Golongan menengah dan agama tentu aja merupakan topik diskusi yang amat menarik. Dalam sejarah Eropa, golongan yang acap disebut sebagai kaum borjuasi ini justru muncul sebagai “pendobrak” kungkungan tradisi. Dan agama, dalam perspektif .mereka itu, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tradisi. Tradisi, bahkan juga, bangunan organisasi politik yang diwarnai oleh norma-norma agama itu, di Eropa, memang kemudian runtuh. Dan golongan menengah, bangkit sebagai pemenang. Mereka, bukan saja telah mengangkangi tradisi, atau struktur sosial-politik feodal yang sebelumnya dominan, melainkan juga memperkenalkan, mensosialisasikan gagasan dan sistem kehidupan sosial-politik baru. Suatu sistem yang turut mendukung kehadiran mereka. Dan, dengan kemenangan dalam genggaman mereka, babak sejarah sosial-politik lama runtuh. Sejarah beralih kepada dataran baru. Berbagai bentuk perubahan di bidang Ilmu dan teknologi dan diwadahi oleh proses Industrialisasi yang berlangsung dengan cepat dunia seakan akan memasuki sebuah alam ‘ lain’, yang, dalam perspektif kacamata tradisi, tidak terbayangkan.
Maka, yang terjadi dalam situasi yang Semacam ini « bukanlah proses pelanggengan tradisi, melainkan, menjadikan perubahan sebagai sebuah tradisi. Dunia modern dunia yang dihasilkan oleh kemenangan golongan menengah seperti pernah dikemukakan Eisenstadt, seorang sosiolog Barat, adalah suatu dunia yang ditandai oleh perubahan yang berlangsung secara terus-menerus.
Tapi di atas segala-galanya, dan di atas dinamika perubahan yang tak terhenti itu, golongan menengah berfungsi sebagai elemen yang paling pokok dari bangunan sosial-ekonomi dan kultural yang mereka ciptakan sendiri. Dan dengan demikian, betapapun dengan berbagai variasinya, merekalah yang mengontrol perubahan itu. Merekalah yang mengendalikan dan sekaligus menjadi motor pergerakan perubahan. Maka, kita akan mendapatkan kesulitan besar jika ingin menafikan golongan ini.
Tapi masalahnya, bukanlah terletak pada usaha penafian itu. Melainkan pada dasar kokoh yang menopang kehadiran mereka. Watak sejarah kebangkitan golongan ini tidaklah bisa dipisahkan dari keberhasilan mereka memandirikan sumber ekonomi untuk kepentingan mereka sendiri. Penguasaan atas sumber ekonomi inilah yang menjadi dasar kekuatan politik dan sosial mereka. Penjungkirbalikan nilai, peruntuhan kekuasaan sosial-budaya dan politik yang telah terjadi di Eropa tak akan pernah berlangsung tanpa penguasaan sumber ini. Dan situasi inilah yang dikukuhkan dengan berbagai usaha demitologi, deagamaisasi. Ideologi baru golongan menengah Eropa, tidak bisa lain, bersumber pada pangkal kepentingan ekonomi. Bukan nilai, tradisi atau agama.
Maka pula, kesalahan, atau lebih tepat “penyimpangan”, apakah yang telah terjadi dalam sejarah kehadiran golongan menengah di Indonesia? Ketika justru seperti kita saksikan dalam sejarah Sarekat Islam golongan ini, di Indonesia, muncul seiring dengan semakin menguatnya rasa keagamaan?
Tidak ada resep yang begitu pasti untuk menjawab teka-teki ini. Tapi suatu yang jelas, golongan ini di dalam masyarakat kita, bukanlah elemen yang teramat penting dalam proses penciptaan sejarah. Sejarah kita, bukan saja amat dipengaruhi oleh dampak yang disisakan oleh kolonialisme, melainkan juga dengan latar belakang masyarakat kita yang “sangat” beragama. Mereka tumbuh dan berkembang atas dukungan institusi-institusi agama. Baik institusi agama secara murni, maupun organisasi-organisasi yang didirikan berdasarkan nafas keagamaan. Mereka bersumber dari celah-celah ini, dan lewat dukungan agama mereka bertemu dengan ideologi dan teknik yang telah diperkenalkan golongan menengah Eropa. Bukan sebagai ideologi, melainkan alat untuk menemukan dan memanfaatkan sumber-sumber ekonomi.
Dan karena itu pula mereka bukan gagal meninggalkan agama. Melainkan berhasil menempatkan ekonomi hanya sebagai alat. Tapi, kalimat terakhir ini bukanlah sebuah kesimpulan, melainkan sebuah harapan. Bahkan, harapan yang mendalam.
Penulis: Fachry Ali, pengamat sosial, politik dan budaya.
Sumber: Panji Masyarakat, 21 Desember 1986