Ads
Aktualita

Satu Abad NU: Dinamika Politik Kaum Nahdliyin (4)

Ditulis oleh Abdul Rahman Mamun

Muktamar NU ke-27 di Situbondo 1984 menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk sah dan final dari cita-cita seluruh rakyat, termasuk umat Islam, untuk mendirikan negara di Nusantara. Dengan ketetapan ini NU berhasil meletakkan dasar-dasar sintesis hubungan Islam dan negara yang menjadi perdebatan sejak Indonesia merdeka. NU juga menerima Pancasila sebagai ideologi negara yang tidak bertentangan dengan Islam. Tonggak-tonggak ijtihad inilah yang menjadi kunci untuk meneropong respons-respons NU terhadap diskursus kebangsaan yang berlangsung sesudahnya. Pada titik ini, kesepakatan dan kesepahaman antar ulama dalam menjembatani antara Islam dan negara merupakan pemikiran politik modern dan progresif. Artikel menyambut Satu Abad NU ini adalah bagian terakhir dari 4 tulisan berseri. Selamat membaca.

NU, NKRI dan Pancasila
Pada perjalanan politiknya NU menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan Pemerintah Orde Baru yang menghendaki penyederhanaan partai politik. Periode dari tahun 1973 hingga 1984 secara eksplisit NU berpolitik praktis dalam partai politik. Namun pada 1984 NU mendeklarasikan diri telah memasuki ke tujuan semula yang disebut Khittah 1926, kembali sebagaimana saat didirikan, yaitu sebagai organisasi sosial keagamaan (Zuhri, 1981: 623). Hal itu merupakan keputusan Muktamar NU di Situbondo, di mana NU tidak secara langsung terjun berpolitik praktis.


Mutkamar NU ke-27 di Situbondo 1984 juga menetapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai bentuk sah dan final dari cita-cita seluruh rakyat, termasuk umat Islam, untuk mendirikan negara di Nusantara, serta menerima Pancasila sebagai ideologi negara. NU menjadi organisas kemasyarakatan Islam yang memelopori penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi. Sikap ini dirumuskan dala Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yang beri lima poin: (1) Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama; (2) Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut Pasal 29 ayat ( Undang-Undang Dasar 1945, yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam; (3) Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antarmanusia; (4) Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dari umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya; (5) Sebagai konsekuensi dari sikap di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.” (PBNU, 1984: 50-51).


Berdasarkan deklarasi di atas, keterlibatan NU dalam kehidupan politik lebih diwarnai oleh motivasi keagamaan, bukan atas upaya memperebutkan jabatan politik formal. Karena itu, keterlibatan NU dalam politik pada dasarnya merupakan jawaban atas pemikiran politik NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang didasari oleh semangat keagamaan. Pemikiran politik NU tidak bersifat statis dan dogmatis, melainkan dinamis sesuai dengan perkembangan zaman (Musa, 2011: 6). Dengan keputusan ini NU berhasil meletakkan dasar-dasar sintesis hubungan Islam dan negara, yang ditandai dengan penerimaannya terhadap kebijakan asas tunggal Pancasila. Tonggak-tonggak ijtihad ini menjadi kunci untuk meneropong respons-respons NU terhadap diskursus kebangsaan yang berlangsung sesudahnya,


Ketika muncul kesepakatan di NU bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam, maka mereka menyimpulkan bahwa ideologi Pancasila sangat layak dijadikan ideologi negara. Pada titik ini, kesepakatan dan kesepahaman antar ulama dalam menjembatani antara Islam dan negara merupakan pemikiran politik modern dan progresif. Mereka lalu menempatkan Islam pada tataran keyakinan sedangkan cara pandang NU dalam konteks pemikiran politik menjadi reformatif dan progresif dalam merespon perkembangan zaman, khususnya dalam konteks keindonesiaan (Izad, 2919).

NU Melahirkan Partai Politik Pasca-Reformasi 1998
NU yang sejak 1984 kembali ke Khittah 1926 dengan tidak berpolitik praktis namun sebagai organisasi Islam tradisionalis terbesar di Indonesia tidak mungkin menghalangi warganya untuk berpolitik. Pada Muktamar NU XVIII di Krapyak Yogyakarta tahun 1989 dicetuskan sembilan butir pedoman berpolitik warga NU yaitu sebagai berikut (PWNU Jawa Timur, 2022):

  • Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama berarti keterlibatan warga Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945
  • Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan, dan menuju integrasi bangsa dengan langkah- langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama yaitu terwujudkan masyarakat yang adil lahir dan batin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan diakhirat
  • Politik bagi warga Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama
  • Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa, berkepribadian yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh permusyawaratan perwakilan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
  • Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstusional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama
  • Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam ahlussunnah wal jama‟ah
  • Berpolitik bagi warga Nahdlatul Ulama dengan dalil apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan
  • Perbedaan pandangan diantara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadhu, dan menghargai antara yang satu dengan yang lain, sehingga dalam politik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan lingkungan Nahdlatul Ulama‟
  • Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampuelaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat, menyalurkan aspirasi dalam pembangunan.


Ketika konstalasi politik mengalami perubahan besar pasca-Reformasi 1998, NU membidani lahirnya Partai Kebangsaan Bangsa (PKB) sebagai sarana politik bagi warga NU, meskipun PKB dinyatakan sebagai partai terbuka dan bersifat kebangsaan. PKB yang dideklarasikan bersama oleh KH Abdurahman Wahid yang waktu itu berposisi sebagai Ketua Umum PBNU dengan para tokoh NU baik yang sebelumnya aktif di PPP maupun di luar itu. Kelahiran PKB dengan dibidani oleh NU adalah karena desakan warga nahdliyyin agar NU mendirikan partai . Semula KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, prihatin bahwa banyak kelompok-kelompok NU yang ingin mendirikan partai politik, sementara sejak 1984 NU sudah Kembali ke Khittah 1926, tidak lagi menjadi partai politik atau terjun ke politik praktis. Menurut Gus Dur saat itu desakan agar NU Kembali menjadi partai politik terkesan mengaitkan agama dan politik partai. 


Namun, sikap Gus Dur berubah pada akhir Juni 1998 dan bersedia menginisiasi kelahiran parpol berbasis Ahlussunnah Waljamaah, namun NU tetap menjadi jamiyyah atau organisasi social keagamaan, bukan menjadi partai politik. Deklarasi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dilaksanakan di Jakarta pada 23 Juli 1998, dengan dukungan deklarator lainnya, yaitu KH Munasir Ali, KH Ilyas Ruchiyat, KH A Mustofa Bisri, dan KH A Muchith Muzadi.  PKB bersifat kejuangan, kebangsaan, terbuka, dan demokratis. Sehingga meskipun berbasis NU, PKB juga beranggotakan orang-orang yang berasal dari luar NU, bahkan beberapa kader memiliki latar belakang agama yang bukan Islam.


Pada Pemulu 1999 PKB memperoleh 51 kursi di DPR dan dalam Pemilihan Presiden di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) KH Abdurahman Wahid terpilih Presiden RI. Meskipun dinamika politik reformasi menjadikan KH Abdurrahman Wahid berhenti sebagai Presiden RI ke-4 karena dimakzulkan melalui Sidang Istimewa MPR (Hidayat, 2014: 250).


Pemikiran politik NU untuk sampai pada keputusan tidak sebagai partai politik, tetapi membidani lahirnya Partai Kebangsaan Bangsa (PKB) sebagai partai politik yang terbuka bagi siapa saja di luar warga NU, bahkan non-muslim merupakan bentuk pemikiran yang berpegang teguh pada prinsip Ahlussunnah Waljamaah (Sunni), yakni sikap tawasuth (moderat) tidak eksklusif, dan tasamuh (toleransi) menerima perbedaan dari mana pun datangnya anggota partai politik tersebut.

Daftar Pustaka
Aboebakar, Sejarah Hidup KH.A Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar .Jakarta: Panitia Buku Peringatan Almarhum KHA Wahid Hasyim 1957.
As’ad Said Ali, Tradisionalisme NU, artikel opini pada lama Naudlatul Ulama nu.or.id, 5 Maret 2014: https://www.nu.or.id/opini/tradisionalisme-nu-GzdBA
Asep Ahmad Hidayat dkk, Studi Islam di Asia Tenggara, Bandung: Pustaka Setia, 2014..
Barton, G. (1994). The Impact of Neo-modernism on Indonesian Islamic Thought: The Emergence of a New Pluralism. In D. Bourchier and J. Legge (Eds.), Democracy in Indonesia: 1950s and 1990s (pp. 143–150). Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University.
Bruinessen, Martin van , Traditionalist Muslim in A Modernizing World : The Nahdlatul Ulama Ana Indonesian’s New Order Politics, Fictional Conflict, and The Search for a New Discourse, diterjemahkan oleh Farid Wajidi dengan judul “NU : Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta : LKiS, 1994.
Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, Duta Aksara Mulia, 2010
Fathoni, Penjelasan KH Wahab Chasbullah soal Waliyyul Amri Dharuri Bissyaukah, lama resmi PBNU nu.or.id ,Senin, 17 September 2018, tautan https://www.nu.or.id/fragmen/penjelasan-kh-wahab-chasbullah-soal-waliyyul-amri-dharuri-bissyaukah-otvjN
Ismail, Faisal. The Nahdlatul Ulama Its Early History and Contribution to the Establishment of Indonesian State, Journal of Indonesian Islam, IAINSunan Ampel Surabaya – Indonesia, Vol 05, No. 02 November 2011.
K.H. Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyah. Surabaya: Balai Buku, 1979.
PBNU, 1984, Keputusan Muktamar NU ke-27, Nadhatul Ulama kembali ke Khittah 1926 (Bandung: Penerbit Risalah).
Khamami Zada & A. Fawaid Sjadzili, Nahdlatul Ulama: Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010).
M. Dawam Rahardjo, “Nahdlatul Ulama dan Politik” dalam buku yang ditulis oleh Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama; Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif, (Jakarta: LP3ES, November 2004),
M.A. Aziz, Japan’s Colonialism and Indonesia . The Hague: Martinus Nijhoff, 1955.
Marjorie Kelly (ed.), Islam: The Religious and Political Life of a World Community. New York: Praeger, 1981.
Musa, Ali Masykur, Nasionalisme di Persimpangan: Pergumulan NU dan Paham Kebangsaan Indonesia, Penerbit Erlangga, 2011.
Noer, Deliar, The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1973.
Noer, Deliar. Partai Islam di Pentas Nasional. Jakarta: Grafiti Press, 1987.
Nur Khalik Ridwan, ENSIKLOPEDIA KHITTAH NU 1 : Sejarah Pemikiran Khittah NU, Yogyakarta: Diva Press, 2020.
Nur Khalik Ridwan, Muktamar NU 1936 dan Makna Indonesia sebagai Darul Islam, laman NU Online, 23 November 2016. tautan: https://www.nu.or.id/opini/muktamar-nu-1936-dan-makna-indonesia-sebagai-darul-islam-bAeee
Ridwan, Paradigma Politik NU: Relasi Sunni-NU dalam Pemikiran Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004,
Rohmatul Izad, Benarkah NU Kelompok Islam Tradisionalis yang Anti Modernitas? artikel di laman Islami.co 1 Februari 2019. tautan https://islami.co/benarkah-nu-kelompok-islam-tradisionalis-yang-anti-moderenitas/
Saifuddin Zuhri, K.H. Abdul Wahab Hasbullah: Bapak dan Pendiri Nahdlatul Ulama. Jakarta: Yamunu,1972.
Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: PT Al-Ma‟arif, 1981.
Situs Web PWNU Jawa Timur, Ini Sembilan Pedoman Berpolitik Warga NU, disiarkan 14 September 2020 diakses 12 September 2022 pada link https://jatim.nu.or.id/rehat/ini-sembilan-pedoman-berpolitik-warga-nu-1V5Xj
Slamet Effendy Yusuf et al, Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak dan Pergolakan Internal NU. Jakarta: CV Rajawali, 1983.
Solichin Salam, K.H. Hasyim Asy’ari: Ulama Besar Indonesia. Jakarta: Jaya Murni, 1963.

Credit foto: nu.or.id

Tentang Penulis

Abdul Rahman Mamun

Penulis, dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina dan communication strategist. Komisioner dan Ketua KIP (Komisi Informasi Pusat) RI periode 2009-2013. Meraih gelar S2 Magister Ilmu Politik di FISIP UI sebagai Lulusan Terbaik. Lulus S1 Teknik Sipil UGM dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mengawali karir sebagai wartawan dan Redaktur Pelaksana Majalah Panji Masyarakat, jurnalis MetroTV dan producer ANTV, menjadi CEO Magnitude Indonesia, konsultan keterbukaan informasi dan strategi komunikasi, Direktur Utama dan Wakil Pemimpin Umum Panji Masyarakat. Menulis buku, artikel media, jurnal ilmiah dan pembicara di berbagai forum.

Tinggalkan Komentar Anda