Ads
Cakrawala

Optimalisasi Zakat di Negeri Paling Dermawan Sedunia

Avatar photo
Ditulis oleh Iqbal Setyarso

Indonesia, negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, pantas kalau layak diperhitungkan. Meskipun bukan negeri berpenduduk majoritas berpenduduk pengguna bahasa Arab, namun dalam sejumlah hal, inovatif dalam praktik keagamaan (Islam) dibandingkan negeri-negeri Timur Tengah dan negeri muslim lainnya. Inisiatif praktik keislaman, amat maju. Bahkan dalam soal kedermawanan, Indonesia pernah diapresiasi World Giving Index 2022 sebagai negeri paling dermawan – sedunia, capaian itu tidak diraih negara kaya (karena kekayaan alamnya) di Timur Tengah atau negara lainnya. Juga bukan ditunjukkan negara-negara Eropa, tetapi diekspresikan oleh negara di Asia, tepatnya Indonesia. Kedermawanan itu hanya memperlihatkan, selain faktor kedermawanan rakyatnya, Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan banyak lembaga sosial –dan dari lembaga-lembaga sosial itu, yang amat menonjol –bertumbuhnya lembaga amil zakat.

Secara kuantitas warga negara Indonesia mayoritas beragama Islam. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), jumlah penduduk muslim di Indonesia sebanyak 237,53 juta jiwa per 31 Desember 2021. Jumlah itu setara dengan 86,9% dari populasi tanah air yang mencapai 273,32 juta orang. Posisi kedua ditempati oleh penduduk beragama Kristen sebanyak 20,45 juta jiwa. Sebanyak 8,43 juta penduduk Indonesia beragama Katolik.  Kemudian, penduduk Indonesia yang beragama Hindu dan Buddha masing-masing sebanyak 4,67 juta jiwa (1,71%) dan 2,03 juta jiwa (0,74%). Penduduk yang memeluk agama Konghucu sebanyak 73.635 jiwa.  Sementara, ada 126.515 penduduk Indonesia yang menganut aliran kepercayaan. Proporsinya hanya 0,05% dari total penduduk Indonesia. (https://dataindonesia.id/ragam/detail, 29 November 2022, diakses Rabu, 15 Februari 2023).

Capaian itu terkonfirmasi dari penobatan Indonesia sebagai peraih penghargaan World Giving Index/WGI yang digelar Charities Aids Foundation(CAF) berdasarkan World Giving Index (WGI). Dalam index tersebut, Indonesia meraih nilai total sebanyak 68 persen. Angka ini jauh lebih tinggi daripada kedermawanan global sebesar 62 persen. Persentase tersebut setidaknya didapatkan melalui tiga dimensi, yaitu persentase pemberian bantuan terhadap orang asing, tingkat beramal atau donasi, dan persentase kegiatan kerelawanan. Secara keseluruhan, ketiga dimensi ini di Indonesia memiliki nilai yang lebih tinggi daripada rata-rata global. (tempo.co., 27 Oktober 2022, diakses Senin, 13 Februari 2023)

Dikutip dari situs filantropi.or.id, Direktur Filantropi Indonesia, Hamid Abidin, menyampaikan bahwa setidaknya terdapat empat alasan Indonesia mampu bertahan sebagai negara paling dermawan selama lima tahun berturut-turut (sejak 2018). Pertama, Hamid menyebut bahwa tingkat kedermawanan di Indonesia berhubungan erat dengan pengaruh ajaran agama dan tradisi lokal terkait kegiatan memberi dan membantu sesama. Bahkan CAF turut menuliskan bahwa sumbangan berbasis agama, seperti zakat, infak, dan sedekah menjadi pendorong utama kegiatan kedermawanan di Indonesia.


Kedua, Kondisi ekonomi yang relatif lebih baik dibandingkan negara-negara lain. Harus diakui pandemi memukul sektor ekonomi yang juga berdampak pada daya beli dan kapasitas menyumbang masyarakat. Namun, dibandingkan negara-negara lain, kebijakan penanganan COVID-19 di Indonesia dinilai lebih baik sehingga tidak berdampak buruk pada kondisi ekonomi. WGI mencatat beberapa negara yang salah menerapkan kebijakan penanganan pandemi posisinya dalam WGI merosot dibanding sebelumnya karena berdampak pada sektor ekonomi dan kapasitas menyumbang masyarakat.


Ketiga, Pegiat filantropi di Indonesia relatif berhasil dalam mendorong transformasi kegiatan filantropi dari filantropi konvensional ke digital. Berbagai kendala dalam penggalangan donasi di masa pandemi karena adanya pembatasan interaksi dan mobilitas warga berhasil diatasi sehingga tidak terlalu berpengaruh pada kegiatan filantropi. Hal ini ditandai dengan peningkatan jumlah donasi di lembaga-lembaga filantropi yang menggunakan platform digital, khususnya pada saat pandemi


Keempat, meningkatnya peran dan keterlibatan kalangan muda dan key opinion leader/ influencer dalam kegiatan filantropi. Keterlibatan mereka membuat filantropi bisa dikemas dan dikomunikasikan dengan popular ke semua kalangan, khususnya anak muda. (filantropi.or.id, 15 Juni 2021, diakses Senin 13 Februari 2023)


Alasan pertama yang juga menjadi paparan CAF (Charities Aids Foundation), menyatakan bahwa sumbangan berbasis agama, seperti zakat, infak, dan sedekah menjadi pendorong utama kegiatan kedermawanan di Indonesia.


Secara ringkas bisa kita katakan, 73 tahun setelah Indonesia merdeka (1945-2018) secara fenomenal bangsa Indonesia dengan kedermawanannya seakan unjuk rasa syukur telah dikaruniai Allah nikmat hidup dalam alam merdeka.

SAI, sebuah Capaian

Membincang perzakatan nasional Indonesia, perlu dirunut dari penelusuran organisasi dan tatakerja pengelolaan zakat di Indonesia hari ini sepenuhnya mengacu pada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang tersebut merupakan pengganti Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat yang sebelumnya menjadi landasan hukum pengelolaan zakat di Indonesia. (BAZNAS, 2017)

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 secara spesifik mengamanatkan Badan Amil Zakat Nasional (BASNAS) sebagai pelaksana utama dalam pengelolaan zakat di Indonesia dan pemerintah mendapatkan fungsi sebagai Pembina dan pengawas terhadap pengelolaan zakat yang dilakukan oleh BAZNAS. Perubahan regulasi tersebut secara substantif telah mengubah suatu sistem pengelolaan zakat di Indonesia. Sistem pengelolaan zakat berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 akan tampak jelas dalam penjelasan tata kerja pengelolaan sebagai berikut:

Dalam memberikan penjelasan operasional terhadap Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut, BAZNAS mendapatkan kewenangan tambahan di luar fungsi pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat.

Terkait dengan Standar Kompetensi Kerja Khusus Bidang Pengelolaan Zakat (SKKK) tentang Pengelolaan Zakat, dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna, zakat harus dikelola secara melembaga sesuai dengan syariat Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi, dan akuntabilitas sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat. Maka untuk mewujudkan hal tersebut, Lembaga Amil Zakat harus memperkuat dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memiliki kualitas dan kompetensi yang handal pada jabatannya. Untuk itu sangat perlu ditetapkan standar yang merupakan pernyataan keterampilan, pengetahuan dan sikap kualitas kerja yang ditetapkan dalam rangka pemenuhan persyaratan standar industri.

Standar Kompetensi Kerja Khusus (SKK) ini dikoordinasikan oleh Forum Zakat (FOZ) dan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Keuangan Syariah bersama pihak-pihak terkait dan berkepentingan, dan disusun untuk menyediakan sebuah pedoman yang baku dan dapat diaplikasikan dalam rangka memenuhi kebutuhan meningkatkan kualitas kerja, dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan berkepentingan.

Maka selanjutnya dalam dokumen Standar Kompetensi Kerja Khusus (SKKK) Amil Zakat, dimuat penjelasan mengenai sejumlah pengertian, sedikitnya ada delapan hal dalam pengertian, yaitu: 1. Zakat: adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam; 2. Amil Zakat: adalah pihak yang bertindak mengerjakan yang berkaitan dengan pengumpulan, penyimpanan, penjagaan, pencatatan, dan penyaluran atau distribusi harta zakat; 3. Lembaga Amil Zakat: yang selanjutnya disebut Lembaga adalah Lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunan zakat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat; 4. Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP): adalah lembaga pelaksana sertifikasi kompetensi kerja yang mendapat lisensi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP); 5. Muzaki: adalah seorang muslim atau badan usaha yang berkewajiban menunaikan zakat; 6. Mustahik: adalah orang yang berhak menerma zakat; 7. Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT): adalah pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme; 8. Tata kelola: adalah tata kelola yang menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan (transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban (responsibility), independensi (independency) dan kewajaran (fairness). (FOZ, 2017)

Keunggulan: Branding and Positioning

SAI (Sekolah Amil Indonesia) bak “sekolah kedinasan” bagi para amil Indonesia. Dilahirkan oleh Forum Zakat –asosiasi amil– SAI memiliki keunggulan sebagai konsekuensi dari eksistensinya dari institusi yang dilahirkan Forum Zakat Nasional.

Sebagai sebuah asosiasi organisasi pengelola zakat (dalam undang-undang, ada dua macam organisasi perzakatan: yang diinisiasi masyarakat dan yang dibentuk negara. Yang pertama yang diininisiasi masyarakat – kemudian menjadi Badan Hukum disebut Lembaga Amil Zakat (LAZ); dan yang dibentuk pemerintah dan proses penetapan komisionernya dilakukan di tingkat pusat (Badan Amil Zakat Nasional/BAZNAS Pusat)) dan melalui assessment DPR-RI dan di daerah Kabupaten/kota melalui assessment DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II (Badan Amil Zakat Nasional Daerah).

Sebagai pioneer perzakatan, FOZ Nasional yang menginisiasi SAI, seperti dikemukakan Nur Efendi, Ketua FOZ Nasional periode 2015-2018, kehadiran SAI –seiring kian maraknya kedermawanan, terutama kedermawanan muslimin di Indonesia, secara otomatis menjadikannya sebagai aktivitas branding. Sebagaimana disampaikan Ketua FOZ Nasional dua periode (2018-2021, 2021-2023), Bambang Suherman, “Tadinya, SAI akan menjadi entitas independen di luar FOZ, namun pada kenyataannya, LAZ nampaknya lebih terlihat memiliki kebutuhan pada edukasi (lembaga) amil, karena itu saya pertahankan keberadaannya di dalam FOZ.” Dengan demikian, SAI tetap eksis sebagai unit aktivitas unggulan FOZ. Bagi pegiat zakat, benar, bahwa SAI bak “sekolah kedinasan” yang mentransformasi perspektif keamilan.

Pada gilirannya, bisa saya katakan, secara formal karena lahir dari asosiasi praktisi perzakatan, wadah yang secara praktis melakoni kesehariannya mengelola zakat, hal itu membawa konsekuensi logis sehingga SAI melakukan branding yang secara gradual terus memperbaiki performanya, sampai institusi regulator (Kementerian Agama RI) melibatkannya untuk mengkurasi Standar Kompetensi Kerja Khusus (SKKK) Amil Zakat.

Secara positioning SAI memiliki tiga keunggulan, sebagaimana dikemukakan Nur Efendi, Ketua Umum FOZ Nasional (2015-2018): pertama, SAI sekolah amil pertama di dunia; kedua, kurikulumnya bisa diadopsi oleh berbagai lembaga filantropi; ketiga, menjadi pendorong peningkatan kapasitas lembaga zakat dan filantropi.

Keunggulan itu menjadikan kebutuhan insan perzakatan memiliki rasa butuh untuk edukasi dan pembelajaran dari SAI. Seiring kebutuhan itu, sebagai instusi yang dilahirkan FOZ, sudah pasti menjadikan SAI melahirkan konsekuensi logis dari keberadaannya: pertama, SAI bisa memiliki tenaga-tenaga terbaik perzakatan; kedua, dengan demikian SAI memiliki kompetensi mentransformasi skill and knowledge perzakatan; pada gilirannya SAI juga meraih trust dari user-nya (pada umumnya anggota FOZ, juga Badan Amil Zakat Nasional baik dari tingkat pusat maupun dari daerah-daerah).

Indonesia dan Perzakatan

Dalam buku yang dikata pengantari Ketua Umum BAZNAS (periode 2015-2020), Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA, CA, beliau menyebutkan,”Karya dengan kemasan bahasa popular dan berbasis data ini memiliki peran strategis dalam media sosialisasi dan pengarahan kepada ummat untuk senantiasa menngkatkan ketakwaan, khususnya melaksanakan perintah kewajiban zakat. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat disebutkan bahwa salah satu azas pengelolaan zakat adalah berazaskan syariat Islam. (Emmy Hamidiyah, et.al., BAZNAS).

Pada bagian lain pengantarnya beliau juga mengatakan,”Alhamdulillah, penjabaran dan capaian-capaian luarbiasa yang tertuang dalam rencana strategis sudah bisa diraih. Secara umum, renstra BAZNAS tercapai, bahkan terlampaui. Dari sisi pengumpulan tercapai, dari sisi pendistribusian dan pendayagunaan juga tercapai. Kemudian dari sisi koordinasi zakat nasional juga tercapai.

Buku ini menginformasikan, bahwa ada fase zakat pernah dijalankan sebagai ijtihad manajemen dari political will Dompet Dhuafa menggabungkan diri ke dalam BAZNAS (2006-2007). Inisiatif ini bukan tanpa kekurangan, Sekjen World Zakat Forum periode 2004-2017, Dr. Ahmad Juwaini, MM, mengatakan, “Akan tetapi BAZNAS tidak pernah sekalipun membentuk lembaga program terkait penyaluran. Ada kelebihan dan kekurangan antara menyalurkan program secara langsung dengan membentuk lembaga program. Kelebihan menyalurkan ZIS langsung kepada mustahik adalah hak untuk mustahik semua tersalurkan tanpa mengurangi biaya operasional lembaga penyalur. Kelemahannya adalah keterbatasan jangkauan layanan dan kreativitas program pendistribusian dan pendayagunaan, Selain itu, keberhasilan penyaluran langsung sulit diukur karena bersifat terserak, reaktif sesuai permohonan, dan tindak lanjut yang tidak termonitor. Alhasil, penyaluran ZIS secara langsung dari BAZNAS tidak begitu terlihat di ruang publik. Salah satu dampaknya, BAZNAS terkendala untuk membuat klaim ke publik bahwa bentuk-bentuk penyaluran langsung selama in merupakan bagian dari program distribusi dan pendayagunaan BAZNAS. Padahal keterbukaan dan kejelasan dalam penyaluran kepada mustahik perlu bagi publik dan juga BAZNAS. BAZNAS dalam hal ini berkepentingan dengan branding lembaga, sebagai satu ikhtiar atau proses meraih trust publik. (ibid, 109-110)

KH Didin Hafidhuddin (mangan Ketua Umum BAZNAS dua periode, 2005-2015), menulis,”Untuk mengoptimalkan peran zakat di Indonesia, ada lima hal yang perlu dilakukan oleh BAZNAS dan lembaga pengelola zakat. Pertama, edukasi dan sosialisasi bahwa zakat itu ibadah yang sangat menentukan kualitas kehidupan kita. Bukan semata-mata melaksanakan perintah Allah tapi juga bukti cinta kita kepada Allah. BAZNAS perlu menyiapkan bahan-bahan edukasi bagi masyarakat tentang zakat, misalnya materi khutbah Jumat dan berbagai metode yang lain. Juga edukasi kepada lembaga resmi. Kedua, menjadikan BAZNAS lembaga yang trustable, yang kuat yang bisa dipercaya, SDM-nya bagus, demikian juga bagus dalam sistem teknologi informasi informasi dan pelaporan. Alhamdulillah, BAZNAS semakin baik dan dipercaya masyarakat. Ketiga, orogram pendistribusian dan pendayagunaan harus memberikan manfaat dalam jangka panjang bagi peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan ekonomi mustahik. Keempat, mendorong regulasi yang mendukung, misalnya regulasi tentang pajak. Misalnya, zakat mengurangi pajak secara langsung. Kelima, sinergi harus dilakukan dengan berbagai simpul umat, lembaga Islam, organisasi dakwah, MUI, sekolah-sekolah Islam sehingga gerakan zakat menjadi gerakan masyarakat; bukan hanya gerakan BAZNAS mengingat yang merasakan manfaatnya juga masyarakat luas. (ibid, 159)

Potret BAZNAS dalam periode 2015-2020, secara agregatif membukukan capaian Rp 385.242.595.029 dengan penerima manfaat berjumlah 1.500.651. (di capture dari ilustrasi website baznas.co.id). Situs itu juga menulis, pada masa pendemi 2020, penghimpunan BAZNAS naik 30 persen. Tidak terpublikasi jumlah pencapaian agregatif lembaga amil zakat (LAZ), karena tidak ada kepentingan khusus menghitung angka pencapaian LAZ para anggota FOZ. Yang pasti, baik pengelola zakat LAZ maupun pengurus BAZNAS di tingkat Pusat, Provinsi, maupun kabupaten /kota, sama-sama memiliki kebutuhan untuk memperoleh asupan transformasi pengetahuan perzakatan dari SAI. Dengan dibentuknya SAI, baik pelaku manajemen zakat LAZNAS, LAZ Daerah di tingkat provinsi, kabupaten/kota maupun BAZNAS di tingkat Pusat, Provinsi, kabupaten/kota memiliki urgensi membangun kapasitasnya, memutakhirkan pengetahuannya tentang how to manage zakat. Sejauh ini, sebagai institusi edukasi zakat di Indonesia, pertama dan satu-satunya: SAI.

Dalam perbincangan internal FOZ di Jakarta, awal Januari 2023, sah satu pengurus FOZ mengatakan, SAI dan tingginya kebutuhan edukasi SAI, harus ada will dari FOZ untuk memberi mandat agar transformasi pengetahuan perzakatan yang komprehensif bisa dilakukan di daerah-daerah. Bisa dengan mendistribusi penaga pengajar yang sudah certified, atau menghadirkan praktisi yang sesuai didampingi para associate experts.

Sejak beraktivitas SAI menjadi garda terdepan edukasi zakat. Dengan massifikasi gerak transformasi ilmu pengetahuan perzakatan, SAI amat diuntungkan karena keberadaannya dibentuk FOZ Nasional, kondisi yang menjadikannya memiliki branding sekaligus positioning. Sebuah hikmah istimewa dibanding institusi semacamnya, bahkan dibanding sekolah kedinasan sekalipun. Memperoleh edukasi di SAI, bisa dipersepsi sebagai kebahagiaan tersendiri: mempelajari prosesnya sama-sama berpahala, baik yang mengajar, yang belajar, yang mengorganisasikannya. SAI “dikepung” kebaikan dari semua sisinya. Hanya satu kata untuk SAI: barakallah.

Tentang Penulis

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda