Berbicara tentang dakwah Islamiah, kita akan dihadapkan pada persoalan sangat rumit. Sebagian besar umat Islam masih menganggap dakwah Islamiah itu, melulu tugas mubalig Padahal, apa yang disebut cakupan dakwah meliput seluruh bidang kehidupan, dalam dimensi masa kini, akan datang dan akhirat Kalau begini pemahamannya, dakwah hanya busa dilaksanakan manusia super Padahal, manusia super dengan kesanggupan demikian tidak mungkin ada lagi pada masa kini Dakwah Islamiah bersifat totalitas. Itu berarti harus melibatkan seluruh masyarakat, setiap individu wajib mengambil porsinya para dai hanyalah ujung tombak. Tapi kenyataannya ya seperti yang kita lihat, banyak para mubalig terpaksa menanggung sendiri beban dakwah itu, seperti tombak ajaiblah Mata tombaknya bergerak ke sana ke mari, tapi tidak ada gagangnya, udak ada orang atau tenaga yang mendorong atau melemparnya Hasilnya? Menyedihkan jauh lebih sedikit bisa dilakukan dibanding yang seharusnya.
Terus terang di samping sebagai dosen di ITB, saya sendiri masih sering melakukan perjalanan ke daerah untuk ceramah, berdakwah lisan, dan setiap berbicara dan melihat situasi da’-dai kita di daerah, tidak ada yang bisa diucapkan, selain masya Allah Hati telah keburu dihanyutkan luapan rasa sedih Mereka terpaksa mencoba melakukan keajaiban lagi, apa yang bisa mereka lakukan, terpaksa, demi Islam, demi umat. (Konsep sendiri, bekal sendiri, evaluasi sendiri dan risiko sendiri).
Di lain pihak, kita sering mendengar keluhan-keluhan tentang kualitas da’i kita, baik yang di kota-kota maupun di daerah-daerah transmigrasi (daerah terkebelakang). Da’i yang berdakwah pada masyarakat maju di perkotaan, itu tidak bisa berbicara sekedar dalam dimensi moral Mereka, kini, dituntut untuk menukik pada dimensi transendental Masyarakat jenis ini ‘kan masyarakat sangat kritis Jika hanya pada dimensi moral, bisa-bisa mereka berpikiran, kalau begitu Islam itu tidak ada apa-apanya, tidak punya kelebihan dibanding isme isme lainnya yang telah mereka ketahui. Pada masyarakat menengah di perkotaan, penekanan pada dimensi-dimensi moral sangat menarik mereka Masyarakat jenis In sangat merindukan prestasi, sehingga untuk itu, mereka berproses terus, trial and error. Sementara di daerah-daerah transmigrasi, apalagi daerah terkebelakang, dan daerah slum di perkotaan, ini lebih mengutamakan dakwah bil hal Lucunya, yang mereka butuhkan adalah dorongan kepada tindakan-tindakan riil meningkatkan taraf hidup: seperti pembangunan bendungan, cara bercocok tanam, pembuatan sarana transportasi pembangunan sekolah, dan kesempatan kerja Ini hajat riil mereka Tapi, umumnya. para dai yang datang, justru mengajari hal-hal abstrak, ya semacam sifat dua puluh itu, misalnya.
Dakwah Profesional
Apa pun definisi dakwah Islamiah itu sebenarnya tidak lebih dari mengefektifkan “hablum minan nas” dalam arah atau orientasi hablum minallah yang efisien. Jadi, masalah dakwah itu, ya juga masalah sosio kultural Institut dakwah itu, ya juga institut masalah-masalah sosio kultural. Hanya saja, harus sesuai dengan ajaran-ajaran Islam.
P.A. Sorokin, pengarang buku Social and Cultural Dynamics, menyimpulkan tiga buah komponen dari suatu sistem sosio kultural empiris yang hidup. Yaitu nilai-nilai atau ideal-ideal: sistem kausal dari sarana-sarana dan alat-alat empiris: dan tokoh-tokoh manusianya. mDari sini kita bisa melihat, dakwah itu juga harus profesional, kalau kita mau mengejar lingkup dakwah yang sebenarnya. Apa pun yang profesional itu, harus punya pijakan filsafat, teori, metoda, juklak, lembaga pengarah, berikut sarana-sarana, dan manusia-manusianya. Manusia-manusianya ini, bukan berarti para da’i saja, para da’i itu hanya pelaksana, pengejawantah, dari sejumlah paket out put dakwah yang dihasilkan, katakanlah oleh sebuah lembaga atau institut dakwah.
Nah, institut dakwah ini, harus memiliki sejumlah ahli dari berbagai disiplin ilmu. Mereka ini think tank-nya, lalu hasil dari mereka akan diolah mulai dari teori, menjadi metode sampai ke juklak oleh ahli lain yang ada di sana. Saya kira, untuk zaman sekarang kita sudah harus mulai menoleh pada socio-engineering demikian Lalu out put-nya nanti berupa sejumlah paket juklak yang berbeda-beda, sekalipun untuk suatu problem yang sama sesuai dengan situasi dan kondisi, latar-belakang kultural, ataupun berbagai kendala lainnya dari masyarakat yang akan didakwahi.
Saya lihat, sekarang, kita belum mengarah ke hal seperti itu. Masyarakat kita masih menganggap dakwah melulu tugas para dai. Padahal masalah dakwah di negara kita, jauh lebih kompleks daripada negara maju sekalipun. Umat Islam di Indonesia amat sangat majemuk Bukan hanya latar belakang kultural, suku atau adat istiadatnya. Peradaban di dunia ini sedang menuju peradaban gelombang ketiga. Umat Islam di perkotaan, yang high socrety, sudah mulai memasuki peradaban gelombang ketiga (sekarang gelombang keempat, Red) ini. Di setiap rumah, sudah terdapat lebih dari satu komputer berikut modemnya lalu antena DBS. Sementara pada level lain, kita lihat umat sedang menuju era industrialisasi, buruh-buruh pabrik, masyarakat komuter (ulang-alik) dari Bogor ke Jakarta, dari Bandung Selatan ke Bandung atau sebaliknya. Di pedesaan dan daerah-daerah transmigrasi, mereka tetap agraris, dan suku-suku terkebelakang mereka masih belajar “berbudaya”. Ini semua obyek dakwah Akan makin parah situasinya, jika dari sekarang tidak mulai kita pikirkan ikhtiar memprofesionalkan dakwah ini.
Dana? Jangan tambah beban para da’i dengan masalah yang satu ini Ini tugas para ahli ekonomi umat. Penulis bukan ahli ekonomi Yang jelas, pengaktifan Baitul Mal sudah perlu dipikirkan Penggalangan atau pendayagunaan sumber-sumber dana seperti zakat, memang seharusnya. Tetapi penulis pribadi, mengingat kondisi perekonomian kita sekarang, lebih melihat perlunya pembentukan jaringan antara pengusaha-pengusaha Muslim dan tentu saja konsumen-konsumen Muslim. Sebab terus terang, dalam keadaan lesu ekonomi sekarang, para pengusaha kita, bisa survive saja sudah hebat .
Ya itulah masalah dakwah Islamiah Begitu rumit, mendesak, dan menuntut keterlibatan kita semua Kalau kita benar-benar mau, masak tidak bisa mencari solusinya? Ayolah. Semoga
Penulis: Prof. Dr. KH Miftah Faridl, Guru Besar Universitas Islam Bandung (UNISBA), anggota Dewan Penasehat MUI Pusat. Pernah menjabat ketua MUI Provinsi Jawa Barat dan menjadi guru besar di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sumber: Panji Masyarakat, 1 Juni 1987.