Ads
Aktualita

HMI 76 Tahun: Berharap Kembali Bangkit di Era Digital

Avatar photo
Ditulis oleh Arfendi Arif

Pekan ini para mantan aktivis HMI beredar di media sosial, menggunakan twibbon Milad HMI 76. Rupa-rupa penampilan mereka, mulai dari yang santai sampai yang menggunakan atribut partai. Alumni organisasi berasakan Islam ini memang menyebar di mana-mana dalam pelbagai sektor kehidupan. Dan bila orang menyebut nama HMI yang terbayang adalah kelompok orang terdidik, kaum terpelajar, akademisi,  birokrat dan tentu juga adalah organisasi kaum muda pejuang. Sebab, organisasi terpelajar Islam yang didirikan Lafren Pane 5 Februari 1947 ini pernah terlibat konflik dengan PKI tahun 1960-an.

HMI adalah organisasi yang paling subur melahirkan figur terkemuka, baik yang berkiprah di pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Pada level birokrat alumni HMI memimpin di jajaran elite birokrasi.. Bisa disebut tokoh-tokoh yang berperan pada waktu itu seperti Bintoro Tjokroamidjojo, Barli Halim, Madjid Ibrahim, Zainul Yasni, Omar Tusin, Bustanul Arifin, Hariry Hadi, dan banyak lainnya. Sampai di era reformasi hingga sekarang ini masih kita lihat kiprah alumni HMI di level-level penting pemerintahan dan juga di masyarakat.

Menonjolnya peran HMI bukan hanya di level birokrasi, tapi juga di masyarakat, terutama yang menjadi ciri khas atau trade mark HMI adalah sebagai organisasi mahasiswa Islam yang melahirkan out put kader pemikir atau konseptor. Banyak nama yang bisa disebut, beberapa nama yang terkemuka dan kebanyakan telah almarhum bisa disebut Deliar Noer, Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Sulastomo, Saifuddin Anshari, Dahlan Ranuwihardjo, Ridwan Saidi dan banyak lagi yang lain.

Keberhasilan HMI melahirkan “manusia unggul” tersebut tentu tidak lepas dari sistem perkaderan HMI yang rutin, terprogram dengan baik dan berkelanjutan mulai materi maupun  instruktur atau nara sumbernya yang mumpuni.

Setelah melalui Maperca HMI ( Masa perkenalan calon anggota), kemudian dilanjutkan perkaderan tingkat  dasar (basic), tingkat lanjut (advance) dan latihan tingkat kepemimpinan. Materi perkaderan, para anggota diperkenalkan dari hal yang bersifat praktis seperti kesekretariatan sampai hal yang terkait dengan perkembangan masyarakat, pemikiran sampai hal yang bersifat filosofis.

Materi perkaderan HMI melengkapi pengetahuan yang diperoleh di kampus. Kalau di bangku kuliah mahasiswa hanya diperkenalkan dengan materi perkuliahan yang tekxsboks, maka di HMI anggota diperkenalkan dengan aktualitas perkembangan masyarakat, dimotivasi untuk rajin membaca, berdiskusi dan termasuk kemampuan merumuskan pikiran baik secara lisan maupun tulisan. Bahkan, seorang senior HMI pernah mendambakan terbentuknya satu komunitas di lingkungan kepengurusan cabang HMI untuk membangun dan menciptakan yang disebutnya Intelectual Community. Jadi, satu komunitas intelektual yang selalu berpikir dan menghidupkan budaya perbincangan kreatif, mengaktifkan riset,  penelitian, kegiatan literasi,  penulisan ilmiah  populer hingga penerbitan. Kegiatan ini meski tidak seratus persen, pernah terwujud.

Jadi perkaderan HMI berefek langsung mempersiapkan anggota untuk bisa hidup dan beraktivitas serta berartikulasi di masyarakat. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan kader HMI terdorong untuk menjadi manusia yang aktif dan dinamis di masyarakat.

Namun, memang setiap era atau masa di mana HMI hidup tantangan yang dihadapi pasti berbeda. Masa yang subur ketika HMI melahirkan pemikiran-pemikiran yang cukup serius, terutama di awal Orde Baru. Banyak problem politik, sosial dan budaya yang muncul. Negara waktu itu menghadapi tuntutan rehabilitasi Partai Masyumi yang dianggap pemberontak, persoalan pembangunan dan modernisasi serta masuknya budaya asing Barat yang sekuler dan materialistis.

Dalam situasi tersebut tampil seorang pemikir muda Islam dari HMI yaitu Nurcholish Madjid, yang dianggap sebagai “lokomotif pemikiran” memberikan jawaban terhadap persoalan besar di atas. Pemikiran  Nurcholish Madjid yang oleh Fachry Ali dan Bahtiar Effendy disebut “pemikiran baru” dalam bukunya Merambah Jalan Baru Islam merupakan perkembangan pemikiran radikal. Gerakan “pemikiran baru” tidak saja membicarakan posisi umat Islam di zaman Orde Baru, tapi juga melibatkan pembicaraan tentang Tuhan, manusia dan berbagai persoalan kemasyarakatan, terutama yang berhubungan dengan persoalan politik umat Islam serta bagaimana melakukan terobosan-terobosan– baik kultural maupun keagamaan–untuk mengembalikan daya gerak (psychological striking force) umat Islam.

Di samping respons yang bersifat pemikiran, ada kelompok HMI yang lebih senior memberikan jawaban secara langsung terhadap persoalan umat Islam. Caranya, bukan dalam bentuk pemikiran atau diskusi intelektual, tetapi langsung masuk ke birokrasi dan secara tegas mendukung gagasan modernisasi, melalui partisipasi dalam kegiatan pembangunan. Mereka ini adalah generasi HMI senior pasca Masyumi di antaranya nama-nama yang telah disebut di atas.

Di atas adalah bentuk keaktifan dan sensitivitas HMI dalam merespons situasi, dan juga menunjukkan kepedulian dan tanggung jawab mereka yang besar pada umat dan bangsa. Dan, juga menunjukkan sifat militansi anggota dan kader HMI.

Bila dilihat situasi dan perkembangan HMI sekarang memang terlihat jauh menurun aktivitasnya. Dan, tentu saja tantangan yang dihadapi berbeda dengan generasi sebelumnya atau generasi 60-an atau 70-an di awal atau selama era Orde Baru.

Penurunan peran HMI secara blak-blakan pernah dikritik oleh Nurcholish Madjid sendiri. Dalam suatu kesempatan seminar di LIPI 13 Juni 2002 yang bertajuk ” Kepemimpinan dan Moral Bangsa” ia menyatakan, sebaiknya HMI dibubarkan saja, agar tidak menjadi bulan-bulanan dan dilaknat. Ternyata perkaderan HMI tidak semuanya membuahkan hasil yang bersih, tapi koruptor juga banyak dari HMI,” tandasnya.

Saya yakin pernyataan Cak Nur untuk membubarkan HMI ini bukan pernyataan sungguh-sungguh, mungkin sekedar motivasi agar HMI bangkit dan kembali menjadi organisasi yang mampu melahirkan kader yang baik.

Saat ini di era revolusi informasi dan dunia digital, di tengah demokrasi langsung, dan disintegarasi bangsa yang terancam oleh pembelahan masyarakat, persoalan kemiskinan, penegakkan hukum yang timpang, kesenjangan ekonomi dan pengaruh asing yang mulai tampak, sudah selayaknya HMI ikut memberikan kontribusi bagi umat dan bangsa. Bahkan, seperti kata Cak Nur, HMI itu harus mampu memberikan sumbangsih bagi umat Islam sebagai problem solving, bukan hanya public speaking.

Di dunia digital dan kemajuan informasi saat ini sudah seharusnya HMI berfikir menjadi organisasi yang mumpuni dengan memanfaatkan kemajuan teknologi dalam mengelola organisasi. Misalnya, sudah waktunya HMI memiliki web tersendiri, demikian juga punya media informasi atau media daring. Dulu HMI punya media yaitu Suara Himpunan. Kenapa sekarang tidak berusaha menerbitkan kembali dalam bentuk media online atau punya TV digital, podcast dan semacamnya.

Kalau dilihat saat ini banyak alumni HMI  yang mengelola lembaga survei, yang punya podcast, ada yang jadi peneliti, pengamat dan lainnya, maka bagi HMI sesungguhnya untuk memiliki sebuah website tersendiri yang itu bisa dimanfaatkan dan dikembangkan untuk mengelola organisasi HMI secara modern, efektif dan efisien, bukanlah hal mustahil.

Dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi, bisa dipastikan HMI
kembali bangkit dan menjadi organisasi mahasiswa yang modern dan mampu melahirkan kader yang berkualitas, cerdas, dan bermutu. Jika itu dilakukan yakin usaha sampai (Yakusa)!

Tentang Penulis

Avatar photo

Arfendi Arif

Penulis lepas, pernah bekerja sebagai redaktur Panji Masyarakat, tinggal di Tangerang Selatan, Banten

Tinggalkan Komentar Anda