkala di Medan Moeslimin yang terbit berurutan sebanyak enam kali sepanjang tahun 1925. Sebelum meninggal di tahun 1926, Misbach sempat mengeluarkan tulisan terakhir. Tulisan berjudul “Nasehat” terbit di Medan Moeslimin dan berisikan pesan kepada rekan seperjuangannya agar tetap melakukan pergerakan melawan kezaliman berlandaskan agama. Masa penjajahan telah menstimulasi seorang Misbach menetapi sebuah ijtihad, yang istikamah menjadi garis perjuangannya. Sebuah praktik berislam sembari mengampanyekan komunisme zonder antiagama. (Bersambung)