Dokumen Konsili Vatikan
Itu keadaan sebelum 1970-an. Betapapun, dasawarsa ke-6 abad ini kemudian menyaksikan keluarnya sebuah dokumen dari Konsili Vatikan II. Dalam cetakannya yang ketiga, 1970, dokumen yang diberi judul Orientasi untuk Dialog antara Umat Kristiani dan Umat Islam itu mengandung ajakan untuk “meninjau kembali sikap-sikap kita terhadap Islam, dan mengkritik purbasangka kita.” Dikatakan antara lain, “Kita harus meninggalkan gambaran-gambaran kuno yang kita warisi dari masa lampau atau gambaran-gambaran yang diubah oleh prasangka dan fitnah.” “Kita harus mengakui ketidakadilan yang dilakukan oleh Barat yang beragama Kristen terhadap umat Islam.”
Dan di bawah judul “Membebaskan diri kita dari prasangka-prasangka yang sangat masyhur” (Nous liberer de nos prejuges les plus notables), para penulis dokumen 150 halaman itu menyatakan, antara lain, “Secara khusus kami pikirkan penilaian tertentu yang ‘sudah jadi’ yang sering dilakukan orang secara sembrono terhadap Islam. Adalah sangat penting untuk tidak menghidup-hidupkan dalam sanubari kita pandangan-pandangan yang dangkal dan arbitrer yang tidak dikenal oleh orang Islam yang jujur.”
Itu satu perubahan penting. Toh, rupanya, waktu masih terlalu singkat untuk melihat betapa sebuah dokumen kepausan benar-benar berpengaruh, di samping kenyataan yang niscaya tentang hubungan-hubungan di dunia yang makin lama makin dekat. Seperti dikatakan Bucaille, “Sayang, sangat sedikit sekali orang Barat yang mengetahui pergantian sikap yang diambil eselon tertingi Gereja Katolik itu.” (Lihat Maurice Bucaille, terj. H.M. Rasjidi, 127-129, 131-133, 139-140).
Tetapi tak apa. Di kalangan muslimin, abad-abad permusuhan Eropa kepada Al-Qur’an dan Islam telah melahirkan respons yang mewujud dalam dua segi: pembelaan kepada milik sendiri dan serangan kepada “lawan”. Segi kedua itu didukung oleh kesibukan pengkajian ajaran Kristen. Tafsir Qur’an Al-Manar Rasyid Ridha, bersama Al-Jawahir Thanthawi Jauhari (meskipun sudah ada warisan karya Ibn Taimiah dari abad ke-14), adalah yang pertama membuka pembicaraan tersebut di abad ini. Itu beriringan dengan pengajaran Perbandingan Agama, ilmu yang dalam bentuk awalnya diwarisi dari Syahrastani, penulis Al-Milal wan-Nihal (Agama-agama dan Sekte-sekte), buku perbandingan agama yang pertama di dunia.
Dan bersama dengan itu adalah jumlah besar buku populer—tentang Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, trinitas, dosa asal, kepausan, kristenisasi, orientalisme, atau laporan diskusi—yang umumnya sengit dan menantang debat. (Orang Islam umumnya merasa lebih tahu tentang Kristen dibanding orang Kristen tentang Islam, bahkan orang Kristen tentang agama mereka sendiri). Mustahil bahwa dalam jangka sekitar setengah abad, tembakan-tembakan gencar seperti ini—yang dalam bentuk buku-buku, pada tingkat umat, agaknya hanya beredar di kalangan muslimin sendiri—tidak sampai ke kalangan-kalangan resmi Gereja, ke Vatikan sekalipun.
Adapun respons pertama, pembelaan, menumbuhkan buku-buku yang dengan pandangan negatif disebut apologetik—berciri “permintaan maaf”, beserta alasan alasan untuk membenarkan diri sendiri. Yang sebenarnya: buku-buku itu sebuah usaha besar untuk menangkis segala serangan orientalis dan membikin dunia mengerti ajaran Islam yang sebenarnya.
Yang termasuk banyak dibela adalah ayat-ayat Al-Qur’an sehubungan dengan wanita—termasuk yang malahan membalikkan persoalan menjadi pembahasan tentang kedudukan wanita dalam Perjanjian Baru maupun Perjanjian Lama, misalnya yang menuturkan wanita sebagai “agen setan” dalam kasus dosa Adam. Semangat besar itu pula yang menyebabkan semua hal dalam Islam—ajaran baku, penafsiran, sejarah, budaya—semuanya “dibela habis”. Muhammad Al-Ghazali misalnya menulis, dalam Syubuhat Haulal Islam, bahwa seorang budak di dunia Islam rata-rata “lebih bahagia dibanding pelacur di dunia sekuler”. Walhasil, pikiran tidak menghadap ke depan, meski sambil mengingat yang di belakang, dalam tema ini. Kita hanya berputar-putar di tempat—meskipun, dari satu segi, itu berarti pendalaman. Dan itu berharga.
Bung Karno, Tjokroaminoto
Lebih-lebih bila pengajian itu menampakkan hal-hal yang menakjubkan dan itu dari segi keilmuan Qur’an. Untuk itu kembali Al-Manar, tapi lebih-lebih Al-Jawahir, yang memulai tradisi ini di masa baru. Bila Al-Manar bergerak terutama dalam filosofi, Jawahir membentangkan materi secara begitu ber-hamburan—untuk, katakanlah, “segala jenis ilmu”—hal yang sebenarnya sudah dimulai Al-Fakhrur Razi dengan At-Tafsirul Kabir-nya di abad ke-5 Hijriah (menyangkut matematika, fisika, kosmologi, dan seterusnya), dan yang termasuk dikritik Rasyid Ridha sebagai kesukaan menerangkan segala macam ilmu “sambil menghalangi orang dari tujuan ketakwaan yang dimaksudkan Qur’an sendiri” (Al-Manar, I:7).
Tapi, bila Jawahir maupun Tafsir Kabir terutama bergerak dalam penemuan berbagai rahasia Al-Qur’an sehubungan dengan dunia keilmuan, termasuk ilmu-ilmu kealaman (serupa yang diperbuat Bucaille dengan Bibel, Qur’an, dan Sains Modern maupun Asal usul Manusia-nya), yang benar-benar bersifat penafsiran (atau takwil, pemahaman secara “lain”) adalah The Holy Koran Maulvi Mohammad Ali dari Ahmadiyah Lahore. Tafsir ini misalnya menarik ayat-ayat mukjizat secara demikian rupa sehingga, akhirnya, “tidak ada lagi mukjizatnya.” Itu pun sebenarnya sudah dimulai Abduh, dalam kadar yang tidak ekstrem, ketika ia dalam Al-Manar membahas pengertian ‘malaikat’.
Betapapun, semua karya itu mengkatrol harga diri umat muslimin yang waktu itu dituding sebagai bodoh, terbelakang, dan di semua negeri (kecuali Arab Saudi) berada di bawah penjajahan. Bung Karno, misalnya, tanpa mengikuti paham Lahore yang meyakini Ghulam Ahmad sebagai salah satu ‘mujaddid’ (“pembaru yang dipilih Tuhan”—bukan ‘nabi’ seperti pada Ahmadiyah Qadiani), menga-gumi De Heilige Koran (The Holy Koran) yang begitu wetenschap-pelijk (“ilmiah”). H.O.S. Tjokroaminoto bahkan berusaha menerjemahkannya, meski baru hanya satu juz. Agaknya faktor bahasa Arablah yang menyebabkan ke tangan Bung Karno maupun Tjokro tidak pernah sampai tafsir Jawahir yang “begitu hebat”. Wallahu a’lam.
Jelas, dengan demikian, karya Maurice Bucaille bukan yang pertama. Justru yang terkini—dengan kelebihan, diharapkan, tidak ada lagi “bagian-bagian Qur’an, khususnya yang ada hubungannya dengan hasil-hasil perkembangan sains, (yang sering) diterjemahkan secara keliru, atau ditafsirkan sedemikian rupa sehingga seorang ahli sains akan melancarkan kritik yang tidak tepat terhadap Qur’an, walaupun kritik-kritik itu kelihatannya benar” (Bucaille, op. cit., 135). Ini pembicaraan tentang pendekatan keempat kepada Al-Qur’an, setelah pendekatan ritualistik, pendekatan sampingan seperti dari aspek pengobatan, dan pendekatan hukum. Wallahul musta’an. ■
Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Panji Masyarakat, 1 Juli 1997