Ads
Aktualita

Satu Abad NU: Mengenang Gus Dur, Sang Pejuang yang Berani Menembus Batas

Ditulis oleh Panji Masyarakat

Peringatan Satu Abad NU yang marak sejak akhir Januari lalu, mengingatkan saya kepada seorang tokoh besar yang pernah memimpin organisasi ini. Tidak lain dia adalah KH Abdurrahman Wahid, cucu salah seorang pendiri NU, Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari, dan KH Bisri Syansuri, pendiri Pesantren Tambakberas, yang juga pernah jadi Rais Aam PBNU. Presiden ke-4 Republik Indonesia, yang lebih populer dengan sebutan Gus Dur, yang wafat pada 30 Desember 2009. Di setiap hari ulang tahun wafatnya, saya selalu mengenang tokoh pluralis sejati ini dengan menulis sesuatu tentang dirinya. Tujuannya untuk membangkitkan kembali memori kolektif kita. Bahwa kita pernah punya seorang pemimpin besar pembela hak asasi manusia dan demokrat sejati yang egaliter. Jasanya tidak boleh dilupakan.

Bagi saya, Gus Dur adalah pemimpin yang konsisten menyuarakan perlunya perlakuan yang sama terhadap semua orang atas dasar kemanusiaan. Konsistensi sikap ini ia tunjukkan sejak muda, ketika masih nyantri di Pesantren Al-Munawir di Krapyak, Yogyakarta, di bawah asuhan KH Ali Maksum. Bahkan sampai sudah jadi presiden. Komunikasi yang dibangun sang guru atas dasar prinsip kesetaraan, kesejajaran dan  kesepadanan dalam mendidik para siswa ini mempengaruhi sikap dan pandangan Gus Dur kelak yang selalu egaliter.

Gus Dur adalah putra KH Wahid Hasyim, menteri agama pada era Soekarno, yang juga merupakan pahlawan nasional seperti halnya KH Hasyim Asy’ari. Sebagai anak menteri dan cucu dua kiai besar, Gus Dur pasti sudah merasakan banyak perlakuan istimewa. Tapi ini tidak mengubah sikapnya terhadap semua orang. Bagi Gus Dur orang tetap orang. Eksistensi manusia diakui hanya karena kemanusiaan yang setara dan melekat pada diri manusia itu sendiri. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan termulia. Karena itu ia harus dijaga, dirawat dan terus dipermuliakan. Di masa Gus Dur memerintah, istana kepresidenan yang sebelumnya jadi bangunan angker bagi rakyat jelata dan menyimpan banyak rahasia di dalamnya dibuka untuk umum.

Pejuang Kemanusiaan

Jika berziarah ke makam Gus Dur di Jombang, Anda akan menemukan tulisan ini di batu nisannya: “Di sini berbaring seorang Pejuang Kemanusiaan”.  Tulisan itu atas permintaan Gus Dur sendiri semasa hidup. Tujuannya sekali lagi untuk mengingatkan semua orang, bahwa kemanusiaan harus dimuliakan. 

Gus Dur memang pejuang kemanusiaan yang tetap konsisten dan tanpa reserve. Ia siap membela siapa saja yang terluka dari sisi kemanusiaannya. Asalkan lemah dan tertindas, Gus Dur akan tampil membela tanpa pandang bulu. Sebut saja artis serba bisa mendiang Dorce Gamalama. Ketika akan operasi ganti kelamin dan di-bully habis-habisan, Gus Dur tampil gigih membelanya. Bagi Gus Dur, memilih kepribadian sebagai perempuan atau laki-laki adalah hak asasi setiap manusia yang harus dilindungi. Identitas adalah wilayah privasi setiap makhluk ciptaan Tuhan. Sepanjang identitas itu tidak diubah untuk modus kejahatan, silakan saja. Maka atas dasar ini, hak asasi tersebut tidak boleh dihalangi. Sebagai ungkapan terima kasih, Dorce kemudian meminta Gus Dur meresmikan musala di rumahnya dengan menabuh bedug di musala ini.

Contoh lainnya terjadi jauh sebelum Gus Dur jadi presiden. Di era Orde Baru yang tidak mengakui Konghucu sebagai agama, pasangan Budi Wijaya dan Lany Guito sebagai penganut agama tersebut ngotot mencatatkan perkawinannya di kantor Catatan Sipil-Surabaya. Sikap ngotot pasangan ini memunculkan polemik luas berbagai kalangan termasuk kaum intelektual. Terjadi perdebatan seru sampai ke definisi agama. Gus Dur sebagai ketua umum PB NU ketika itu tampil sebagai pembela utama dan terdepan dari pasangan ini.

Dalam diskusi Eksistensi Agama dan Kuasa Negara yang diselenggarakan Pusat Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Surabaya terkait kasus ini, Gus Dur tegas mengatakan :
“Konghucu agama atau bukan, yang menentukan adalah pemeluknya sendiri. Bukan orang lain atau instansi. Negara harus obyektif dalam menilai agama. Kasus ini muncul sebagai akibat formalisme agama”.

Bagi Gus Dur, agama tetap agama. Ia tidak butuh pengakuan siapa pun. Ia tidak butuh definisi dari pihak mana pun di luar agama itu sendiri. Termasuk dari negara yang diwakili pemerintah yang sah.

Agama adalah urusan pribadi manusia dengan sesuatu yang tertinggi yang jadi sesembahannya. Sesuatu ini bersifat adikodrati dan menguasai alam semesta. Termasuk seluruh kehidupan di dalamnya. Agama sudah ada sejak dahulu kala dan menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah umat manusia. Ia memiliki ruang lingkup yang sangat luas dalam kehidupan. Tidak hanya sekedar berisi petunjuk hidup sesudah mati, tapi juga membawa serta norma-norma kehidupan bagi manusia yang harus ditaati. Dengan begitu agama berpengaruh luar biasa dalam kehidupan sehari-hari. Agama pada gilirannya adalah pembawa damai. Bukan konflik.

Di lain waktu ada pula kisah sedih warga Kedung Ombo yang menangis menyaksikan pemukiman mereka pelan tapi pasti ditenggelamkan. Ini demi terwujudnya sebuah proyek raksasa yang namanya waduk Kedung Ombo. Mereka yang dapat ganti rugi dengan harga yang tidak manusiawi itu datang ke Gus Dur. Bersama Romo Mangunwijaya, seorang imam Katolik pegiat kemanusiaan, Gus Dur tampil gigih membela warga Kedungombo.

Ada pula Inul Daratista yang dibela karena goyang ngebornya dipermasalahkan. Inul datang ke Gus Dur karena tahu ke mana tempat yang pas untuk berlindung. Juga ada Ahmad Dhani vokalis Dewa yang dibela dalam perseteruannya dengan FPI.

Gus Dur adalah pencinta manusia dan lingkungan. Salah satunya adalah pembelaannya atas hak-hak manusia rimba. Pada masa kepresidenannya, keluar Instruksi Presiden (Inpres) tentang hutan negara yang tidak boleh diperjualbelikan. Mau tahu alasannya? Hanya karena di dalamnya hidup manusia rimba Indonesia yang harus dilindungi. Tentu juga termasuk lingkungannya.

Bagi Gus Dur, dengan berbagai kearifan lokal yang ada, orang-orang rimba ini sanggup menjaga kelestarian hutan mereka. Karena itu mereka tidak boleh keluar dari hutan tersebut. Dia bilang, “Hutan itu tidak boleh dijual, dijadikan industri atau lokasi pertambangan. Sebab jika terjadi, ini sama saja dengan membunuh sesama saudara sendiri. Hutan harus dijaga dengan membiarkan mereka tinggal di dalamnya. Kearifan lokal dan tradisi mereka akan menjaga kelestarian hutannya. ”

Ada cerita lain tentang Gus Dur sang pejuang kemanusiaan yang barangkali luput dari perhatian. Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Sirodj pada waktu peringatan Annual Gus Dur in Memorial Lecture oleh PCINU Australia-New Zealand ketika ditanya, apa alasan para pelayat datang disaat Gus Dur wafat, sang kiai menjawab spontan: “Karena banyak orang yang diselamatkan nyawanya pada waktu rezim otoriter Orde Baru. Di era Orde Baru banyak orang terancam akan dibunuh. Saat itu, mereka datang ke Gus Dur. Orang-orang yang nyawanya terancam itu diselamatkan, disembunyikan, dan dilarikan oleh Gus Dur ke tempat yang aman.”

Tokoh Global

Gus Dur pemimpin nasional tapi juga sekaligus pemimpin dunia. Ketokohannya terutama karena konsistensinya menjaga kerukunan antar umat beragama. Semuanya demi tercapainya keadilan dan perdamaian dunia. Apa yang dibuat Gus Dur bahkan seringkali bertentangan dengan mainstream pandangan bangsanya sendiri. Contoh paling jelas adalah dalam kasus hubungan Indonesia dan Israel.

Di berbagai kesempatan nama Gus Dur selalu disebut sebagai contoh ideal pemuka agama tradisional yang sangat gigih menebar semangat toleransi demi persatuan.
Satu legacy yang tidak bisa dipungkiri adalah keberhasilannya membalikkan prasangka banyak kalangan tentang wajah Islam sesungguhnya yang sebelumnya oleh sebagian kalangan dipersepsi cenderung tidak ramah terhadap isu-isu toleransi dan perdamaian (Prof. Muddathir Abdel-Rahim, International Institute of Islamic Thought and Civilization, Malaysia). Islam sejati yang cinta damai, yang rahmatin lil alamin terkristalisasi dalam sikap, pandangan, tindakan dan ucapan Gus Dur. Semua itu berlangsung sejak ia masih muda sampai akhir hidupnya.

Dalam konperensi tahunan ketujuh para cendekiawan muslim Asia-Pasifik yang diadakan oleh Globalization for the Common Good, from the Middle East to Asia Pacific: Arc of Conflict or Dialogue of Cultures and Religions 30 Juni – 3 Juli 2008  di Melbourne-Australia, nama Gus Dur yang sudah tidak jadi presiden lagi selalu disebut.
Tak kurang seorang cendekiawan Muslim terkenal Australia dari The University of Melbourne Prof. Abdullah Saeed yang hadir menyebut peran penting seorang Gus Dur dalam upaya kontekstualisasi nilai-nilai universal Al-Qur’an.

Kekaguman lain datang dari Dr. Larry Marshal, dosen La Trobe University. Menurut Marshal, Gus Dur adalah pemikir cemerlang yang memiliki pandangan yang sangat luas dan sulit tertandingi. Marshal bahkan sangsi, apakah Indonesia mampu melahirkan pemikir sekaligus aktivis dunia sekaliber Gus Dur dalam jangka waktu seratus tahun ke depan. 

Di balik ketokohan dunia ini, Gus Dur tetap Gus Dur. Ia “Semar” bagi bangsanya (Greg Barton, The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid).
Semar manusia setengah dewa dalam mitologi wayang kulit yang asli budaya Jawa. Dikenal sangat bijak, mampu menjawab berbagai masalah, tapi selalu tampil dengan cara yang kocak. Semar tokoh punakawan paling utama selain ketiga anaknya Petruk, Gareng dan Bagong. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para ksatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabarata dan Ramayana. Semar penasehat sekaligus pelawak yang selalu tampil jenaka, vulgar. Dan tentu gendut. Cocok dengan Gus Dur yang selalu tampil begitu.

Gus Dur pemimpin nasional tapi juga sekaligus pemimpin dunia. Ia tokoh yang paling kukuh memperjuangkan nilai nilai kemanusiaan yang universal sebagai dasar yang paling hakiki dalam ajaran agamanya demi tercapainya keadilan dan perdamaian dunia. Gus Dur pejuang kemanusiaan yang mampu menembus batas ruang dan waktu.

Wawasan Gus Dur jauh melampaui apa yang bisa dijangkau oleh nalar dan iman orang kebanyakan.  Bukan saja wawasan tentang Islam agamanya sendiri, tapi juga agama-agama lain diluar Islam. Gus Dur bisa bicara fasih tentang agama lain. Sebagai representasi mayoritas yang baik, ucapan Gus Dur selalu bernada mengayomi.

Ini menimbulkan rasa cinta dikalangan penganut agama-agama lain yang salah satunya tergambar pada epilog biografi Gus Dur karya Greg Barton berikut ini:

“Hari terakhir Gus Dur di istana tampaknya biasa biasa saja. Pada pagi hari, selain para tokoh muslim, beberapa pemimpin Budhispun datang berkunjung.
Kemudian datang seorang ibu yang beragama Kristen. Dengan suara bergetar, ibu ini membacakan sesuatu dari Injil dan kemudian meletakkan tangannya pada diri Gus Dur seraya mendoakannya. Akhirnya, ia memoleskan minyak wangi bermerk Eternity  yang berarti keabadian.”

Selamat Milad 1 Abad NU, dan semoga para pemimpin Nahdiyin meneruskan cita-cita dan perjuangan Gus Dur.

Penulis: Theodorus Widodo, Ketua Forum Pembauran Kebangsaan (FPK) Nusa Tenggara Timur.

Tentang Penulis

Panji Masyarakat

Platform Bersama Umat

Tinggalkan Komentar Anda