Ketika menghadiri acara HUT PPP di Sriwijaya Hall Ice BCD City, Tangerang, Banten (17/2/2023), Presiden Jokowi meminta PPP meningkatkan perolehan kursinya di DPR. “Sekarang PPP punya 19 kursi. Artinya, target ke depan harus 100 persen lebih. Ini menurut saya bukan barang sulit. Lantaran PPP sudah berusia 50 tahun dan eksis sampai sekarang. Jaringan sudah ada, infra struktur sudah ada,” ujarnya.
Apa yang disampaikan Presiden Jokowi mengandung kritik yang cukup mendasar. Bagaimana mungkin sebuah partai yang memiliki “jam terbang” cukup tinggi tersebut menunjukkan tren yang makin merosot tiap pemilu
Perolehan suara dan kursi partai yang sekarang berlambang Kakbah ini paling terpuruk dibanding partai sezamannya, seperti Golkar, PDI ( sekarang PDIP). Bahkan dibanding partai-partai baru yang muncul setelah reformasi, PPP jauh ketinggalan.
Bisa dilihat pada perolehan kursi PPP pada pemilu 2019 dibanding partai lainnya yang muncul atau pertama ikut setelah reformasi dan ikut pada pemilu pertama 1999 pasca Orde Baru.
Pada pemilu 2019 PPP hanya memperoleh 19 kursi (4,5 persen) di DPR, sementara partai-partai yang baru muncul setelah Reformasi berada di atasnya. Misalnya PAN 44 kursi (6,8 persen), Gerindra 75 (12,5 persen), Nasdem 59 (9 persen), Partai Demokrat 54 (7,7 persen), PKB 58 (9, 69 persen) dan PKS 50 (8,2 persen).
Tren menurunnya suara PPP ini juga diprediksi lembaga survei pada pemilu mendatang. Lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SRMC ) misalnya meramalkan suara PPP akan datang berada di bawah 4 persen, tepatnya hanya 2, 9 persen. Kalau ini terjadi tentu PPP harus keluar dari Senayan, karena tidak mencapai ambang batas 4 persen (parlementary threshold).
Melihat kecenderungan di atas sudah saatnya PPP berbenah diri dan tentunya lebih dekat dengan masyarakat, terutama menjaga kesetiaan massa pemilihnya. Dan, PPP harus menunjukkan independensinya, meski PPP ternasuk dalam koalisi pemerintah. Yaitu, tetap menyuarakan kepentingan rakyat dan melakukan peran kontrol terhadap eksekutif.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan perlunya ada kekompakan di kalangan elit pemimpin PPP. Misalnya, saat ini PPP dipimpin oleh Plt. Muhammad Mardiono, karena Ketua Umum Suharso Monoarfa diberhentikan oleh Mahkamah Partai. Lemahnya keutuhan dalam kepemimpinan partai ini membuat citra PPP negatif di mata masyarakat. Bahkan ditinggalkan oleh kader-kader potensialnya sendiri. Ditambah pula dua orang mantan ketua umumnya Suryadharma Ali dan Romahurmuzy digelandang masuk penjara oleh KPK. Romahurmuzy alias Romy kini mengisi jabatan yang ditinggalkan Mardiono, yaitu ketua Dewan Pertimbangan Partai. Aneh juga, pemimpin partai yang nyaris menyebabkan PPP gagal ke Senayan, dipercaya kembali untuk jadi pimpinan partai.
Setengah abad usia PPP saatnya introspeksi diri untuk lebih dicintai masyarakat dan rakyat. Sebagai partai Islam, tentu PPP harus lebih dekat dengan ulama, khususnya ulama yang jadi panutan umat.