Ads
Aktualita

Satu Abad NU: Perlu Resolusi Jihad Kekinian

Avatar photo
Ditulis oleh Iqbal Setyarso

Dalam kamus ideologi NU, Indonesia “tidak pernah dijajah Belanda”. Bahwa memang Indonesia kalah dalam perang fisik, namun jam’iyyah NU melakukan perang dalam wujud lain dan tidak serta-merta bisa dipandang menyerah dan kalah lalu tunduk kepada pemenang perang. Tidak. Meski pihak yang kalah tidak berdaya menghadapi pihak yang menang, namun selama pihak yang kalah masih bisa berkata “tidak”, dan bahkan menolak aturan yang ditetapkan pemenang dengan berbagai cara, maka pihak yang kalah belum tunduk, apalagi dijajah oleh pemenang.


Dalam konteks itu, sejarah NU memberi konstatasi bahwa masyarakat NU wabilkhusus komunitas pesantren tradisional juga cerdik melakukan “perlawanan pasif” dengan strategi “anti tasyabbuh”, perlawanan budaya terhadap kolonialisme. Hal itu secara eksplisit dipaparkan dalam hasil bahtsul masail Muktamar NU ke-2, pada 1927.


Komunitas pesantren tradisional itu identik dengan jamaah Nahdiyin atau warga NU. Dan, dalam Anggaran Dasar disebutkan: NU didirikan oleh ulama pondok pesantren. Dengan demikian dapat dipahami bahwa sesungguhnya jamaah Nahdiyin, sesuai sejarah perlawanan pendahulunya terhadap kolonial, tidak pernah dijajah.


Mengapa demikian? Ulama-kiai, baik pesantren maupun mursyid taariqah, adalah entitas sosial keagamaan yang mandiri, berdaulat (memiliki harkat martabat tinggi), teguh (istiqamah dalam kebenaran), berani (menjadi pelopor), terbuka (dengan keluasan ilmu), teladan (dengan pandangan dan sikap moderat), dan visioner (dengan intuisi kemaslahatan). Hal demikian ditransformasikan kepada para santri dan jamaahnya. Sehingga berkemampuan untuk merespons kondisi dan lingkungan yang ditujukan untuk perubahan demi kemaslahatan dan keadilan.


Kedatangan bangsa-bangsa penjajah: Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Jepang, dan sekutu, direspons komunitas Islam tradisional secara rasional (baca: secara kritis). Dengan keyakinan itu, jam’iyah Nahdiyin tidak mudah terbuai dan terbawa arus. Nahdiyyin memandang semua gangguan yang menimpanya sebagai ancaman dan sumber malapetaka. Bahkan, perlawanan fisik yang monumental dilakukan melalui Resolusi Jihad Rais Akbar PBNU Hadratussyaikh KH M. Hasyim Asy’ari pada 1945. NU pada masanya menunjukkan imbauan ekspresi tertinggi yang disebar-luaskan secara masif ke seluruh rakyat Indonesia. Itulah etape perlawanan penghantar nasionalisme Indonesia.


Ekspresi perlawanan itu beragam wujudnya pada sejumlah kasus. Pada agresi sekutu, pemberontakan DI/TII dan PRRI Permesta, Gerakan PKI, hingga sepanjang dalam tekanan Orde Baru selama 32 tahun. Nalar kritis hingga perlawanan itu bersumber dari kesadaran keagamaan dan kemasyarakatannya yang matang disertai hujah yang kuat dan kontekstual berdasar kaidah keagamaan.


Semua kondisi itu dihadapi para ulama-kiai dan NU dengan keteguhan sikap, kecerdikan, dan nalar kritis, yang tidak berubah. Hal itu karena kiai pesantren-NU tertempa dan terlatih sebagai ulama pewaris perjuangan dan keteladanan Nabi Muhammad. Tidak ada rasa khawatir, apalagi takut sedikit pun. Tidak terbuai oleh tipu daya, apalagi hanyut terbawa arus, dengan keuntungan pragmatis. Sebaliknya, selalu istiqamah dalam keyakinan atas kebaikan dan kebenaran.


Inilah yang selalu dipegang ulama-kiai. Kedaulatan nalar dan sikap, dalam menjaga kesucian agama dan kemaslahatan sosial (rakyat dan bangsa). Hal demikian itu bisa ditelusuri dalam kepemimpinan KH Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH Ali Ma’shum, KH Ahmad Shiddiq, KH Sahal Mahfudz, dan para penerusnya. Khitah NU secara historis, menjadi pemancang tonggak perlawanan secara bergenerasi, menjadi garda terdepan menjaga NKRI.

Kiprah Politik NU
NU kembali ke melahirkan khitahnya pada 1984, saat mana hal itu secara eksplisit menabalkan kedaulatan nalar dan sikap NU dalam menjaga kesucian agama dan kemaslahatan bermasyarakat bangsa, yang menjadi tugasnya. Pada masa kepemimpinan Gus Dur sebagai Presiden RI, Indonesia meyakini itu dan menjadi sikap Gus Dur (walaupun karenanya, NU dalam tekanan dan ketidaknyamanan). Dengan itu, NU bukan hanya bertahan bahkan meraih simpati luas dari internal komunitas pesantren. Juga, dari eksternal kalangan nasionalis, reformis, dan modernis atas konsistensinya bersikap kritis terhadap kondisi serta mandiri.


Sekadar contoh, kepemimpinan KH Hasyim Muzadi dan KH Said Aqil Siradj. Keduanya kader dan pewaris pemikiran Gus Dur. Keduanya punya kekhasan dalam mewarnai perjalanan NU sehingga tetap teguh, kritis, dan berdaulat dalam nalar dan sikap. Berbagai masalah mendapat perhatian dan disikapi NU secara proporsional dan strategis. Baik lokal, nasional maupun internasional.


Para ulama-kiai tidak hanya menghadapi tekanan Orde Baru. Saat dan pascareformasi harus menyelesaikan residu konflik dari sampah sosial-politik. Pun, NU harus berhadapan dengan para komprador asing dan anasir kekuatan Orde Baru, yang bangkit melalui berbagai kelompok perusak konstruksi dan tujuan berbangsa di berbagai bidang dan sektor, serta membonceng sentimen SARA, khususnya agama, pemicu dan pengobar konflik berdimensi horisontal maupun vertikal.


Pascareformasi, di samping harus menghadapi kekuatan dominan yang memanfaatkan transisi pemerintahan demi pragmatisme, NU harus menyelesaikan konsolidasi internal NU, yang terpolarisasi dan terurai oleh paparan pragmatisme eksternal. NU secara internal menghadapi wabah pragmatisme yang meluas dan akut. Kendatipun demikian, para ulama-kiai NU tetap kokoh dan tangguh menghadapinya karena NU memiliki sistem kesadaran dan fikrah sendiri dengan nalar kritis. Hal itu –secara politik—menstimulir harapan rakyat yang terwakili sosok Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin.

Apakah KH Ma’ruf Amin bisa tegar mengekspresikan keulamaanya, menunjukkan sikapnya selaku kiai NU?


Pelajaran yang bisa kita ambil dari perjalanan NU tersebut adalah ketangguhan ulama-kiai NU, beserta santri dan para pengikutnya, dalam menjalankan tanggung jawab sebagai pewaris perjuangan Nabi Muhammad, demi kedaulatan beragama, mencerdaskan kehidupan, dan martabat berbangsa, berujung pada ridla Allah serta syafaat Nabi Muhammad SAW.


Perjuangan itu dilakukan secara mandiri, berintegritas, keberanian, keteladanan, kepeloporan, visioner dan istiqomah, sebagaimana hadis: “Wahai para ulama, berjalanlah pada lajur yang istiqamah, jika kalian beralih pada jalan kanan atau kiri, maka sungguh tersesatlah kalian dengan kesesatan yang jauh.”
Sebagai catatan reflektif NU jelang satu abadnya, hal baik yang telah lalu itu mungkinkah diaktivasi dengan kesadaran kebangsaan, sebagaimana pernah diteladankan Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari? Bahwa Indonesia dalam kondisi krisis multidimensi dan sebuah resolusi jihad dalam konteks kekinian patut dikumandangkan.

Tentang Penulis

Avatar photo

Iqbal Setyarso

Wartawan Panji Masyarakat (1997-2001). Ia antara lain pernah bekerja di Aksi Cepat Tanggap (ACT), Jakarta, dan kini aktif di Indonesia Care, yang juga bergerak di bidang kemanusiaan.

Tinggalkan Komentar Anda