Telaah tentang aspek ilmu pengetahuan Al-Qur’an bisa dimulai dengan sesuatu yang agak sengit. Itu berkenaan dengan anggapan di dunia Barat, seperti dituturkan Maurice Bucaille dalam La Bible, le Coran et la Science, bahwa mengasosiasikan Qur’an dengan sains adalah pekerjaan yang mengherankan. Lebih-lebih jika asosiasi itu berkenaan dengan hubungan harmonis dan bukan perselisihan antara keduanya. Itu sejalan dengan pendapat mereka—tanpa bukti—bahwa Muhammad SAW telah menulis Qur’an atau menyuruh orang-orang menulisnya dengan meniru Bibel.
Padahal Bibel, dikatakan Bucaille, berdiri di seberang sains. Dalam contoh tentang penciptaan alam saja, misalnya, atau tentang Banjir Nabi Nuh, riwayat Bibel “tidak sesuai dengan sains”. Itu berkebalikan dengan Qur’an, yang karenanya “tidak takut konfrontasi dengan sains”. Dengan kata lain, “Bibel dan Qur’an dapat memberikan versi yang berlainan”, dan karena itu anggapan bahwa Qur’an meniru Bibel tidak relevan.
Dalam kenyataan sejarah, sikap kedua kalangan agama tersebut terhadap sains berbeda. Di dunia Kristen, para pembesar agama, seperti di-katakan Bucaille, selama berabad-abad menjerumuskan para saintis ke dalam pembuangan, ancaman pembakaran hidup-hidup, setidaknya pemaksaan untuk mengakui “dosa”. Galileo Galilei, misalnya, dihukum karena mengikuti teori Copernikus tentang peredaran bumi, dan dinilai telah menafsirkan Bibel secara keliru. Juga Giordano Bruno.
Sementara itu di zaman yang sama, berbagai penyelidikan dan penemuan sudah dilakukan di universitas-universitas Islam. Bucaille tidak menyebut kegemilangan Baghdad. Tetapi memberi contoh dengan Cordoba, yang perpustakaannya menyimpan 400.000 buku. Ke situ datang banyak orang dari berbagai daerah Eropa. (Ada satu film bikinan Spanyol, yang salah satu perannya, seorang syekh Arab, mengatakan, “Di depan istana, lampu berjajar sepanjang enam kilometer. Dilihat dari sana, London tak lebih dari sebuah dusun udik.”)
Di Cordoba pula, antara lain, mengajar filosof besar yang sebuah karyanya dalam fikih, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, sampai sekarang kita pakai sebagai rujukan, yakni Ibn Rusyd (Averroes, Averrhoes; 1126-1198 Masehi). Waktu itu, dikatakan Bucaille, “Manusia lebih mempunyai jiwa keagamaan daripada sekarang.” Toh di dunia Islam hal itu tidak menghalangi orang untuk menjadi mukmin dan orang pandai sekaligus. “Sains adalah saudara kembar agama, dan akan tetap begitu.”
Tetapi penilaian yang salah terhadap Islam berkembang di Barat—akibat kebodohan, sikap meremehkan, pelecehan sistematis, kekeliruan, bahkan pemalsuan fakta. Paus Benoit XIV, yang masyhur sebagai paus besar di abad ke-18, mengirimkan restunya kepada Voltaire sebagai ucapan terima kasih karena yang terakhir itu mempersembahkan karangannya, Mahomet ou le Fanatisrne (Muhammad atau Fanatisme) kepadanya—sebuah ejekan kasar kepada Nabi SAW, yang kualitasnya sama dengan buku apa pun yang ditulis pengarang yang pandai dan jahat. “Tragedi” itu pun mendapat kehormatan: masuk ke dalam lakon Comedie Francaise.
Bucaille menyebut satu contoh menyedihkan dari karya ilmiah yang (seharusnya) serius. Encyclopaedia Universalis, pada jilid VI, dalam artikel mengenai Evangiles (Injil), menulis: “Para pengarang Injil tidak mengaku seperti Qur’an, menyampaikan otobiografi yang didiktekan Tuhan kepada rasul-Nya secara ajaib.” Padahal, terjemahan Qur’an yang paling jelek pun bisa menunjukkan bahwa Qur’an bukan otobiografi. (Bersambung)
Penulis: Syu’bah Asa (1943-2011), pernah menjadi Wakil Pemimpin Redaksi dan Asisten Pemimpin Umum Panji Masyarakat; Sebelumnya bekerja di majalah Tempo dan Editor. Sastrawan yang pernah menjadi anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Depok ini sempat menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Sumber: Panji Masyarakat, 1 Juli 1997